Nama : Fernanda Yusi Listeani (2222121726/VII D)
Sebuah kalimat hendaknya mendukung suatu gagasan atau ide.
Susunan kalimat yang teratur menunjukan cara berfikir teratur. Agar gagasan
atau ide mudah dipahami pembaca; fungsi sintaksis yaitu, subjek, predikat,
objek, pelengkap, dan keterangan harus jelas. Kelima fungsi sintaksis itu tidak
selalu hadir bersama-sama dalam sebuah kalimat. Kesalahan dalam tataran
sintaksis antara lain berupa: kesalahan bidang frasa dan kesalahan bidang
kalimat. (Setyawati, 2010:75). Kita ketahui bahwa klausa dapat berpotensi
menjadi sebuah kalimat jika intonasinya final. Kesalahan dalam bidang klausa
tidak dibicarakan tersendiri, tetapi sekaligus sudah melekat dalam kesalahan di
bidang kalimat. Kesalahan berbahasa pada bidang frasa sering dijumpai dalam
bahasa lisan maupun bahasa tertulis. Artinya kesalahan berbahasa dalam bidang
frasa ini sering terjadi dalam kegiatan berbicara maupun kegiatan menulis.
Kesalahan dalam bidang frasa dapat disebabkan oleh berbagai
hal diantaranya:
a.
Adanya pengaruh bahasa daerah;
Kesalahan
berbahasa dalam tataran fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan wacana
sebagai akibat pengaruh bahasa daerah dapat dijumpai dalam bahasa Indonesia.
b.
Pengunaan preposisi yang tidak
tepat;
Pemakaian
preposisi tertentu dalam frasa preposional tidak tepat. Hal ini biasanya
terjadi pada frasa preposisional yang salah dalam kalimat.
c.
Kesalahan susunan kata;
Salah
satu akibat pengaruh bahasa asing adalah kesalahan dalam susuna kata.
d.
Penggunaan unsur yang berlebihan;
Sering
dijumpai pemakaian kata-kata yang mengandung makna yang sama (bersinonim)
digunakan sekaligus dalam sebuah kalimat.
e.
Penggunaan bentuk superlatif yang
berlebihan;
Bentuk
superlative adalah suatu bentuk yang mengandung arti ‘paling’ dalam suatu
berbandingan. Bentuk yang mengandung arti ‘paling’ itu dapat dihasilkan dengan
suatu adjektiva ditambah adverbial amat,
sering, sekali atau paling. Jika
ada dua adverbial yang digunakan sekaligus dalam menjelaskan adjektiva pada
sebuah kalimat, terjadilah bentuk superlatif yang berlebihan.
f.
Penjamakan yang ganda;
Bahasa
sehari-hari kadang-kadang orang salah menggunakan bentuk jamak dalam bahasa
Indonesia, sehingga menjadi bentuk yang rancu atau kacau.
g.
Penggunaan bentuk resiprokal yang
tidak tepat.
Bentuk
resiprokal adalah bentuk bahasa yang menggandung arti ‘berbalasan’. Bentuk
resiprokal dapat dihasilkan dengan cara menggunakan kata saling atau dengan
kata ulang berimbuhan. Tetapi jika ada bentuk yang berarti ‘berbalasan’ itu
dengan cara pengulangan kata sekaligus dengan penggunaan kata saling, akan
terjadilah bentuk resiprokal yang salah.
Sedangkan kesalahan pada kalimat
antara lain;
a.
Kalimat tidak bersubjek;
Kalimat
paling sedikit harus terdiri atas subjek dan predikat, kecuali kalimat perintah
atau ujaran yang merupakan jawaban pertanyaan. Biasanya kalimat yang subjeknya
tidak jelas terdapat dalam kalimat rancu, yaitu kalimat yang berpredikat aktif
transitif di depan subjek tersapat preposisi.
b.
Kalimat tidak berpredikat;
Kalimat
yang tidak memiliki predikat disebabkan oleh adanya keterangan subjek yang
beruntun atau terlalu panjang, keterangan itu diberi keterangan lagi, sehingga
penulis atau pembicaranya terlena dan lupa bahwa kalimat yang dibuatnya itu
belum lengkap atau belum terdapat predikatnya.
c.
Kalimat tidak bersubjek dan tidak
berpredikat (kalimat buntung);
Kalimat
yang dipenggal itu masih mempunyai hubungan gantung dengan kalimat lain
(sebelumnya). Kalimat yang memiliki hubungan gantung itu disebut anak kalimat,
sedangkan kalimat tempat bergantung anak kalimat tadi disebut induk kalimat.
d.
Penggandaan subjek;
Penggandaan
subjek menjadikan kalimat tidak jelas bagian yang terdapat tekannannya.
e.
Antara predikat dan objek yang
tersisipi;
Kalimat
aktif transitif, yaitu kalimat yang memiliki objek;verba transitif tidak perlu
diikuti oleh preposisi sebagai pengantar objek.
f.
Kalimat tidak logis;
Kalimat
tidak logis merupakan kalimat yang tidak masuk akal. Hal itu terjadi karena
pembicara atau penulis kurang berhati-hati dalam pemilihan kata.
g.
Kalimat yang ambiguitas;
Ambiguitas dapat disebabkan beberapa
hal diantaranya intonasi yang tidak tepat, pemakaian kata yang bersifat
polisemi,struktur kalimnat tidak tepat.
h.
Penghilangan konjungsi;
Membaca
tulisan yang di dalamnya terdapat gejala penghilangan-penghilangan konjungsi
pada anak kalimat. Justru penghilangan konjungsi menjadikan kalimat tersebut
tidak efektif (tidak baku).
i.
Penggunaan konjungsi yang
berlebihan;
Kekurangan
pemakaian bahasa dapat mengakibatkan penggunaan konjungsi yang berlebihan. Hal
itu terjadi karena dua kaidah bahasa bersilang dan bergabung dalam sebuah
kalimat.
j.
Urutan yang tidak pararel;
Jika
dalam sebuah kalimat terdapat beberapa unsur yang dirinci, rinciannta harus
diusahakan parallel. Jika unsur pertama berupa adjektiva, unsur berikutnya
berupa adjektiva.
k.
Penggunaan istilah asing;
Kemungkinan
pemakaian bahasa itu ingin memperagakan kebolehannya atau keintelektualannya
pada khalayak. Padahal kita tidak boleh mencampuradukkan bahasa Indonesia
dengan bahasa asing.
l.
Penggunaan kata tanya yang tidak
perlu
Dalam
bahasa Indonesiasering dijumpai penggunaan bentuk dimana, yang mana, hal mana, dari mana dan kata-kata
tanya lain sebagai penghubung atau terdapat kalimat berita (bukan kalimat
tanya).
Menurut Pateda (1989:76) proses pertama yang berhubungan
dengan bahasa yakni manusia lebih banyak menghabiskan waktu mendengar orang
sedang berbicara, atau ia sendiri yang berbicara dengan orang lain. Oleh karena
itu, Pateda (1989:76) akan membahas mengenai kesalahan dalam menyimak dan
berbicara. Pertama, Pateda membahas peranan menyimak pengertian menyimak, jenis
menyimak, faktor yang mempengaruhi proses menyimak, keberhasilan menyimak dan
kesalahan menyimak. Menyimak merupakan proses mendengar dengan pemahaman dan
pengertian, sedangkan mendengar merupakan proses memperoleh rangsangan
bunyi-bunyi bahasa yang belum tentu diikuti oleh proses pemahaman dan
pengertian.
Adapun menyimak mempunyai pelbagai jenis yaitu : a) menyimak
pasif; b) menyimak sebentar-bentar; c) menyimak tanpa reaksi; d) menyimak
reaksi; e) menyimak dengan perasaan; f) menyimak hati-hati; g) menyimak kritis;
h) menyimak perseptif; i) menyimak kreatif.
Agar proses menyimak berhasil baik, perlu diperhatikan faktor-faktor
yang turut mempengaruhi proses menyimak, yakni; (1) kejelasan pesan yang
berasal dari pembicara, (2) bahasa yang digunakan, (3) alat yang didengar, (4)
suasana kejiwaan pembicara dan penyimak dan (5) gangguan dari luar, misalnya
kebisingan atau keributan (Pateda, 1989:82).
Kesalahan
dalam menyimak harus dilihat dari proses kognitif, karena telah dijelaskan
sebelumnya bahwa menyimak adalah proses kognitif. Kesalahan menyimak berkisar
pada, kesalahan mengidentifikasi bunyi-bunyi bahasa. Apabila si terdidik
mendengar bunyi-bunyi bahasa asing baginya, si terdidik cenderung membuat
kesalahan atau ia akan menyamakan bunyi-bunyi yang didengarnya itu dengan
bunyi-bunyi yang agak mirip dalam bahasa ibunya. Kesalahan ini disebut
kesalahan menyamakan.
Setiap hari manusia tidak hanya menyimak namun juga
berbicara. Berbicara termasuk kedalam keterampilan berbahasa setelah menyimak.
Berbicara berarti menggunakan bahasa lisan secara aktif. Penggunaan bahasa
lisan secara aktif ini boleh saja berwujud perintah, pertanyaan, dorongan,
harapan, permintaan, pengakuan, penjelasan, pidato, berbicara pada
sidang-sidang, misalnya, konferensi pers, rapat, diskusi, seminar, panel,
lokakarya, dan lain sebagainya. Berbicara merupakan aktivitas manusia yang
menggunakan bahasa secara lisan. Jika seseorang mendengarkan orang bicara,
pasti memperoleh kenyataan bahwa: a) mendengar bunyi-bunyi bahasa yang
dilafalkan; b) bunyi-bunyi dilafalkan berturut-turut; c) bunyi bahasa yang didengarkan
berwujud kata atau kalimat; d) bunyi-bunyi dilafalkan kelompok demi kelompok;
e) kata atau kalimat yang dilafalkan mengandung pesan
tertentu. (Pateda, 1989:85). Oleh karena itu, bahasa yang digunakan berwujud
bahasa lisan, maka yang penting adalah pelafalan dan kata-kata atau kalimat
yang digunakan. Berdasarkan hal tersebut, kesalahan yang di dapat kalau si
terdidik berbicara adalah (a) kesalahan melafalkan bunyi-bunyi bahasa, (b)
kesalahan memilih kata-kata atau diksi, (c) penggunaan kalimat yang samar-samar,
(d) pengungkapan pikiran yang tidak jelas (kacau) (e) struktur kalimat yang
diucapkan dan (f) penggunaan kata-kata yang mubadzir (pemborosan kata).
Tarigan menjelaskan bahwa analisis
kesalahan berbahasa adalah bagian dari konversasi atau komposisi yang
menyimpang dari beberapa norma baku performansi orang dewasa. Ada empat
taksonomi kesalahan berbahasa yang penting kita ketahui, yaitu: a. Taksonomi
kategori linguistik; b. Taksonomi siasat permukaan; c. Taksonomi komparatif; d.
Taksonomi efek komunikatif
Dalam taksonomi kategori linguistik,
kita mengenal kesalahan-kesalahan fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon.
Dalam taksonomi suasat permukaan, kita mengenal kesalahan penghilangan,
penambahan, salah formasi, dan salah susunan. Dalam taksonomi komparatif
terdapat kesalahan perkembangan, kesalahan antarbahasa, kesalahan taksa, dan
kesalahan lainnya. Dalam taksonomi efek komunikatif terdapat kesalahan global
dan kesalahan lokal.
Analisis kesalahan berbahasa adalah
suatu prosedur yang digunakan oleh para peneliti dan para guru, yang mencakup
pengumpulan sampel bahasa pelajar, pengenalan kesalahan-kesalahan yang terdapat
dalam sampel tersebut, pendeskripsian kesalahan-kesalahan itu,
pengklasifikasian berdasarkan sebab-sebabnya yang telah dihipotesiskan, serta
pengevaluasian keseriusannya.
Kesalahan berbahasa itu perlu dikoreksi
dengan menggunakan enam kriteria, yaitu keterpahaman, keseringan yang tinggi,
keumuman yang tinggi, pengaruh noda/ gangguan, kuantitas pelajar yang
terpengaruh, dan fokus pedagogis. Koreksi kesalahan berbahasa lisan dapat
dilakukan oleh siswa sendiri dengan bantuan guru, sesame siswa dan guru.
Sedangkan kesalahan bahasa tulis dapat dibuat secara langsung, dan tidak
langsung.
Markhamah, dkk dalam buku Analisis Kesalahan dan Kesantunan Berbahasa membahas
mengenai kesalahan struktur. Kesalahan struktur disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu kesalahan struktur karena kerancuan aktif-pasif, kesalahan
struktur karena subjek dan keterangan, kesalahan struktur karena pengantar
kalimat, kesalahan struktur karena penghubung terbagi yang kurang tepat, dan
kesalahan struktur karena ketiadaan induk kalimat.
Dalam kesalahan struktur karena
kerancuan aktif-pasif, penutur/ penulis sering tidak menyadari bahwa kalimat
yang diucapkannya/ ditulisnya merupakan kalimat yang rancu. Kalimat rancu
adalah kalimat yang sebagian unsurnya milik kalimat aktif, sementara unsur
lainnya milik kalimat pasif.
Contoh:
(1)Saya telah
informasikan bahwa hari ini kita akan mengunjungi para korban bencana.
Kalimat (1)
strukturnya rancu yang mengakibatkan maknanya ganda. Makna unsur yang merupakan
subjek, bahwa hari ini kita akan
mengunjungi para korban bencana ataukah saya.
Jika bahwa hari ini kita akan mengunjungi
para korban bencana sebagai pengisi fungsi S, predikatnya seharusnya verba
pasif telah saya informasikan. Sebaliknya, jika S-nya saya, predikatnya
harusnya verba aktif menginformasikan.
Dengan begitu, bahwa hari ini kita akan
mengunjungi para korban bencana mengisi fungsi objek.
Dalam
kesalahan struktur karena subjek dan keterangan, penulis atau penutur sering
tidak memperhatikan mengenai kalimat yang dihasilkannya sesuai dengan syarat
kalimat yang lengkap atau tidak dan kalimat yang ditulisnya dapat dipahami atau
tidak. Seorang pemakai bahasa tidak menyadari bahwa dirinya telah mencampurkan
komponen lain (msalnya keterangan) pada subjek. Misalnya orang yang mulai
mengucapkan kalimat dengan keterangan yang panjang. Penutur/ penulis tidak
menyadari bahwa komponen yang dianggapnya subjek ternyata merupakan keterangan.
Kesalahan
struktur karena pengantar kalimat, kesalahan ini disebabkan oleh kalimat yang
diawali oleh kata menurut, berdasarkan,
sebagaimana kita ketahui, seperti disebutkan di muka, seperti telah kami
sampaikan sebelumnya, dan sejenisnya. Jika bagian kalimat itu diikuti
nomina pelaku orang pertama sering menimbulkan ketaksaan antara ungkapan
pengantar kalimat dengan predikat kalimat. Adapun kesalahan struktur karena
penghubung terbagi yang kurang tepat. Pada kesalahan ini sering ditemukan
kalimat yang menggunakan penghubung yang berupa pasangan atau dua penghubung.
Contoh:
(30) Meskipun kalian tidak ada pekerjaan rumah, tetapi kalian harus tetap belajar.
(30) Meskipun kalian tidak ada pekerjaan rumah, tetapi kalian harus tetap belajar.
Dua informasi yang terdapat dalam kalimat (30) itu tidak jelas hubungan
maknanya. penggunaan penghubung meskipun dan
tetapi menyebabkan hubungan antara
kedua klausa itu tidak jelas. Jika hubungan kedua klausa itu setara, kata
hubung yang digunakan mestinya kata tetapi
saja. Sebaliknya, jika kata hubung meskipun yang digunakan, berarti hubungan kedua klausa
dalam kalimat itu bertingkat. Kedua kata penghubung itu menunjukkan hubungan
makna yang tidak sama. Kata penghubung tetapi
dipakai untuk menunjukkan hubungan setara, sedangkan kata penghubung meskipun menandai pertalian makna
bertingkat.
Dalam kesalahan struktur karena
ketiadaan induk kalimat, ketepatan struktur berhubungan dengan ketepatan letak
unsur-unsur kalimat yang berupa S, P, O (pel), K, dan kelengkapannya. Dalam
pemakaian bahasa sering ditemui kalimat yang panjang, tetapi unsur-unsurnya
tidak lengkap. Misalnya, S tidak ada, atau P-nya tidak ada. Hal sepert ini
terjadi apabila anak kalimat dan induk kalimat sama-sama didahului oleh kata
penghubung atau konjungsi. Konjungsi yang sering mengaburkan mana anak kalimat
dan mana induk kalimat.
BAB VI
Kesalahan berbahasa dalam tataran semantik dapat berkaitan
dengan bahasa tulis maupun bahasa lisan. Kesalahan berbahasa ini dapat terjadi
pada tataran fonologi, morfologi,dan sintaksis. Kesalahan berbahasa dalam tataran
semantik ini penekanannya pada penyimpangan makna, baik yang berkaitan dengan
fonologi, morfologi, maupun sintaksis.Jadi, jika sebuah bunyi, bentuk kata,
ataupun kalimat yang maknanya menyimpang dari makna yang seharusnya, maka
tergolong ke dalam kesalahan berbahasa ini. Banyak penyimpangan terjadi dalam
penggunaan bahasa sehari-hari yang berkaitan dengan makna yang tidak tepat.
(Setyawati, 2010:103) Makna yang tidak tepat tersebut dapat berupa;
a.
Kesalahan penggunaan kata-kata mirip
Kata-kata yang betmiripan tersebut dapat digolongkan ke
dalam tiga kelompok, yakni (i) pasangan yang seasal, contoh: kurban dan korban; (ii) pasangan yang bersaing, contoh: kualitatif dan kwalitatif; dan
(iii) pasangan yang terancukan, contoh; sah
dan syah (Alwi (1991) dalam
Setyawati,2010:103).
b.
Kesalahan pilihan kata atau diksi.
Penggunaan kata-kata yang saling menggantikan yang
dipaksakan akan menimbulkan perubahan makna kalimat bahkan merusak struktur
kalimat, jika tidak disesuiakan dengan makna atau maksud kalimat yang
sebenarnya. Pilihan kata yang tidak tepat sering menggunakannya divariasikan
secara bebas, sehingga menimbulkan kesalahan. Kalimat seperti tidak bermasala,
jika hanya dicermati sekilas saja. Contoh: mantan
dan bekas, busana dan baju, jam dan pukul, dan lain-lain.
Kesalahan berbahasa dalam tataran semantik tersebut akan dibicarakan satu
persatu berikut ini.
1.
Kesalahan karena Pasangan yang Seasal
Pasangan
yang seasal adalah pasangan kata yang memiliki bentuk asal yang sama dan maknanya
pun berdekatan (Alwi (1991) dalam Setyawati,2010:103). Dalam hal ini kita tidak
menentukan bentuk mana yang benar, tetapi bentuk mana yang maknanya tepat untuk
menyatakan gagasan kita. Dengan kata lain, masing-masing adalah bentuk yang
benar. Kita dapat mengamati contoh berikut ini : ‘Penggunaan
Kata Kurban dan Korban’
Kata kurban dan
korban sebenarnya berasal dari kata yang sama dari bahasa Arab, yaitu qurban.
Kedua kata itu merupakan kata baku di dalam bahasa Indonesia. Dalam
perkembangannya, qurban diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan penyesuaian
ejaan dan dengan perkembangan makna yang berbeda. Akibat ketidakhati-hatiab
pemakai bahasa, kedua kata tersebut sering dipertukarkan pemakaiannya. Contoh;
Bentuk Tidak Baku
1.
Danging korban itu akan dibagikan kepada yang berhak menerimanya.
2.
Jumlah kurban tanah longsor yang tewas sudah bisa dipastikan
Pengertian pertama kata qurban adalah persembahan kepada Tuhan
(seperti kambing, sapi, dan unta yang disembelih pada hari Lebaran haji) atau
‘pemberian untuk menyatakan kesetian atau kebaktian’; yang kemudian dieja
menjadi kurban. Makna yang kedua
adalah ‘orang atau binatang yang menderita atau mati yang dieja menjadi korban. Berdasarkan perbedaan makna
tersebut, maka kita dapat memperbaiki kalimat (1) dan (2) menjadi kalimat
berikut;
Bentuk Baku
(1a) Daging kurban itu akan dibagikan kepada yang berhak
menerimanya.
(2a) Jumlah korban tanah longsor yang tewas sudah bisa
dipastikan.
2.
Kesalahan karena Pasangan yang Terancukan
Jenis lain
kesalahan karena kemiripan adalah pasangan yang terancukan. Pasangan yang
terancukan terjadi jika orang yang tidak
mengetahui secara pasti bentuk kata yang benar lalu terkacaukan oleh bentuk
yang dianggapnya benar. Dalam hal ini kedua anggota pasangan itu memang bentuk
yang benar, tetapi harus diperhatikan perbedaan maknanya. Akibatnya,
kadang-kadang ditemukan penggunaan bentuk yang salah marilah kita cermati contoh kesalahan
pemakaian jenis ini;
Penggunaan
Kata Sah dan Syah
Kata sah dan syah merupakan
dua kata yang berbeda dari segi makna. Kemiripan bentuk dan lafal memang
dimiliki kedua kata tersebut. tidak mengherankan jika pemakai bahasa yang tidak
cermat, sering mengacaukan pemakainya. Perhatikan pamakaian berikut.
Bentuk Tidak Baku
(11) Sah Iran
sudah pernah berkunjung ke Indonesia
(12) Dia sekarang sudah Syah
menjadi suami saya.
Kata sah dan syah merupakan
contoh pasangan yang terancukan. Makna kedua kata itu jelas berbeda. Sah berarti ‘sudah sesuai hukum’;
sedangkan syah berarti ‘raja’.
Kesalahan pada kedua kalimat di atas dapat diperbaiki menjadi:
Bentuk Baku
(11a) Syah Iran
sudah pernah berkunjung ke Indonesia
(12a) Dia sekarang telah sah
menjadi suami saya
3.
Kesalahan karena Pilihan Kata yang Tidak Tepat
Ada dua
istilah yang berkaitan dengan masalah subjudul ini, yaitu pemilihan kata dan
pilihan kata. Pemilihan kata adalah proses atau tindakan memilih kata yang
dapat mengungkapkan gagasan secara tepat, sedangkan pilihan kata adalah hasil
proses atau tindakan tersebut. ketepatan makna dan kelaziman pemakaian kata
perlu diperhatikan ketika memilih kata. Dalam kegiatan berbahasa, pilihan kata
merupakan aspek yang sangat penting karena pilihan kata yang tidak tepat selain
menyebabkan ketidakefektifan bahasa yang digunakan, juga dapat mengganggu
kejelsan informasi yang disampaikan. Kesalahpahaman informasi dan rusaknya
situasi komunikasi juga tidak jarang disebabkan oleh penggunaan pilihan kata
yang tidak tepat.
Pada bagian
VI di dalam bukunya Mansoer Pateda membahas mengenai kesalahan membaca dan
menulis dikehidupan sehari-hari yang dilakukan oleh pengguna bahasa terutama
oleh guru dan murid dalam melaksanakan proses pembelajaran. Pembahasan pertama
dimulai dari pengertian membaca, proses membaca, motivasi membaca, model
membaca dan kesalahan membaca. Selanjutnya pembahasan mengenai menulis dimulai
dari pengertian menulis, motivasi menulis, tahap menulis, tipe tulisan,
unsur-unsur tulisan, dan kesalahan menulis.
Secara umum
orang mengatakan bahwa membaca adalah suatu interpretasi simbol-simbol tertulis
atau membaca adalah menangkap makna rangkaian huruf tertentu. ini menunjukkan
bahwa membaca adalah pekerjaan mengidentifikasi simbol-simbol dan
mengasosiasikannya dengan makna, atau dengan kata lain membaca adalah proses
mengidentifikasi dan komprehensi. Yap (1978) dalam Pateda (1989:93) menggambarkan
proses membaca untuk tingkat dasar sebagai berikut:
Graphic input + aural input –recordingà oral reading – decodingà meaning
Pada tingkat selanjutnya, proses terlihat sebagai berikut:
Graphic
input –decodingÃ
meaning
Dechant dan Henry P. Smith (1977) dalam Pateda
(1989:95) berpendapat, ada tiga faktor
utama yang mendorong orang untuk membaca, yakni fisiologis, psikologis, dan
kebiasaan. Faktor fisiologis mengacu kepada kebutuhan, membaca adalah suatu
kebutuhan, sudah seperti kebutuhan untuk makan atau berpakaian. Faktor
psikologis mengacu kepada keinginan untuk mengetahui, mengembangkan pengetahuan
atau mencari informasi. Faktor psikologis yang mendorong manusia mengayakan
kebutuhan mentalnya. Ia terdorong untuk membaca bukan karena dorongan dari
luar, tetapi sudah merupakan dorongan batin agar ia beroleh kemajuan. Akhirnya
faktor kebiasaan mengacu kepada dorongan untuk bersantai-santai saja,
menghabiskan waktu atau untuk rekreasi.
Terdapat beberapa model membaca yang perlu kita ketahui,
yakni model taksonomik, psikokometrik, psikologi, model proses informasi, dan
model linguistik. Untuk memperoleh hasil ketika kita membaca, perlu menerapkan
metode membaca yang efektif. Robinson (Yap, 1978:114) dalam Pateda (1989:98)
mengusulkan metode SQ3R, yakni Survey, Question, Read, Recall, dan Review. Dan
ahli lainnya mengusulkan metode GPID, yakni; Goals, Plans, Implementation dan
Development. Wahidji dkk (1985) dalam Pateda (1989:99) mengatakan bahwa
kesalahan membaca murid kelas VI SD di daerah Gorontalo, Sulawesi Utara adalah:
a. Lafal yang sangat
dipengaruhi oleh lafal dalam bahasa ibu
b. Salah membaca kelompok kata
c. Penggunaan unsur
suprasegmental yang tidak tepat, dan
d. Pungtuasi belum dikuasai.
Langan (1985) dalam Pateda (1989:100) mengatakan di dalam
tulisan, setiap ide yang dikemukakan harus didikung oleh alasan yang cukup.
Dengan kata lain menulis adalah pengalihan bahasa lisan ke dalam bentuk
tulisan. Orang menulis didorong oleh beberapa faktor, yakni; keharusan, promosi,
kemanusiaan, mengharapkan sesuatu, pengembangan ilmu, kesusastraan,
mengadu-domba dan pemberitahuan. Tahap-tahap dalam menulis diantaranya;
mencontoh, reproduksi, rekomendasi/transformasi, menulis terpimpin, dan menulis
bebas (dalam Pateda (1989:103). Billows (1961) dalam Pateda (1989:103)
menyebutkan tipe-tipe tulisan, diantaranya; laporan, timbangan, iklan dan
publikasi, artikel, surat dan tulisan kreatif. Kesalahan yang sering ditemukan
dalam menulis yakni, ejaan, bentuk kata, tata kalimat dan paragraf.
Bab VI dalam
buku Analisis Kesalahan dan Kesantunan Berbahasa karya Markhamah,
dkk membahas mengenai kesantunan sosiolinguistik dalam teks keagamaan. Dalam
teks keagamaan, khususnya terjemahan Quran yang mengandung etika berbahasa
terdapat bermacam-macam kesantunan sosiolinguistik. Kesantunan sosiolinguistik
yang terkandung teks terjemahan Quran ini sebenarnya tidak hanya untuk umat
Islam tetapi bersifat universal yang bisa menjadii ukuran kesantunan
bagiberbagai kelompok masyarakat dan budaya. Oleh karena itu, kesantunan
sosiolinguistik ini secara lebih khusus dapat menjadi rujukan norma dan nilai
bagi bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Kesantunan yang
dimaksud adalah merendahkan diri sendiri, menanyakan secara lebih rinci
pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan sebagai bentuk penolakan
terhadap perintah, menggunakan sindiran untuk meminang secara halus,
mengucapkan salam dan menjawab salam, menggunakan eufimisme, mengucapkan
‘hithhah’ sambil membungkukkan badan, menggunakan panggilan kehormatan,
mengucapkan kata-kata yang baik. Selain itu, kesantunan berbahasa juga ditempuh
dengan sabar dan berbicara dengan suara lunak, kesantunan lainnya adalah
mengucapkan kalimat doa, menyelamatkan muak mitra bicara, memberi keputusan
yang adil, mematuhi perintah dan panggilan.
VII
Menurut Tarigan dalam (Setyawati, 2010: 145) mengemukakan
bahwa wacana merupakan satuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di
atas kalimat atau klausa dengan kogerensi dan kohesi tinggi yang
berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir nyata disampaikan secara lisan
dan tertulis. Ruang lingkup kesalahan dalam tataran wacana dapat meliputi:
a) Kesalahan
dalam Kohesi
1. Kesalahan
Penggunaan Pengacuan
Wacana
Tidak Baku
(1)
Rombongan darmawisata itu mula-mula
mendatangi Pulau Madura. Setelah itu dia
melanjutkan perjalanan ke Pulau Bali
Wacana di
atas salah dalam menggunakan pengacuan. Penggunaan pengacuan yang tepat dalam
wacana (1) bukan dia tapi mereka.
2. Kesalahan Penggunaan Penyulihan
Wacana Tidak Baku
(2)
Ibrahim sekarang sudah berhasil
mendapat gelar Sarjana Pendidikan. Derajat
kesarjanaannya itu akan digunakan untuk mengabdi kepada nusa dan bangsa.
Penggunaan kata-kata penyulihan yang
tercetak miring dalam wacana di atas tidak tepat. Penyulihan wacana yang tepat
untuk wacana (3) adalah titel.
3.
Kekurang efektifan Wacana karena
Tidak Ada Pelesapan
Wacana
Kurang Efektif
(3)
Sudah seminggu ini Rohmah sering ke rumahku.
Rohmah kadang-kadang mengantar
jajanan dan berbincang denganku. Dia belum pernah berbincang denganku tentang
cinta. Entah mengapa, aku pun enggan mengiring perbincangan kami ke arah sana.
Kata yang
tercetak miring dalam wacana di atas merupakan penggunaan yang kurang efektif.
Untuk keefektivitasan kalimat, ekonomis dalam penggunaan bahasa, dan mencapai
aspek kepaduan wacana, maka sebaiknya kata-kata yang bercetak miring tersebut
dilesapkan.
4. Keasalahan
Penggunaan Konjungsi
Wacana
Tidak Baku
(4)
Badannya terasa kurang enak, dan dia
masuk ke kantor juga meskipun banyak
tugas yang harus diselesaikan dengan segera. Masuk dan tidak masuk kantor, pekerjaan harus selesai untuk bulan depan akan diadakan serah
terima jabatan. Karena yang digantikan dan
pengganti harus dipertemukan pada saat itu.
Jika kita
cermati dengan seksama, akan kita temukan kesalahan dalam penggunaan konjungsi
dalam wacana tersebut. tepatnya pada kata-kata yang dicetak miring. Akan lebih
tepat jika kongjungsi-konjungsi dalam kedua wacana di atas diganti seperti
dalam wacana di bawah ini.
b) Kesalahan dalam Koherensi
Perhatikan contoh berikut.
Wacana Tidak Koherens
(1)
banyak pahlawan bangsa dimakamkan di
pemakaman itu. Mereka tewas dalam
pertempuran melawan penjajah. Sengguh besar jasa para pahlawan itu untuk negeri
ini.
Kalimat pada wacana menggambarkan banyak pahlawan yang telah
meninggal dunia. Sekalipun frasa meninggal
dunia bersinonimi dengan kata tewas dalam kalimat kedua wacana tersebut merupakan
pemakaian yang tidak tepat. Bersinonimi menginggal dunia yang tepat jika untuk
pahlawan adalah gugur.
Pateda (1989:111) menguraikan, (1) teknik analisis, (2)
implikasi pedagogis analisis kesalahan, (3) dukungan terhadap analisis kesalahan,
(4) prosedur analisis kesalahan, (5) format analisis kesalahan, (6) kesulitan
menerapakan analisis kesalahan, dan (7) analisis.
· Teknik Analisis
Norrish dalam Pateda (1989:111) mengemukakan dua mekanisme
menganalisis kesalahan. Mekanisme yang diusulkan yakni membuat kategori
kesalahan dan mengelompokkan jenis kesalahan itu berdasarkan daerahnya. Secara
teknis mekanisme ini dilakukan dengan cara (i) melaksanakan kategori seleksi
awal, (ii) menentukan kategori kesalahan, dan (iii) mencek cepat.
· Aplikais Pedagogis Analisis Kesalahan. Ada tiga cara
memperbaiki kesalahan si terdidik:1.Mengoreksi kesalahan di kelas; 2. Mengjelaskan
bentuk gramatikal yang benar; 3. Memolakan bahan yang dikaitkan dengan
kurikulum; 4.Berdasarkan kenyataan, guru biasanya menghadapi kesulitan kalau
mengoreksi kesalahan si terdidik.
· Dukungan Terhadap Analisis Kesalahan. Agar analisis
kesalahan dapat diterapkan, kita harus membentengi diri dengan pengetahuan
fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pengetahuan bahasa yang
diperlukan. Dalam kaitan fonologi, harus dikuasai:a) Pelafalan atau penulisan
kata yang tepat; b) Silabisasi yang betul; c) Ejaan yang benar; d) Penggunaan
pungtuasi yang benar. Dalam kaitannya dengan bidang morfologi,
sekurang-kurangnya dikuasai:a) Penurunan kata yang tepat; b) Pemilihan kata
(diksi); c) Pemakaian kata yang sesuai dengan makna.Dalam kaitannya dengan
bidang sintaksis, harus dikuasai: a) Urutan kata yang tepat; b) Logika kalimat;
c) Koherensi; d) Pemilihan kata, padat, singkat, jelas, efektif, konsisten,
relevan; e) Pemakaian kata sambung yang tepat; f) Tidak ambigu; g) Sesuai
dengan latar belakang sosiolinguistik; h) Pungtuasi. Dalam hubungannya dengan
semantik, harus dikuasai: a) Semua jenis makna yang terdapat dalam kata; b) Pemakaian
kata sesuai dengan makna; c) Makna ganda; d) Sinonim; e) Natonimi; f) Homonimi;
g) Kiasan; h) Makna lugas; i) Bentuk rancu (kata dan kalimat).
· Prosedur Analisis Kesalahan
Corner dalam (Pateda, 1989: 114-115) mengemukakan tiga tahap
menganalisis kesalahan, yakni (i) pengenalan, (ii) pemerian deskripsi, (iii)
penjelasan. Pada tahap pengenalan, guru berusaha jangan sampai salah tafsir
terhadap data yang ada. Secara praktis, tahap pengenalan dan tahap pemerian
berjalan serentak. Pada tahap pemerian, dilaksanakan proses perbandingan.
Perbandingan antara data yang salah dengan data yang seharusnya atau data yang
benar. Proses ini mirip dengan analisis kontrastif. Hanya bedanya ada dua data
bahasa yang dibandingkan, sedangkan pada tahap pemerian dalam analisis
kesalahan data yang dibandingkan adalah data yang salah dan data yang tidak
mengandung kesalahan.
· Format Analsis
No.
|
Nama
|
Daerah Kesalahan
|
||||||
Fonologi
|
F
|
Morfologi
|
f
|
Sintaksis
|
f
|
ket
|
||
·
Kesulitan Menerapkan Analsis
Kesalahan
Kesulitan yang dialami, yakni kesulitan menentukan daerah,
sifat, sumber dan jenis kesalahan. Misalnya, kesalahan menulis kata. Kesulitan
lain juga perlu diperhatikan, yakni kecepatan berbicara atau membaca dan
ketidakjelasan tulisan. Baradja (Pateda, 1989: 122) berpendapat bahwa memang
ada kesulitan menerapkan analisis kesalahan yang menyangkut (i) kesalahan dalam
hal memberikan makna terhadap tuturan si terdidik, (ii) kesulitan untuk
menciptakan instrumen yang dapat menggali informasi yang kita inginkan, (iii)
kesulitan dalam melaksanakan pengelompokkan.
·
Analisis
Di
bawah ini diberikan sebuah contoh tulisan yang di analisis. Contoh ini lebih
banyak berhubungan dengan kemampuan menulis.
“Di
samping itu perlu disadari bahwa populasi seorang pengarang mungkin karena
tumbuh sendiri tetapi mungkin juga ditumbuhkan orang lain. Dalam hal ini
sejalan dengan banyaknya GB pada buku Kemarau tidak jeleknya kalau mereka ini
dipopulasikan”.
Analisis
a)
Kesalahan: kata populasi harus
diganti dengan popularitas. Kata ditumbuhkan
sebaiknya diganti dengan kata dipopulerkan.
b)
Daerah kesalahan: fonologi : tanda
baca yakni penggunaan tanda baca koma, morfologi: diksi, dan sintaksis:
penghilangan urutan kata.
c)
Pembetulan
“Di samping itu perlu disadari bahwa popularitas seorang
pengarang mungkin karena mereka tumbuh sendiri, tetapi mungkin juga
dipopulerkan orang lain. Sejalan dengan banyaknya GB pada buku Kemarau, tidak
ada jeleknya kalau mereka ini dipopulerkan”. (Pateda:1989:124)
Bab VII dalam
buku Analisis Kesalahan dan Kesantunan Berbahasa karya Markhamah,
dkk membahas kesantunan linguistik dalam terjemahan Al Quran. Teks terjemahan
Al Quran mengandung pola-pola konstruksi yang mengungkapkan kesantunan
linguistik. Kesantunan linguistik yang terdapat pada teks terjemahan Al Quran
terdiri dari konstruksi deklaratif, konstruksi imperatif, konstruksi
interogatif, dan konstruksi pengandaian. Kesantunan linguistik dalam teks Al
Quran lebih banyak berupa perintah dan larangan karena ketidaksederajatan
antara penutur dan petutur atau pendengar. Namun demikian, perintah dan larangan
tersebut dinyatakan dalam rentang kualitas bervariasi, dari tingkat kesantunan
rendah hingga kesantunan tinggi. Kesantunan linguistik yang berupa perintah
meliputi perintah, ajakan, dan anjuran, sedangkan kesantunan linguistik yang
berupa larangan mencakup larangan, peringatan dan sindiran.
BAB VIII
Kesalahan
Berbahasa dalam Penerapan Kaidah Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
8.1 Ejaan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ejaan didefinisikan
sebagai kaidah-kaidah cara menggambarkan bunyi-bunyi (kata, kalimat, dan
sebagainya) dalam bentuk tulisan (huruf-huruf) serta penggunaan tanda baca.
Jelaslah bahwa ejaan tidak hanya berkaitan dengan cara mengeja suatu kata,
tetapi yang lebih utama berkaitan dengan cara mengatur penulisan huruf menjadi
satuan yang lebih besar, misalnya kata, kelompok kata, kalimat.
Kesalahan dalam penerapan kaidah Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan (EYD), di antaranya meliputi: (a) kesalahan penulisan huruf besar
atau huruf kapital, (b) kesalahan penulisan huruf miring, (c) kesalahan
penulisan kata, (d) kesalahan memenggal kata, (e) kesalahan penulisan lambang
bilangan, (f) kesalahan penulisan unsur serapan, dan (g) kesalahan penulisan
tanda baca.
1.
Kesalahan Penulisan Huruf Besar atau Huruf Kapital
Penulisan
huruf kapital yang kita jumpai dalam tulisan-tulisan resmi kadang-kadang
menyimpang dari kaidah-kaidah yang berlaku. Perhatikan contoh berikut.
1.
Kesalahan penulisan huruf pertama
petikan langsung.
2.
Kesalahan penulisan huruf pertama
dalam ungkapan yang berhubungan dengan hal-hal keagamaan (terbatas pada nama
diri), kitab suci, dan nama Tuhan (termasuk kata ganti untuk Tuhan).
3.
Kesalahan penulisan huruf pertama
nama gelar (kehormatan, keturunan, keagamaan), jabatan, dan pangkat yang
diikuti nama orang.
4.
Kesalahan penulisan kata-kata van, den, der, da, de, di, bin dan ibnu yang digunakan sebagai nama orang
ditulis dengan huruf besar, padahal kata-kata itu tidak terletak pada awal
kalimat.
5.
Kesalahan penulisan huruf pertama
nama bangsa, suku, dan bahasa yang tidak terletak pada awal kalimat.
6.
Kesalahan penulisan huruf pertama
nama tahun, bulan, hari raya, dan peristiwa sejarah
7.
Kesalahan penulisan pada huruf
pertama nama khas geografi.
8.
Kesalahan penulisan huruf pertama nama
resmi badan, lembaga pemerintahan dan ketatanegaraan, serta nama dokumen resmi.
9.
Kesalahan penulisan huruf pertama
pada kata tugas seperti: di, ke, untuk,
yang, dan, dalam pada judul buku, majalah, surat kabar, dan karangan yang
tidak terletak pada posisi awal.
10. Kesalahan penulisan singkatan nama gelar dan sapaan
11. Kesalahan penulisan huruf pertama kata penunjuk hubungan
kekerabatan, seperti: bapak, ibu,
saudara, anda, kakak, adik, dan paman
yang dipakai sebagai kata ganti atau sapaan.
2.
Kesalahan Penulisan Huruf Miring
a.
Kesalahan penulisan nama buku,
majalah, dan surat kabar yang dikutip dalam karangan.
b.
Kesalahan penulisan yang digunakan
untuk menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata, atau kelompok kata.
c.
Kesalahan penulisan kata nama-nama
ilmiah atau ungkapan bahasa asing atau daerah yang tidak disesuaikan ejaan).
3. Kesalahan Penulisan Kata
a.
Kesalahan penulisan kata dasar dan
kata bentukan
b.
Kesalahan penulisan –ku, -kau, -mu
dan –nya
c.
Kesalahan penulisan preposisi di,
ke, dan dari
d.
Kesalahan penulisan partikel pun
e.
Kesalahan penulisan per-
4. Kesalahan Memenggal Kata
1.
Kesalahan pemenggalan dua vokal yang
berurutan di tengah kata
2.
Kesalahan pemenggalan dua vokal
mengapit konsonan di tengah kata
3.
Kesalahan pemenggalan dua konsonan
berurutan di tengah kata
4.
Kesalahan pemenggalan tiga konsonan
atau lebih di tengah kata
5.
Kesalahan pemenggalan kata
berimbuhan
6.
Kesalahan pemenggalan nama diri
5. Kesalahan Penulisan Lambang
Bilangan
1.
Kesalahan penulisan lambang bilangan
dengan huruf
2.
Kesalahan penulisan kata bilangan
tingkat
3.
Kesalahan penulisan kata bilangan
yang mendapat akhiran –an
4.
Kesalahan penulisan lambang bilangan
yang dapat menyatakan satu atau dua kata yang ditulis dengan angka dan
keslaahan lambang bilangan yang menyatakan beberapa perincian atau pemaparan
ditulis dengan huruf.
5.
Kesalahan penulisan lambang bilangan
pada awal kalimat dengan angka dan kesalahan penulisan lambang bilangan pada
awal kalimat dengan huruf
6.
Kesalahan penulisan angka yang
menunjukkan jumlah antara ratusan, ribuan, dan seterusnya.
7.
Kesalahan penulisan jumlah uang
8.
Kesalahan penulisan angka NIP,
NIM/NPM, dan nomor telepon
6. Kesalahan
Penulisan Unsur Serapan
Berdasarkan
taraf integrasinya, unsur serapan dalam bahasa Indonesia dapat dibedakan atas:
(i) unsur yang belum sepenuhnyaterserap ke dalam bahasa Indonesia (unsur-unsur
ini dipakai dalam konteks bahasa Indonesia, tetapi pelafalannya masih mengikuti
cara asing) dan (ii) unsur asing yang pelafalannya dan penulisannya disesuaikan
dengan kaidah bahasa Indonesia.
7. Kesalahan
Penulisan Tanda Baca
1. Kesalahan penulisan tanda titik (.)
2. Kesalahan penulisan tanda koma (,)
3. Kesalahan pemakaian tanda titik koma (;)
4. Kesalahan pemakaian tanda titik dua ( ; )
5. Kesalahan penulisan tanda hubung (-)
Daftar Pustaka :
Markhamah, dkk. 2009. Analisis Kesalahan dan Kesatunan Berbahasa. Surakarta:Muhammadiyah
University Press.
Pateda, Mansoer. 1989. Analisis Kesalahan. Flores:Nusa Indah.
Setyawati, Nanik. 2010. Analisis Kesalahan Berbahasa Indonesia: Teori dan Praktik.
Surakarta: Yuma Pustaka.
Tarigan, Henry Guntur, Djago Tarigan. 1995. Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar