Senin, 14 Desember 2015

Perbedaan 4 buku Analisis kesalahan berbahasa

Nama : Fernanda Yusi Listeani (2222121726/VII D)

BAB V

Sebuah kalimat hendaknya mendukung suatu gagasan atau ide. Susunan kalimat yang teratur menunjukan cara berfikir teratur. Agar gagasan atau ide mudah dipahami pembaca; fungsi sintaksis yaitu, subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan harus jelas. Kelima fungsi sintaksis itu tidak selalu hadir bersama-sama dalam sebuah kalimat. Kesalahan dalam tataran sintaksis antara lain berupa: kesalahan bidang frasa dan kesalahan bidang kalimat. (Setyawati, 2010:75). Kita ketahui bahwa klausa dapat berpotensi menjadi sebuah kalimat jika intonasinya final. Kesalahan dalam bidang klausa tidak dibicarakan tersendiri, tetapi sekaligus sudah melekat dalam kesalahan di bidang kalimat. Kesalahan berbahasa pada bidang frasa sering dijumpai dalam bahasa lisan maupun bahasa tertulis. Artinya kesalahan berbahasa dalam bidang frasa ini sering terjadi dalam kegiatan berbicara maupun kegiatan menulis.
Kesalahan dalam bidang frasa dapat disebabkan oleh berbagai hal diantaranya:
a.       Adanya pengaruh bahasa daerah;
Kesalahan berbahasa dalam tataran fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan wacana sebagai akibat pengaruh bahasa daerah dapat dijumpai dalam bahasa Indonesia.
b.      Pengunaan preposisi yang tidak tepat;
Pemakaian preposisi tertentu dalam frasa preposional tidak tepat. Hal ini biasanya terjadi pada frasa preposisional yang salah dalam kalimat.
c.       Kesalahan susunan kata;
Salah satu akibat pengaruh bahasa asing adalah kesalahan dalam susuna kata.
d.      Penggunaan unsur yang berlebihan;
Sering dijumpai pemakaian kata-kata yang mengandung makna yang sama (bersinonim) digunakan sekaligus dalam sebuah kalimat.
e.       Penggunaan bentuk superlatif yang berlebihan;
Bentuk superlative adalah suatu bentuk yang mengandung arti ‘paling’ dalam suatu berbandingan. Bentuk yang mengandung arti ‘paling’ itu dapat dihasilkan dengan suatu adjektiva ditambah adverbial amat, sering, sekali atau paling. Jika ada dua adverbial yang digunakan sekaligus dalam menjelaskan adjektiva pada sebuah kalimat, terjadilah bentuk superlatif yang berlebihan.
f.       Penjamakan yang ganda;
Bahasa sehari-hari kadang-kadang orang salah menggunakan bentuk jamak dalam bahasa Indonesia, sehingga menjadi bentuk yang rancu atau kacau.
g.      Penggunaan bentuk resiprokal yang tidak tepat.
Bentuk resiprokal adalah bentuk bahasa yang menggandung arti ‘berbalasan’. Bentuk resiprokal dapat dihasilkan dengan cara menggunakan kata saling atau dengan kata ulang berimbuhan. Tetapi jika ada bentuk yang berarti ‘berbalasan’ itu dengan cara pengulangan kata sekaligus dengan penggunaan kata saling, akan terjadilah bentuk resiprokal yang salah.

Sedangkan kesalahan pada kalimat antara lain;
a.       Kalimat tidak bersubjek;
Kalimat paling sedikit harus terdiri atas subjek dan predikat, kecuali kalimat perintah atau ujaran yang merupakan jawaban pertanyaan. Biasanya kalimat yang subjeknya tidak jelas terdapat dalam kalimat rancu, yaitu kalimat yang berpredikat aktif transitif di depan subjek tersapat preposisi.
b.      Kalimat tidak berpredikat;
Kalimat yang tidak memiliki predikat disebabkan oleh adanya keterangan subjek yang beruntun atau terlalu panjang, keterangan itu diberi keterangan lagi, sehingga penulis atau pembicaranya terlena dan lupa bahwa kalimat yang dibuatnya itu belum lengkap atau belum terdapat predikatnya.
c.       Kalimat tidak bersubjek dan tidak berpredikat (kalimat buntung);
Kalimat yang dipenggal itu masih mempunyai hubungan gantung dengan kalimat lain (sebelumnya). Kalimat yang memiliki hubungan gantung itu disebut anak kalimat, sedangkan kalimat tempat bergantung anak kalimat tadi disebut induk kalimat.
d.      Penggandaan subjek;
Penggandaan subjek menjadikan kalimat tidak jelas bagian yang terdapat tekannannya.
e.       Antara predikat dan objek yang tersisipi;
Kalimat aktif transitif, yaitu kalimat yang memiliki objek;verba transitif tidak perlu diikuti oleh preposisi sebagai pengantar objek.
f.       Kalimat tidak logis;
Kalimat tidak logis merupakan kalimat yang tidak masuk akal. Hal itu terjadi karena pembicara atau penulis kurang berhati-hati dalam pemilihan kata.
g.      Kalimat yang ambiguitas;
Ambiguitas dapat disebabkan beberapa hal diantaranya intonasi yang tidak tepat, pemakaian kata yang bersifat polisemi,struktur kalimnat tidak tepat.
h.      Penghilangan konjungsi;
Membaca tulisan yang di dalamnya terdapat gejala penghilangan-penghilangan konjungsi pada anak kalimat. Justru penghilangan konjungsi menjadikan kalimat tersebut tidak efektif (tidak baku).
i.        Penggunaan konjungsi yang berlebihan;
Kekurangan pemakaian bahasa dapat mengakibatkan penggunaan konjungsi yang berlebihan. Hal itu terjadi karena dua kaidah bahasa bersilang dan bergabung dalam sebuah kalimat.
j.        Urutan yang tidak pararel;
Jika dalam sebuah kalimat terdapat beberapa unsur yang dirinci, rinciannta harus diusahakan parallel. Jika unsur pertama berupa adjektiva, unsur berikutnya berupa adjektiva.
k.      Penggunaan istilah asing;
Kemungkinan pemakaian bahasa itu ingin memperagakan kebolehannya atau keintelektualannya pada khalayak. Padahal kita tidak boleh mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa asing.
l.        Penggunaan kata tanya yang tidak perlu
Dalam bahasa Indonesiasering dijumpai penggunaan bentuk dimana, yang mana, hal mana, dari mana dan kata-kata tanya lain sebagai penghubung atau terdapat kalimat berita (bukan kalimat tanya).

Menurut Pateda (1989:76) proses pertama yang berhubungan dengan bahasa yakni manusia lebih banyak menghabiskan waktu mendengar orang sedang berbicara, atau ia sendiri yang berbicara dengan orang lain. Oleh karena itu, Pateda (1989:76) akan membahas mengenai kesalahan dalam menyimak dan berbicara. Pertama, Pateda membahas peranan menyimak pengertian menyimak, jenis menyimak, faktor yang mempengaruhi proses menyimak, keberhasilan menyimak dan kesalahan menyimak. Menyimak merupakan proses mendengar dengan pemahaman dan pengertian, sedangkan mendengar merupakan proses memperoleh rangsangan bunyi-bunyi bahasa yang belum tentu diikuti oleh proses pemahaman dan pengertian.
Adapun menyimak mempunyai pelbagai jenis yaitu : a) menyimak pasif; b) menyimak sebentar-bentar; c) menyimak tanpa reaksi; d) menyimak reaksi; e) menyimak dengan perasaan; f) menyimak hati-hati; g) menyimak kritis; h) menyimak perseptif; i) menyimak kreatif.  Agar proses menyimak berhasil baik, perlu diperhatikan faktor-faktor yang turut mempengaruhi proses menyimak, yakni; (1) kejelasan pesan yang berasal dari pembicara, (2) bahasa yang digunakan, (3) alat yang didengar, (4) suasana kejiwaan pembicara dan penyimak dan (5) gangguan dari luar, misalnya kebisingan atau keributan (Pateda, 1989:82).
            Kesalahan dalam menyimak harus dilihat dari proses kognitif, karena telah dijelaskan sebelumnya bahwa menyimak adalah proses kognitif. Kesalahan menyimak berkisar pada, kesalahan mengidentifikasi bunyi-bunyi bahasa. Apabila si terdidik mendengar bunyi-bunyi bahasa asing baginya, si terdidik cenderung membuat kesalahan atau ia akan menyamakan bunyi-bunyi yang didengarnya itu dengan bunyi-bunyi yang agak mirip dalam bahasa ibunya. Kesalahan ini disebut kesalahan menyamakan.
Setiap hari manusia tidak hanya menyimak namun juga berbicara. Berbicara termasuk kedalam keterampilan berbahasa setelah menyimak. Berbicara berarti menggunakan bahasa lisan secara aktif. Penggunaan bahasa lisan secara aktif ini boleh saja berwujud perintah, pertanyaan, dorongan, harapan, permintaan, pengakuan, penjelasan, pidato, berbicara pada sidang-sidang, misalnya, konferensi pers, rapat, diskusi, seminar, panel, lokakarya, dan lain sebagainya. Berbicara merupakan aktivitas manusia yang menggunakan bahasa secara lisan. Jika seseorang mendengarkan orang bicara, pasti memperoleh kenyataan bahwa: a) mendengar bunyi-bunyi bahasa yang dilafalkan; b) bunyi-bunyi dilafalkan berturut-turut; c) bunyi bahasa yang didengarkan berwujud kata atau kalimat; d) bunyi-bunyi dilafalkan kelompok demi kelompok;
e) kata atau kalimat yang dilafalkan mengandung pesan tertentu. (Pateda, 1989:85). Oleh karena itu, bahasa yang digunakan berwujud bahasa lisan, maka yang penting adalah pelafalan dan kata-kata atau kalimat yang digunakan. Berdasarkan hal tersebut, kesalahan yang di dapat kalau si terdidik berbicara adalah (a) kesalahan melafalkan bunyi-bunyi bahasa, (b) kesalahan memilih kata-kata atau diksi, (c) penggunaan kalimat yang samar-samar, (d) pengungkapan pikiran yang tidak jelas (kacau) (e) struktur kalimat yang diucapkan dan (f) penggunaan kata-kata yang mubadzir (pemborosan kata).
Tarigan menjelaskan bahwa analisis kesalahan berbahasa adalah bagian dari konversasi atau komposisi yang menyimpang dari beberapa norma baku performansi orang dewasa. Ada empat taksonomi kesalahan berbahasa yang penting kita ketahui, yaitu: a. Taksonomi kategori linguistik; b. Taksonomi siasat permukaan; c. Taksonomi komparatif; d. Taksonomi efek komunikatif
Dalam taksonomi kategori linguistik, kita mengenal kesalahan-kesalahan fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon. Dalam taksonomi suasat permukaan, kita mengenal kesalahan penghilangan, penambahan, salah formasi, dan salah susunan. Dalam taksonomi komparatif terdapat kesalahan perkembangan, kesalahan antarbahasa, kesalahan taksa, dan kesalahan lainnya. Dalam taksonomi efek komunikatif terdapat kesalahan global dan kesalahan lokal.
Analisis kesalahan berbahasa adalah suatu prosedur yang digunakan oleh para peneliti dan para guru, yang mencakup pengumpulan sampel bahasa pelajar, pengenalan kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam sampel tersebut, pendeskripsian kesalahan-kesalahan itu, pengklasifikasian berdasarkan sebab-sebabnya yang telah dihipotesiskan, serta pengevaluasian keseriusannya.
Kesalahan berbahasa itu perlu dikoreksi dengan menggunakan enam kriteria, yaitu keterpahaman, keseringan yang tinggi, keumuman yang tinggi, pengaruh noda/ gangguan, kuantitas pelajar yang terpengaruh, dan fokus pedagogis. Koreksi kesalahan berbahasa lisan dapat dilakukan oleh siswa sendiri dengan bantuan guru, sesame siswa dan guru. Sedangkan kesalahan bahasa tulis dapat dibuat secara langsung, dan tidak langsung.
Markhamah, dkk dalam buku Analisis Kesalahan  dan Kesantunan Berbahasa membahas mengenai kesalahan struktur. Kesalahan struktur disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu kesalahan struktur karena kerancuan aktif-pasif, kesalahan struktur karena subjek dan keterangan, kesalahan struktur karena pengantar kalimat, kesalahan struktur karena penghubung terbagi yang kurang tepat, dan kesalahan struktur karena ketiadaan induk kalimat.
Dalam kesalahan struktur karena kerancuan aktif-pasif, penutur/ penulis sering tidak menyadari bahwa kalimat yang diucapkannya/ ditulisnya merupakan kalimat yang rancu. Kalimat rancu adalah kalimat yang sebagian unsurnya milik kalimat aktif, sementara unsur lainnya milik kalimat pasif.
Contoh:
(1)Saya telah informasikan bahwa hari ini kita akan mengunjungi para korban bencana.
Kalimat (1) strukturnya rancu yang mengakibatkan maknanya ganda. Makna unsur yang merupakan subjek, bahwa hari ini kita akan mengunjungi para korban bencana ataukah saya. Jika bahwa hari ini kita akan mengunjungi para korban bencana sebagai pengisi fungsi S, predikatnya seharusnya verba pasif telah saya informasikan. Sebaliknya, jika S-nya saya, predikatnya harusnya verba aktif menginformasikan. Dengan begitu, bahwa hari ini kita akan mengunjungi para korban bencana mengisi fungsi objek.

Dalam kesalahan struktur karena subjek dan keterangan, penulis atau penutur sering tidak memperhatikan mengenai kalimat yang dihasilkannya sesuai dengan syarat kalimat yang lengkap atau tidak dan kalimat yang ditulisnya dapat dipahami atau tidak. Seorang pemakai bahasa tidak menyadari bahwa dirinya telah mencampurkan komponen lain (msalnya keterangan) pada subjek. Misalnya orang yang mulai mengucapkan kalimat dengan keterangan yang panjang. Penutur/ penulis tidak menyadari bahwa komponen yang dianggapnya subjek ternyata merupakan keterangan.
Kesalahan struktur karena pengantar kalimat, kesalahan ini disebabkan oleh kalimat yang diawali oleh kata menurut, berdasarkan, sebagaimana kita ketahui, seperti disebutkan di muka, seperti telah kami sampaikan sebelumnya, dan sejenisnya. Jika bagian kalimat itu diikuti nomina pelaku orang pertama sering menimbulkan ketaksaan antara ungkapan pengantar kalimat dengan predikat kalimat. Adapun kesalahan struktur karena penghubung terbagi yang kurang tepat. Pada kesalahan ini sering ditemukan kalimat yang menggunakan penghubung yang berupa pasangan atau dua penghubung.
Contoh:
(30) Meskipun kalian tidak ada pekerjaan rumah, tetapi kalian harus tetap belajar.

  Dua informasi yang terdapat dalam kalimat (30) itu tidak jelas hubungan maknanya. penggunaan penghubung meskipun dan tetapi menyebabkan hubungan antara kedua klausa itu tidak jelas. Jika hubungan kedua klausa itu setara, kata hubung yang digunakan mestinya kata tetapi  saja. Sebaliknya, jika kata hubung meskipun  yang digunakan, berarti hubungan kedua klausa dalam kalimat itu bertingkat. Kedua kata penghubung itu menunjukkan hubungan makna yang tidak sama. Kata penghubung tetapi dipakai untuk menunjukkan hubungan setara, sedangkan kata penghubung meskipun menandai pertalian makna bertingkat.
Dalam kesalahan struktur karena ketiadaan induk kalimat, ketepatan struktur berhubungan dengan ketepatan letak unsur-unsur kalimat yang berupa S, P, O (pel), K, dan kelengkapannya. Dalam pemakaian bahasa sering ditemui kalimat yang panjang, tetapi unsur-unsurnya tidak lengkap. Misalnya, S tidak ada, atau P-nya tidak ada. Hal sepert ini terjadi apabila anak kalimat dan induk kalimat sama-sama didahului oleh kata penghubung atau konjungsi. Konjungsi yang sering mengaburkan mana anak kalimat dan mana induk kalimat.


BAB VI

Kesalahan berbahasa dalam tataran semantik dapat berkaitan dengan bahasa tulis maupun bahasa lisan. Kesalahan berbahasa ini dapat terjadi pada tataran fonologi, morfologi,dan sintaksis. Kesalahan berbahasa dalam tataran semantik ini penekanannya pada penyimpangan makna, baik yang berkaitan dengan fonologi, morfologi, maupun sintaksis.Jadi, jika sebuah bunyi, bentuk kata, ataupun kalimat yang maknanya menyimpang dari makna yang seharusnya, maka tergolong ke dalam kesalahan berbahasa ini. Banyak penyimpangan terjadi dalam penggunaan bahasa sehari-hari yang berkaitan dengan makna yang tidak tepat. (Setyawati, 2010:103) Makna yang tidak tepat tersebut dapat berupa;
a.       Kesalahan penggunaan kata-kata mirip
Kata-kata yang betmiripan tersebut dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok, yakni (i) pasangan yang seasal, contoh: kurban dan korban; (ii) pasangan yang bersaing, contoh: kualitatif dan kwalitatif; dan (iii) pasangan yang terancukan, contoh; sah dan syah (Alwi (1991) dalam Setyawati,2010:103).
b.      Kesalahan pilihan kata atau diksi.
Penggunaan kata-kata yang saling menggantikan yang dipaksakan akan menimbulkan perubahan makna kalimat bahkan merusak struktur kalimat, jika tidak disesuiakan dengan makna atau maksud kalimat yang sebenarnya. Pilihan kata yang tidak tepat sering menggunakannya divariasikan secara bebas, sehingga menimbulkan kesalahan. Kalimat seperti tidak bermasala, jika hanya dicermati sekilas saja. Contoh: mantan dan bekas, busana dan baju, jam dan pukul, dan lain-lain. Kesalahan berbahasa dalam tataran semantik tersebut akan dibicarakan satu persatu berikut ini.

1.    Kesalahan karena Pasangan yang Seasal
            Pasangan yang seasal adalah pasangan kata yang memiliki bentuk asal yang sama dan maknanya pun berdekatan (Alwi (1991) dalam Setyawati,2010:103). Dalam hal ini kita tidak menentukan bentuk mana yang benar, tetapi bentuk mana yang maknanya tepat untuk menyatakan gagasan kita. Dengan kata lain, masing-masing adalah bentuk yang benar. Kita dapat mengamati contoh berikut ini :  ‘Penggunaan Kata Kurban dan Korban’
     Kata kurban dan korban sebenarnya berasal dari kata yang sama dari bahasa Arab, yaitu qurban. Kedua kata itu merupakan kata baku di dalam bahasa Indonesia. Dalam perkembangannya, qurban diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan penyesuaian ejaan dan dengan perkembangan makna yang berbeda. Akibat ketidakhati-hatiab pemakai bahasa, kedua kata tersebut sering dipertukarkan pemakaiannya. Contoh;

  Bentuk Tidak Baku
1.    Danging korban itu akan dibagikan kepada yang berhak menerimanya.
2.    Jumlah kurban tanah longsor yang tewas sudah bisa dipastikan

Pengertian pertama kata qurban adalah persembahan kepada Tuhan (seperti kambing, sapi, dan unta yang disembelih pada hari Lebaran haji) atau ‘pemberian untuk menyatakan kesetian atau kebaktian’; yang kemudian dieja menjadi kurban. Makna yang kedua adalah ‘orang atau binatang yang menderita atau mati yang dieja menjadi korban. Berdasarkan perbedaan makna tersebut, maka kita dapat memperbaiki kalimat (1) dan (2) menjadi kalimat berikut;
Bentuk Baku
(1a) Daging kurban itu akan dibagikan kepada yang berhak menerimanya.
(2a) Jumlah korban tanah longsor yang tewas sudah bisa dipastikan.

2.    Kesalahan karena Pasangan yang Terancukan
            Jenis lain kesalahan karena kemiripan adalah pasangan yang terancukan. Pasangan yang terancukan terjadi jika orang yang  tidak mengetahui secara pasti bentuk kata yang benar lalu terkacaukan oleh bentuk yang dianggapnya benar. Dalam hal ini kedua anggota pasangan itu memang bentuk yang benar, tetapi harus diperhatikan perbedaan maknanya. Akibatnya, kadang-kadang ditemukan penggunaan bentuk yang salah  marilah kita cermati contoh kesalahan pemakaian jenis ini;
Penggunaan Kata Sah dan Syah
Kata sah dan syah merupakan dua kata yang berbeda dari segi makna. Kemiripan bentuk dan lafal memang dimiliki kedua kata tersebut. tidak mengherankan jika pemakai bahasa yang tidak cermat, sering mengacaukan pemakainya. Perhatikan pamakaian berikut.
Bentuk Tidak Baku
(11) Sah Iran sudah pernah berkunjung ke Indonesia
(12) Dia sekarang sudah Syah menjadi suami saya.

Kata sah dan syah merupakan contoh pasangan yang terancukan. Makna kedua kata itu jelas berbeda. Sah berarti ‘sudah sesuai hukum’; sedangkan syah berarti ‘raja’. Kesalahan pada kedua kalimat di atas dapat diperbaiki menjadi:
Bentuk Baku
(11a) Syah Iran sudah pernah berkunjung ke Indonesia
(12a) Dia sekarang telah sah menjadi suami saya

3.    Kesalahan karena Pilihan Kata yang Tidak Tepat
            Ada dua istilah yang berkaitan dengan masalah subjudul ini, yaitu pemilihan kata dan pilihan kata. Pemilihan kata adalah proses atau tindakan memilih kata yang dapat mengungkapkan gagasan secara tepat, sedangkan pilihan kata adalah hasil proses atau tindakan tersebut. ketepatan makna dan kelaziman pemakaian kata perlu diperhatikan ketika memilih kata. Dalam kegiatan berbahasa, pilihan kata merupakan aspek yang sangat penting karena pilihan kata yang tidak tepat selain menyebabkan ketidakefektifan bahasa yang digunakan, juga dapat mengganggu kejelsan informasi yang disampaikan. Kesalahpahaman informasi dan rusaknya situasi komunikasi juga tidak jarang disebabkan oleh penggunaan pilihan kata yang tidak tepat.
            Pada bagian VI di dalam bukunya Mansoer Pateda membahas mengenai kesalahan membaca dan menulis dikehidupan sehari-hari yang dilakukan oleh pengguna bahasa terutama oleh guru dan murid dalam melaksanakan proses pembelajaran. Pembahasan pertama dimulai dari pengertian membaca, proses membaca, motivasi membaca, model membaca dan kesalahan membaca. Selanjutnya pembahasan mengenai menulis dimulai dari pengertian menulis, motivasi menulis, tahap menulis, tipe tulisan, unsur-unsur tulisan, dan kesalahan menulis.
            Secara umum orang mengatakan bahwa membaca adalah suatu interpretasi simbol-simbol tertulis atau membaca adalah menangkap makna rangkaian huruf tertentu. ini menunjukkan bahwa membaca adalah pekerjaan mengidentifikasi simbol-simbol dan mengasosiasikannya dengan makna, atau dengan kata lain membaca adalah proses mengidentifikasi dan komprehensi. Yap (1978) dalam Pateda (1989:93) menggambarkan proses membaca untuk tingkat dasar sebagai berikut:

Graphic input + aural input –recordingà oral reading – decodingà meaning

Pada tingkat selanjutnya, proses terlihat sebagai berikut:
    Graphic input –decodingà meaning

Dechant dan Henry P. Smith (1977) dalam Pateda (1989:95)  berpendapat, ada tiga faktor utama yang mendorong orang untuk membaca, yakni fisiologis, psikologis, dan kebiasaan. Faktor fisiologis mengacu kepada kebutuhan, membaca adalah suatu kebutuhan, sudah seperti kebutuhan untuk makan atau berpakaian. Faktor psikologis mengacu kepada keinginan untuk mengetahui, mengembangkan pengetahuan atau mencari informasi. Faktor psikologis yang mendorong manusia mengayakan kebutuhan mentalnya. Ia terdorong untuk membaca bukan karena dorongan dari luar, tetapi sudah merupakan dorongan batin agar ia beroleh kemajuan. Akhirnya faktor kebiasaan mengacu kepada dorongan untuk bersantai-santai saja, menghabiskan waktu atau untuk rekreasi.
Terdapat beberapa model membaca yang perlu kita ketahui, yakni model taksonomik, psikokometrik, psikologi, model proses informasi, dan model linguistik. Untuk memperoleh hasil ketika kita membaca, perlu menerapkan metode membaca yang efektif. Robinson (Yap, 1978:114) dalam Pateda (1989:98) mengusulkan metode SQ3R, yakni Survey, Question, Read, Recall, dan Review. Dan ahli lainnya mengusulkan metode GPID, yakni; Goals, Plans, Implementation dan Development. Wahidji dkk (1985) dalam Pateda (1989:99) mengatakan bahwa kesalahan membaca murid kelas VI SD di daerah Gorontalo, Sulawesi Utara adalah:
a.       Lafal yang sangat dipengaruhi oleh lafal dalam bahasa ibu
b.      Salah membaca kelompok kata
c.       Penggunaan unsur suprasegmental yang tidak tepat, dan
d.      Pungtuasi belum dikuasai.

Langan (1985) dalam Pateda (1989:100) mengatakan di dalam tulisan, setiap ide yang dikemukakan harus didikung oleh alasan yang cukup. Dengan kata lain menulis adalah pengalihan bahasa lisan ke dalam bentuk tulisan. Orang menulis didorong oleh beberapa faktor, yakni; keharusan, promosi, kemanusiaan, mengharapkan sesuatu, pengembangan ilmu, kesusastraan, mengadu-domba dan pemberitahuan. Tahap-tahap dalam menulis diantaranya; mencontoh, reproduksi, rekomendasi/transformasi, menulis terpimpin, dan menulis bebas (dalam Pateda (1989:103). Billows (1961) dalam Pateda (1989:103) menyebutkan tipe-tipe tulisan, diantaranya; laporan, timbangan, iklan dan publikasi, artikel, surat dan tulisan kreatif. Kesalahan yang sering ditemukan dalam menulis yakni, ejaan, bentuk kata, tata kalimat dan paragraf.
Bab VI dalam buku Analisis Kesalahan  dan Kesantunan Berbahasa karya Markhamah, dkk membahas mengenai kesantunan sosiolinguistik dalam teks keagamaan. Dalam teks keagamaan, khususnya terjemahan Quran yang mengandung etika berbahasa terdapat bermacam-macam kesantunan sosiolinguistik. Kesantunan sosiolinguistik yang terkandung teks terjemahan Quran ini sebenarnya tidak hanya untuk umat Islam tetapi bersifat universal yang bisa menjadii ukuran kesantunan bagiberbagai kelompok masyarakat dan budaya. Oleh karena itu, kesantunan sosiolinguistik ini secara lebih khusus dapat menjadi rujukan norma dan nilai bagi bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Kesantunan yang dimaksud adalah merendahkan diri sendiri, menanyakan secara lebih rinci pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan sebagai bentuk penolakan terhadap perintah, menggunakan sindiran untuk meminang secara halus, mengucapkan salam dan menjawab salam, menggunakan eufimisme, mengucapkan ‘hithhah’ sambil membungkukkan badan, menggunakan panggilan kehormatan, mengucapkan kata-kata yang baik. Selain itu, kesantunan berbahasa juga ditempuh dengan sabar dan berbicara dengan suara lunak, kesantunan lainnya adalah mengucapkan kalimat doa, menyelamatkan muak mitra bicara, memberi keputusan yang adil, mematuhi perintah dan panggilan.

VII

Menurut Tarigan dalam (Setyawati, 2010: 145) mengemukakan bahwa wacana merupakan satuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan kogerensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir nyata disampaikan secara lisan dan tertulis. Ruang lingkup kesalahan dalam tataran wacana dapat meliputi:
a)  Kesalahan dalam Kohesi
1. Kesalahan Penggunaan Pengacuan
Wacana Tidak Baku
(1)   Rombongan darmawisata itu mula-mula mendatangi Pulau Madura. Setelah itu dia melanjutkan perjalanan ke Pulau Bali
Wacana di atas salah dalam menggunakan pengacuan. Penggunaan pengacuan yang tepat dalam wacana (1) bukan dia tapi mereka.
2. Kesalahan Penggunaan Penyulihan
Wacana Tidak Baku
(2)   Ibrahim sekarang sudah berhasil mendapat gelar Sarjana Pendidikan. Derajat kesarjanaannya itu akan digunakan untuk mengabdi kepada nusa dan bangsa.
Penggunaan kata-kata penyulihan yang tercetak miring dalam wacana di atas tidak tepat. Penyulihan wacana yang tepat untuk wacana (3) adalah titel.
3.   Kekurang efektifan Wacana karena Tidak Ada Pelesapan
Wacana Kurang Efektif
(3)   Sudah seminggu ini Rohmah sering ke rumahku. Rohmah kadang-kadang mengantar jajanan dan berbincang denganku. Dia belum pernah berbincang denganku tentang cinta. Entah mengapa, aku pun enggan mengiring perbincangan kami ke arah sana.
Kata yang tercetak miring dalam wacana di atas merupakan penggunaan yang kurang efektif. Untuk keefektivitasan kalimat, ekonomis dalam penggunaan bahasa, dan mencapai aspek kepaduan wacana, maka sebaiknya kata-kata yang bercetak miring tersebut dilesapkan.
4. Keasalahan Penggunaan Konjungsi
Wacana Tidak Baku
(4)   Badannya terasa kurang enak, dan dia masuk ke kantor juga meskipun banyak tugas yang harus diselesaikan dengan segera. Masuk dan tidak masuk kantor, pekerjaan harus selesai untuk bulan depan akan diadakan serah terima jabatan. Karena yang digantikan dan pengganti harus dipertemukan pada saat itu.
Jika kita cermati dengan seksama, akan kita temukan kesalahan dalam penggunaan konjungsi dalam wacana tersebut. tepatnya pada kata-kata yang dicetak miring. Akan lebih tepat jika kongjungsi-konjungsi dalam kedua wacana di atas diganti seperti dalam wacana di bawah ini.

b) Kesalahan dalam Koherensi
Perhatikan contoh berikut.
Wacana Tidak Koherens
(1)   banyak pahlawan bangsa dimakamkan di pemakaman itu. Mereka tewas dalam pertempuran melawan penjajah. Sengguh besar jasa para pahlawan itu untuk negeri ini.
Kalimat pada wacana menggambarkan banyak pahlawan yang telah meninggal dunia. Sekalipun frasa meninggal dunia bersinonimi dengan kata tewas  dalam kalimat kedua wacana tersebut merupakan pemakaian yang tidak tepat. Bersinonimi menginggal dunia yang tepat jika untuk pahlawan adalah gugur.
Pateda (1989:111) menguraikan, (1) teknik analisis, (2) implikasi pedagogis analisis kesalahan, (3) dukungan terhadap analisis kesalahan, (4) prosedur analisis kesalahan, (5) format analisis kesalahan, (6) kesulitan menerapakan analisis kesalahan, dan (7) analisis.
·      Teknik Analisis
Norrish dalam Pateda (1989:111) mengemukakan dua mekanisme menganalisis kesalahan. Mekanisme yang diusulkan yakni membuat kategori kesalahan dan mengelompokkan jenis kesalahan itu berdasarkan daerahnya. Secara teknis mekanisme ini dilakukan dengan cara (i) melaksanakan kategori seleksi awal, (ii) menentukan kategori kesalahan, dan (iii) mencek cepat.
·      Aplikais Pedagogis Analisis Kesalahan. Ada tiga cara memperbaiki kesalahan si terdidik:1.Mengoreksi kesalahan di kelas; 2. Mengjelaskan bentuk gramatikal yang benar; 3. Memolakan bahan yang dikaitkan dengan kurikulum; 4.Berdasarkan kenyataan, guru biasanya menghadapi kesulitan kalau mengoreksi kesalahan si terdidik.
·      Dukungan Terhadap Analisis Kesalahan. Agar analisis kesalahan dapat diterapkan, kita harus membentengi diri dengan pengetahuan fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pengetahuan bahasa yang diperlukan. Dalam kaitan fonologi, harus dikuasai:a) Pelafalan atau penulisan kata yang tepat; b) Silabisasi yang betul; c) Ejaan yang benar; d) Penggunaan pungtuasi yang benar. Dalam kaitannya dengan bidang morfologi, sekurang-kurangnya dikuasai:a) Penurunan kata yang tepat; b) Pemilihan kata (diksi); c) Pemakaian kata yang sesuai dengan makna.Dalam kaitannya dengan bidang sintaksis, harus dikuasai: a) Urutan kata yang tepat; b) Logika kalimat; c) Koherensi; d) Pemilihan kata, padat, singkat, jelas, efektif, konsisten, relevan; e) Pemakaian kata sambung yang tepat; f) Tidak ambigu; g) Sesuai dengan latar belakang sosiolinguistik; h) Pungtuasi. Dalam hubungannya dengan semantik, harus dikuasai: a) Semua jenis makna yang terdapat dalam kata; b) Pemakaian kata sesuai dengan makna; c) Makna ganda; d) Sinonim; e) Natonimi; f) Homonimi; g) Kiasan; h) Makna lugas; i) Bentuk rancu (kata dan kalimat).
·      Prosedur Analisis Kesalahan
Corner dalam (Pateda, 1989: 114-115) mengemukakan tiga tahap menganalisis kesalahan, yakni (i) pengenalan, (ii) pemerian deskripsi, (iii) penjelasan. Pada tahap pengenalan, guru berusaha jangan sampai salah tafsir terhadap data yang ada. Secara praktis, tahap pengenalan dan tahap pemerian berjalan serentak. Pada tahap pemerian, dilaksanakan proses perbandingan. Perbandingan antara data yang salah dengan data yang seharusnya atau data yang benar. Proses ini mirip dengan analisis kontrastif. Hanya bedanya ada dua data bahasa yang dibandingkan, sedangkan pada tahap pemerian dalam analisis kesalahan data yang dibandingkan adalah data yang salah dan data yang tidak mengandung kesalahan.
·      Format Analsis
No.
Nama
Daerah Kesalahan
Fonologi
F
Morfologi
f
Sintaksis
f
ket

·         Kesulitan Menerapkan Analsis Kesalahan
Kesulitan yang dialami, yakni kesulitan menentukan daerah, sifat, sumber dan jenis kesalahan. Misalnya, kesalahan menulis kata. Kesulitan lain juga perlu diperhatikan, yakni kecepatan berbicara atau membaca dan ketidakjelasan tulisan. Baradja (Pateda, 1989: 122) berpendapat bahwa memang ada kesulitan menerapkan analisis kesalahan yang menyangkut (i) kesalahan dalam hal memberikan makna terhadap tuturan si terdidik, (ii) kesulitan untuk menciptakan instrumen yang dapat menggali informasi yang kita inginkan, (iii) kesulitan dalam melaksanakan pengelompokkan.
·          Analisis
Di bawah ini diberikan sebuah contoh tulisan yang di analisis. Contoh ini lebih banyak berhubungan dengan kemampuan menulis.
“Di samping itu perlu disadari bahwa populasi seorang pengarang mungkin karena tumbuh sendiri tetapi mungkin juga ditumbuhkan orang lain. Dalam hal ini sejalan dengan banyaknya GB pada buku Kemarau tidak jeleknya kalau mereka ini dipopulasikan”.
Analisis
a)      Kesalahan: kata populasi harus diganti dengan popularitas. Kata ditumbuhkan sebaiknya diganti dengan kata dipopulerkan.
b)      Daerah kesalahan: fonologi : tanda baca yakni penggunaan tanda baca koma, morfologi: diksi, dan sintaksis: penghilangan urutan kata.
c)      Pembetulan
“Di samping itu perlu disadari bahwa popularitas seorang pengarang mungkin karena mereka tumbuh sendiri, tetapi mungkin juga dipopulerkan orang lain. Sejalan dengan banyaknya GB pada buku Kemarau, tidak ada jeleknya kalau mereka ini dipopulerkan”. (Pateda:1989:124)

Bab VII dalam buku Analisis Kesalahan  dan Kesantunan Berbahasa karya Markhamah, dkk membahas kesantunan linguistik dalam terjemahan Al Quran. Teks terjemahan Al Quran mengandung pola-pola konstruksi yang mengungkapkan kesantunan linguistik. Kesantunan linguistik yang terdapat pada teks terjemahan Al Quran terdiri dari konstruksi deklaratif, konstruksi imperatif, konstruksi interogatif, dan konstruksi pengandaian. Kesantunan linguistik dalam teks Al Quran lebih banyak berupa perintah dan larangan karena ketidaksederajatan antara penutur dan petutur atau pendengar. Namun demikian, perintah dan larangan tersebut dinyatakan dalam rentang kualitas bervariasi, dari tingkat kesantunan rendah hingga kesantunan tinggi. Kesantunan linguistik yang berupa perintah meliputi perintah, ajakan, dan anjuran, sedangkan kesantunan linguistik yang berupa larangan mencakup larangan, peringatan dan sindiran.   
BAB VIII

Kesalahan Berbahasa dalam Penerapan Kaidah Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan

8.1    Ejaan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ejaan didefinisikan sebagai kaidah-kaidah cara menggambarkan bunyi-bunyi (kata, kalimat, dan sebagainya) dalam bentuk tulisan (huruf-huruf) serta penggunaan tanda baca. Jelaslah bahwa ejaan tidak hanya berkaitan dengan cara mengeja suatu kata, tetapi yang lebih utama berkaitan dengan cara mengatur penulisan huruf menjadi satuan yang lebih besar, misalnya kata, kelompok kata, kalimat.
Kesalahan dalam penerapan kaidah Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD), di antaranya meliputi: (a) kesalahan penulisan huruf besar atau huruf kapital, (b) kesalahan penulisan huruf miring, (c) kesalahan penulisan kata, (d) kesalahan memenggal kata, (e) kesalahan penulisan lambang bilangan, (f) kesalahan penulisan unsur serapan, dan (g) kesalahan penulisan tanda baca.

1.      Kesalahan Penulisan Huruf Besar atau Huruf Kapital
Penulisan huruf kapital yang kita jumpai dalam tulisan-tulisan resmi kadang-kadang menyimpang dari kaidah-kaidah yang berlaku. Perhatikan contoh berikut.
1.      Kesalahan penulisan huruf pertama petikan langsung.
2.      Kesalahan penulisan huruf pertama dalam ungkapan yang berhubungan dengan hal-hal keagamaan (terbatas pada nama diri), kitab suci, dan nama Tuhan (termasuk kata ganti untuk Tuhan).
3.      Kesalahan penulisan huruf pertama nama gelar (kehormatan, keturunan, keagamaan), jabatan, dan pangkat yang diikuti nama orang.
4.      Kesalahan penulisan kata-kata van, den, der, da, de, di, bin dan ibnu yang digunakan sebagai nama orang ditulis dengan huruf besar, padahal kata-kata itu tidak terletak pada awal kalimat.
5.      Kesalahan penulisan huruf pertama nama bangsa, suku, dan bahasa yang tidak terletak pada awal kalimat.
6.      Kesalahan penulisan huruf pertama nama tahun, bulan, hari raya, dan peristiwa sejarah
7.      Kesalahan penulisan pada huruf pertama nama khas geografi.
8.      Kesalahan penulisan huruf pertama nama resmi badan, lembaga pemerintahan dan ketatanegaraan, serta nama dokumen resmi.
9.      Kesalahan penulisan huruf pertama pada kata tugas seperti: di, ke, untuk, yang, dan, dalam pada judul buku, majalah, surat kabar, dan karangan yang tidak terletak pada posisi awal.
10.  Kesalahan penulisan singkatan nama gelar dan sapaan
11.  Kesalahan penulisan huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan, seperti: bapak, ibu, saudara, anda, kakak, adik, dan paman yang dipakai sebagai kata ganti atau sapaan.

2.      Kesalahan Penulisan Huruf Miring

a.       Kesalahan penulisan nama buku, majalah, dan surat kabar yang dikutip dalam karangan.
b.      Kesalahan penulisan yang digunakan untuk menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata, atau kelompok kata.
c.       Kesalahan penulisan kata nama-nama ilmiah atau ungkapan bahasa asing atau daerah yang tidak disesuaikan ejaan).

3. Kesalahan Penulisan Kata
a.    Kesalahan penulisan kata dasar dan kata bentukan
b.   Kesalahan penulisan –ku, -kau, -mu dan –nya
c.    Kesalahan penulisan preposisi di, ke, dan dari
d.   Kesalahan penulisan partikel pun
e.    Kesalahan penulisan per-

4. Kesalahan Memenggal Kata
1.   Kesalahan pemenggalan dua vokal yang berurutan di tengah kata
2.   Kesalahan pemenggalan dua vokal mengapit konsonan di tengah kata
3.   Kesalahan pemenggalan dua konsonan berurutan di tengah kata
4.   Kesalahan pemenggalan tiga konsonan atau lebih di tengah kata
5.   Kesalahan pemenggalan kata berimbuhan
6.   Kesalahan pemenggalan nama diri

5. Kesalahan Penulisan Lambang Bilangan
         1.      Kesalahan penulisan lambang bilangan dengan huruf
         2.      Kesalahan penulisan kata bilangan tingkat
         3.      Kesalahan penulisan kata bilangan yang mendapat akhiran –an
         4.      Kesalahan penulisan lambang bilangan yang dapat menyatakan satu atau dua kata yang ditulis dengan angka dan keslaahan lambang bilangan yang menyatakan beberapa perincian atau pemaparan ditulis dengan huruf.
         5.      Kesalahan penulisan lambang bilangan pada awal kalimat dengan angka dan kesalahan penulisan lambang bilangan pada awal kalimat dengan huruf
         6.      Kesalahan penulisan angka yang menunjukkan jumlah antara ratusan, ribuan, dan seterusnya.
         7.      Kesalahan penulisan jumlah uang
         8.      Kesalahan penulisan angka NIP, NIM/NPM, dan nomor telepon

6. Kesalahan Penulisan Unsur Serapan
Berdasarkan taraf integrasinya, unsur serapan dalam bahasa Indonesia dapat dibedakan atas: (i) unsur yang belum sepenuhnyaterserap ke dalam bahasa Indonesia (unsur-unsur ini dipakai dalam konteks bahasa Indonesia, tetapi pelafalannya masih mengikuti cara asing) dan (ii) unsur asing yang pelafalannya dan penulisannya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia.
7. Kesalahan Penulisan Tanda Baca
         1.   Kesalahan penulisan tanda titik (.)
         2.   Kesalahan penulisan tanda koma (,)
         3.   Kesalahan pemakaian tanda titik koma (;)
         4.   Kesalahan pemakaian tanda titik dua ( ; )
         5.   Kesalahan penulisan tanda hubung (-)


Daftar Pustaka :
Markhamah, dkk. 2009. Analisis Kesalahan dan Kesatunan Berbahasa. Surakarta:Muhammadiyah University Press.
Pateda, Mansoer. 1989. Analisis Kesalahan. Flores:Nusa Indah.
Setyawati, Nanik. 2010. Analisis Kesalahan Berbahasa Indonesia: Teori dan Praktik. Surakarta: Yuma Pustaka.

Tarigan, Henry Guntur, Djago Tarigan. 1995. Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar