Nama
: Mahiyah
NIM
: 2222120055
Kelas
: 7A
BAB V
Pada
BAB V dalam buku Pengajaran Analisis
Kesalahan Berbahasa Karya Henry Guntur Tarigan dijelaskan bahwa analisis
kesalahan berbahasa adalah bagian dari konversasi atau komposisi yang
menyimpang dari beberapa norma baku performansi orang dewasa. Ada empat
taksonomi kesalahan berbahasa yang penting kita ketahui, yaitu:
a.
Taksonomi kategori linguistik
b.
Taksonomi siasat permukaan
c.
Taksonomi komparatif
d.
Taksonomi efek komunikatif
Dalam
taksonomi kategori linguistik, kita mengenal kesalahan-kesalahan fonologi,
morfologi, sintaksis, dan leksikon. Dalam taksonomi suasat permukaan, kita
mengenal kesalahan penghilangan, penambahan, salah formasi, dan salah susunan.
Dalam taksonomi komparatif terdapat kesalahan perkembangan, kesalahan
antarbahasa, kesalahan taksa, dan kesalahan lainnya. Dalam taksonomi efek
komunikatif terdapat kesalahan global dan kesalahan lokal.
Analisis
kesalahan berbahasa adalah suatu prosedur yang digunakan oleh para peneliti dan
para guru, yang mencakup pengumpulan sampel bahasa pelajar, pengenalan
kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam sampel tersebut, pendeskripsian
kesalahan-kesalahan itu, pengklasifikasian berdasarkan sebab-sebabnya yang
telah dihipotesiskan, serta pengevaluasian keseriusannya.
Kesalahan
berbahasa itu perlu dikoreksi dengan menggunakan enam kriteria, yaitu
keterpahaman, keseringan yang tinggi, keumuman yang tinggi, pengaruh noda/
gangguan, kuantitas pelajar yang terpengaruh, dan fokus pedagogis. Koreksi
kesalahan berbahasa lisan dapat dilakukan oleh siswa sendiri dengan bantuan
guru, sesame siswa dan guru. Sedangkan kesalahan bahasa tulis dapat dibuat
secara langsung, dan tidak langsung.
Pada
BAB V buku Analisis Kesalahan dan Kesantunan Berbahasa karya Markhamah,
dkk membahas mengenai kesalahan struktur. Kesalahan struktur disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu kesalahan struktur karena kerancuan aktif-pasif,
kesalahan struktur karena subjek dan keterangan, kesalahan struktur karena
pengantar kalimat, kesalahan struktur karena penghubung terbagi yang kurang
tepat, dan kesalahan struktur karena ketiadaan induk kalimat.
Dalam
kesalahan struktur karena kerancuan aktif-pasif, penutur/ penulis sering tidak
menyadari bahwa kalimat yang diucapkannya/ ditulisnya merupakan kalimat yang
rancu. Kalimat rancu adalah kalimat yang sebagian unsurnya milik kalimat aktif,
sementara unsur lainnya milik kalimat pasif.
Contoh:
(1)
Saya telah informasikan bahwa hari ini
kita akan mengunjungi para korban bencana.
Kalimat
(1) strukturnya rancu yang mengakibatkan maknanya ganda. Makna unsur yang
merupakan subjek, bahwa hari ini kita
akan mengunjungi para korban bencana ataukah saya. Jika bahwa hari ini
kita akan mengunjungi para korban bencana sebagai pengisi fungsi S,
predikatnya seharusnya verba pasif telah saya informasikan. Sebaliknya, jika
S-nya saya, predikatnya harusnya verba aktif menginformasikan. Dengan begitu, bahwa hari ini kita akan mengunjungi para korban bencana mengisi
fungsi objek.
Dalam
kesalahan struktur karena subjek dan keterangan, penulis atau penutur sering
tidak memperhatikan mengenai kalimat yang dihasilkannya sesuai dengan syarat
kalimat yang lengkap atau tidak dan kalimat yang ditulisnya dapat dipahami atau
tidak. Seorang pemakai bahasa tidak menyadari bahwa dirinya telah mencampurkan
komponen lain (msalnya keterangan) pada subjek. Misalnya orang yang mulai
mengucapkan kalimat dengan keterangan yang panjang. Penutur/ penulis tidak
menyadari bahwa komponen yang dianggapnya subjek ternyata merupakan keterangan.
Kesalahan
struktur karena pengantar kalimat, kesalahan ini disebabkan oleh kalimat yang
diawali oleh kata menurut, berdasarkan,
sebagaimana kita ketahui, seperti disebutkan di muka, seperti telah kami
sampaikan sebelumnya, dan sejenisnya. Jika bagian kalimat itu diikuti
nomina pelaku orang pertama sering menimbulkan ketaksaan antara ungkapan
pengantar kalimat dengan predikat kalimat.
Adapun
kesalahan struktur karena penghubung terbagi yang kurang tepat. Pada kesalahan
ini sering ditemukan kalimat yang menggunakan penghubung yang berupa pasangan
atau dua penghubung.
Contoh
:
(30) Meskipun kalian tidak ada pekerjaan rumah, tetapi kalian harus tetap belajar.
(30) Meskipun kalian tidak ada pekerjaan rumah, tetapi kalian harus tetap belajar.
Dua informasi yang terdapat dalam kalimat
(30) itu tidak jelas hubungan maknanya. penggunaan penghubung meskipun dan tetapi menyebabkan hubungan antara kedua klausa itu tidak jelas.
Jika hubungan kedua klausa itu setara, kata hubung yang digunakan mestinya kata
tetapi saja. Sebaliknya, jika kata hubung meskipun yang digunakan, berarti hubungan kedua klausa
dalam kalimat itu bertingkat. Kedua kata penghubung itu menunjukkan hubungan
makna yang tidak sama. Kata penghubung tetapi
dipakai untuk menunjukkan hubungan setara, sedangkan kata penghubung meskipun menandai pertalian makna
bertingkat.
Dalam
kesalahan struktur karena ketiadaan induk kalimat, ketepatan struktur berhubungan
dengan ketepatan letak unsur-unsur kalimat yang berupa S, P, O (pel), K, dan
kelengkapannya. Dalam pemakaian bahasa sering ditemui kalimat yang panjang,
tetapi unsur-unsurnya tidak lengkap. Misalnya, S tidak ada, atau P-nya tidak
ada. Hal sepert ini terjadi apabila anak kalimat dan induk kalimat sama-sama
didahului oleh kata penghubung atau konjungsi. Konjungsi yang sering
mengaburkan mana anak kalimat dan mana induk kalimat.
Menurut Pateda (1989:76) proses pertama yang berhubungan
dengan bahasa yakni manusia lebih banyak menghabiskan waktu mendengar orang
sedang berbicara, atau ia sendiri yang berbicara dengan orang lain. Oleh karena
itu, Pateda (1989:76) akan membahas mengenai kesalahan dalam menyimak dan
berbicara. Pertama, Pateda membahas peranan menyimak pengertian menyimak, jenis
menyimak, faktor yang mempengaruhi proses menyimak, keberhasilan menyimak dan
kesalahan menyimak. Menyimak merupakan proses mendengar dengan pemahaman dan
pengertian, sedangkan mendengar merupakan proses memperoleh rangsangan
bunyi-bunyi bahasa yang belum tentu diikuti oleh proses pemahaman dan
pengertian.
Adapun menyimak mempunyai pelbagai jenis yaitu : a) menyimak
pasif; b) menyimak sebentar-bentar; c) menyimak tanpa reaksi; d) menyimak reaksi;
e) menyimak dengan perasaan; f) menyimak hati-hati; g) menyimak kritis; h)
menyimak perseptif; i) menyimak kreatif. Agar proses menyimak berhasil baik, perlu
diperhatikan faktor-faktor yang turut mempengaruhi proses menyimak, yakni; (1)
kejelasan pesan yang berasal dari pembicara, (2) bahasa yang digunakan, (3)
alat yang didengar, (4) suasana kejiwaan pembicara dan penyimak dan (5)
gangguan dari luar, misalnya kebisingan atau keributan (Pateda, 1989:82).
Kesalahan dalam
menyimak harus dilihat dari proses kognitif, karena telah dijelaskan sebelumnya
bahwa menyimak adalah proses kognitif. Kesalahan menyimak berkisar pada, kesalahan
mengidentifikasi bunyi-bunyi bahasa. Apabila si terdidik mendengar bunyi-bunyi
bahasa asing baginya, si terdidik cenderung membuat kesalahan atau ia akan
menyamakan bunyi-bunyi yang didengarnya itu dengan bunyi-bunyi yang agak mirip
dalam bahasa ibunya. Kesalahan ini disebut kesalahan menyamakan.
Setiap hari manusia tidak hanya menyimak namun juga
berbicara. Berbicara termasuk kedalam keterampilan berbahasa setelah menyimak.
Berbicara berarti menggunakan bahasa lisan secara aktif. Penggunaan bahasa
lisan secara aktif ini boleh saja berwujud perintah, pertanyaan, dorongan,
harapan, permintaan, pengakuan, penjelasan, pidato, berbicara pada
sidang-sidang, misalnya, konferensi pers, rapat, diskusi, seminar, panel,
lokakarya, dan lain sebagainya. Berbicara merupakan aktivitas manusia yang
menggunakan bahasa secara lisan. Jika seseorang mendengarkan orang bicara,
pasti memperoleh kenyataan bahwa: a) mendengar bunyi-bunyi bahasa yang
dilafalkan; b) bunyi-bunyi dilafalkan berturut-turut; c) bunyi bahasa yang
didengarkan berwujud kata atau kalimat; d) bunyi-bunyi dilafalkan kelompok demi
kelompok;
e) kata
atau kalimat yang dilafalkan mengandung pesan tertentu. (Pateda, 1989:85). Oleh
karena itu, bahasa yang digunakan berwujud bahasa lisan, maka yang penting
adalah pelafalan dan kata-kata atau kalimat yang digunakan. Berdasarkan hal
tersebut, kesalahan yang di dapat kalau si terdidik berbicara adalah (a)
kesalahan melafalkan bunyi-bunyi bahasa, (b) kesalahan memilih kata-kata atau
diksi, (c) penggunaan kalimat yang samar-samar, (d) pengungkapan pikiran yang
tidak jelas (kacau) (e) struktur kalimat yang diucapkan dan (f) penggunaan kata-kata
yang mubadzir (pemborosan kata).
Dalam buku Nanik Setyawati membahas mengenai sebuah kalimat
hendaknya mendukung suatu gagasan atau ide. Susunan kalimat yang teratur
menunjukan cara berfikir teratur. Agar gagasan atau ide mudah dipahami pembaca;
fungsi sintaksis yaitu, subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan
harus jelas. Kelima fungsi sintaksis itu tidak selalu hadir bersama-sama dalam
sebuah kalimat. Kesalahan dalam tataran sintaksis antara lain berupa: kesalahan
bidang frasa dan kesalahan bidang kalimat. (Setyawati, 2010:75). Kita ketahui
bahwa klausa dapat berpotensi menjadi sebuah kalimat jika intonasinya final.
Kesalahan dalam bidang klausa tidak dibicarakan tersendiri, tetapi sekaligus
sudah melekat dalam kesalahan di bidang kalimat. Kesalahan berbahasa pada
bidang frasa sering dijumpai dalam bahasa lisan maupun bahasa tertulis. Artinya
kesalahan berbahasa dalam bidang frasa ini sering terjadi dalam kegiatan
berbicara maupun kegiatan menulis.
Kesalahan dalam bidang frasa dapat disebabkan oleh berbagai
hal diantaranya:
a. Adanya pengaruh bahasa daerah;
Situasi kedwibahasaan yang ada di Indonesia menimbulkan
pengaruh yang besar dalam pemakaian bahasa. Ada kecendrungan bahasa daerah merupakan B1, sedangkan bahasa
daerah B2 bagi rakyat Indonesia atau pemakai bahasa. Dengan kata lain,
kesalahan berbahasa dalam tataran fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan
wacana sebagai akibat pengaruh bahasa daerah dapat dijumpai dalam bahasa
Indonesia.
b. Pengunaan preposisi yang tidak
tepat;
Pemakaian preposisi tertentu dalam frasa preposional tidak
tepat. Hal ini biasanya terjadi pada frasa preposisional yang salah dalam
kalimat.
c. Kesalahan susunan kata;
Salah satu akibat pengaruh bahasa asing adalah kesalahan
dalam susuna kata.
d. Penggunaan unsur yang berlebihan;
Sering dijumpai pemakaian kata-kata yang mengandung makna
yang sama (bersinonim) digunakan sekaligus dalam sebuah kalimat.
e. Penggunaan bentuk superlatif yang
berlebihan;
Bentuk superlative adalah suatu bentuk yang mengandung arti
‘paling’ dalam suatu berbandingan. Bentuk yang mengandung arti ‘paling’ itu
dapat dihasilkan dengan suatu adjektiva ditambah adverbial amat, sering, sekali atau
paling. Jika ada dua adverbial yang digunakan sekaligus dalam menjelaskan
adjektiva pada sebuah kalimat, terjadilah bentuk superlatif yang berlebihan.
f. Penjamakan yang ganda;
Bahasa sehari-hari kadang-kadang orang salah menggunakan
bentuk jamak dalam bahasa Indonesia, sehingga menjadi bentuk yang rancu atau
kacau.
g. Penggunaan bentuk resiprokal yang
tidak tepat.
Bentuk resiprokal adalah bentuk bahasa yang menggandung arti
‘berbalasan’. Bentuk resiprokal dapat dihasilkan dengan cara menggunakan kata
saling atau dengan kata ulang berimbuhan. Tetapi jika ada bentuk yang berarti
‘berbalasan’ itu dengan cara pengulangan kata sekaligus dengan penggunaan kata
saling, akan terjadilah bentuk resiprokal yang salah.
Sedangkan kesalahan pada kalimat
antara lain;
a.
Kalimat tidak bersubjek;
Kalimat paling sedikit harus terdiri
atas subjek dan predikat, kecuali kalimat perintah atau ujaran yang merupakan
jawaban pertanyaan. Biasanya kalimat yang subjeknya tidak jelas terdapat dalam
kalimat rancu, yaitu kalimat yang berpredikat aktif transitif di depan subjek
tersapat preposisi.
b. Kalimat tidak berpredikat;
Kalimat yang tidak memiliki predikat
disebabkan oleh adanya keterangan subjek yang beruntun atau terlalu panjang,
keterangan itu diberi keterangan lagi, sehingga penulis atau pembicaranya
terlena dan lupa bahwa kalimat yang dibuatnya itu belum lengkap atau belum
terdapat predikatnya.
c. Kalimat tidak bersubjek dan tidak berpredikat
(kalimat buntung);
Kalimat yang dipenggal itu masih
mempunyai hubungan gantung dengan kalimat lain (sebelumnya). Kalimat yang
memiliki hubungan gantung itu disebut anak kalimat, sedangkan kalimat tempat
bergantung anak kalimat tadi disebut induk kalimat.
d. Penggandaan subjek;
Penggandaan subjek menjadikan
kalimat tidak jelas bagian yang terdapat tekannannya.
e. Antara predikat dan objek yang
tersisipi;
Kalimat aktif transitif, yaitu
kalimat yang memiliki objek;verba transitif tidak perlu diikuti oleh preposisi
sebagai pengantar objek.
f. Kalimat tidak logis;
Kalimat tidak logis merupakan
kalimat yang tidak masuk akal. Hal itu terjadi karena pembicara atau penulis
kurang berhati-hati dalam pemilihan kata.
g. Kalimat yang ambiguitas;
Ambiguitas dapat disebabkan beberapa
hal diantaranya intonasi yang tidak tepat, pemakaian kata yang bersifat
polisemi,struktur kalimnat tidak tepat.
h. Penghilangan konjungsi;
Membaca tulisan yang di dalamnya
terdapat gejala penghilangan-penghilangan konjungsi pada anak kalimat. Justru
penghilangan konjungsi menjadikan kalimat tersebut tidak efektif (tidak baku).
i.
Penggunaan konjungsi yang berlebihan;
Kekurangan pemakaian bahasa dapat
mengakibatkan penggunaan konjungsi yang berlebihan. Hal itu terjadi karena dua
kaidah bahasa bersilang dan bergabung dalam sebuah kalimat.
j.
Urutan yang tidak pararel;
Jika dalam sebuah kalimat terdapat
beberapa unsur yang dirinci, rinciannta harus diusahakan parallel. Jika unsur
pertama berupa adjektiva, unsur berikutnya berupa adjektiva.
k. Penggunaan istilah asing;
Kemungkinan pemakaian bahasa itu
ingin memperagakan kebolehannya atau keintelektualannya pada khalayak. Padahal
kita tidak boleh mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa asing.
l.
Penggunaan kata tanya yang tidak perlu
Dalam bahasa Indonesiasering
dijumpai penggunaan bentuk dimana, yang mana,
hal mana, dari mana dan kata-kata tanya lain sebagai penghubung atau
terdapat kalimat berita (bukan kalimat tanya).
\
BAB VI
Bab
VI dalam buku Analisis Kesalahan dan Kesantunan Berbahasa karya Markhamah,
dkk membahas mengenai kesantunan sosiolinguistik dalam teks keagamaan. Dalam
teks keagamaan, khususnya terjemahan Quran yang mengandung etika berbahasa
terdapat bermacam-macam kesantunan sosiolinguistik. Kesantunan sosiolinguistik
yang terkandung teks terjemahan Quran ini sebenarnya tidak hanya untuk umat
Islam tetapi bersifat universal yang bisa menjadii ukuran kesantunan
bagiberbagai kelompok masyarakat dan budaya. Oleh karena itu, kesantunan
sosiolinguistik ini secara lebih khusus dapat menjadi rujukan norma dan nilai
bagi bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Kesantunan
yang dimaksud adalah merendahkan diri sendiri, menanyakan secara lebih rinci
pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan sebagai bentuk penolakan terhadap
perintah, menggunakan sindiran untuk meminang secara halus, mengucapkan salam
dan menjawab salam, menggunakan eufimisme, mengucapkan ‘hithhah’ sambil
membungkukkan badan, menggunakan panggilan kehormatan, mengucapkan kata-kata
yang baik. Selain itu, kesantunan berbahasa juga ditempuh dengan sabar dan
berbicara dengan suara lunak, kesantunan lainnya adalah mengucapkan kalimat
doa, menyelamatkan muak mitra bicara, memberi keputusan yang adil, mematuhi
perintah dan panggilan.
Pada bagian VI di dalam bukunya Mansoer Pateda membahas
mengenai kesalahan membaca dan menulis dikehidupan sehari-hari yang dilakukan
oleh pengguna bahasa terutama oleh guru dan murid dalam melaksanakan proses
pembelajaran. Pembahasan pertama dimulai dari pengertian membaca, proses
membaca, motivasi membaca, model membaca dan kesalahan membaca. Selanjutnya
pembahasan mengenai menulis dimulai dari pengertian menulis, motivasi menulis,
tahap menulis, tipe tulisan, unsur-unsur tulisan, dan kesalahan menulis.
Secara umum orang mengatakan bahwa membaca adalah suatu
interpretasi simbol-simbol tertulis atau membaca adalah menangkap makna
rangkaian huruf tertentu. ini menunjukkan bahwa membaca adalah pekerjaan mengidentifikasi
simbol-simbol dan mengasosiasikannya dengan makna, atau dengan kata lain
membaca adalah proses mengidentifikasi dan komprehensi. Yap (1978) dalam Pateda
(1989:93) menggambarkan proses membaca untuk tingkat dasar sebagai berikut:
·
Graphic input + aural input
–recordingà oral reading – decodingà meaning
Pada tingkat selanjutnya, proses
terlihat sebagai berikut:
·
Graphic input –decodingà meaning
Dechant dan Henry P. Smith (1977) dalam Pateda (1989:95) berpendapat, ada tiga faktor utama yang
mendorong orang untuk membaca, yakni fisiologis, psikologis, dan kebiasaan.
Faktor fisiologis mengacu kepada kebutuhan, membaca adalah suatu kebutuhan,
sudah seperti kebutuhan untuk makan atau berpakaian. Faktor psikologis mengacu
kepada keinginan untuk mengetahui, mengembangkan pengetahuan atau mencari
informasi. Faktor psikologis yang mendorong manusia mengayakan kebutuhan
mentalnya. Ia terdorong untuk membaca bukan karena dorongan dari luar, tetapi
sudah merupakan dorongan batin agar ia beroleh kemajuan. Akhirnya faktor
kebiasaan mengacu kepada dorongan untuk bersantai-santai saja, menghabiskan
waktu atau untuk rekreasi.
Terdapat beberapa model membaca yang perlu kita ketahui,
yakni model taksonomik, psikokometrik, psikologi, model proses informasi, dan
model linguistik. Untuk memperoleh hasil ketika kita membaca, perlu menerapkan
metode membaca yang efektif. Robinson (Yap, 1978:114) dalam Pateda (1989:98) mengusulkan
metode SQ3R, yakni Survey, Question, Read, Recall, dan Review. Dan ahli lainnya
mengusulkan metode GPID, yakni; Goals, Plans, Implementation dan Development.
Wahidji dkk (1985) dalam Pateda (1989:99) mengatakan bahwa kesalahan membaca
murid kelas VI SD di daerah Gorontalo, Sulawesi Utara adalah:
a. Lafal yang sangat dipengaruhi oleh
lafal dalam bahasa ibu
b. Salah membaca kelompok kata
c. Penggunaan unsur suprasegmental yang
tidak tepat, dan
d. Pungtuasi belum dikuasai.
Langan (1985) dalam Pateda (1989:100) mengatakan di dalam
tulisan, setiap ide yang dikemukakan harus didikung oleh alasan yang cukup.
Dengan kata lain menulis adalah pengalihan bahasa lisan ke dalam bentuk
tulisan. Orang menulis didorong oleh beberapa faktor, yakni; keharusan,
promosi, kemanusiaan, mengharapkan sesuatu, pengembangan ilmu, kesusastraan,
mengadu-domba dan pemberitahuan. Tahap-tahap dalam menulis diantaranya;
mencontoh, reproduksi, rekomendasi/transformasi, menulis terpimpin, dan menulis
bebas (dalam Pateda (1989:103). Billows (1961) dalam Pateda (1989:103) menyebutkan
tipe-tipe tulisan, diantaranya; laporan, timbangan, iklan dan publikasi,
artikel, surat dan tulisan kreatif. Kesalahan yang sering ditemukan dalam
menulis yakni, ejaan, bentuk kata, tata kalimat dan paragraf.
Dalam buku Nanik Setyawati, kesalahan berbahasa dalam
tataran semantik dapat berkaitan dengan bahasa tulis maupun bahasa lisan.
Kesalahan berbahasa ini dapat terjadi pada tataran fonologi, morfologi,dan
sintaksis. Kesalahan berbahasa dalam tataran semantik ini penekanannya pada
penyimpangan makna, baik yang berkaitan dengan fonologi, morfologi, maupun
sintaksis.Jadi, jika sebuah bunyi, bentuk kata, ataupun kalimat yang maknanya
menyimpang dari makna yang seharusnya, maka tergolong ke dalam kesalahan
berbahasa ini. Banyak penyimpangan terjadi dalam penggunaan bahasa sehari-hari
yang berkaitan dengan makna yang tidak tepat. (Setyawati, 2010:103) Makna yang
tidak tepat tersebut dapat berupa :
a. Kesalahan penggunaan kata-kata mirip
Kata-kata yang betmiripan tersebut
dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok, yakni (i) pasangan yang seasal,
contoh: kurban dan korban; (ii) pasangan yang bersaing,
contoh: kualitatif dan kwalitatif; dan (iii) pasangan yang
terancukan, contoh; sah dan syah (Alwi (1991) dalam
Setyawati,2010:103).
b. Kesalahan pilihan kata atau diksi.
Penggunaan kata-kata yang saling
menggantikan yang dipaksakan akan menimbulkan perubahan makna kalimat bahkan
merusak struktur kalimat, jika tidak disesuiakan dengan makna atau maksud
kalimat yang sebenarnya. Pilihan kata yang tidak tepat sering menggunakannya
divariasikan secara bebas, sehingga menimbulkan kesalahan. Kalimat seperti
tidak bermasala, jika hanya dicermati sekilas saja. Contoh: mantan dan bekas, busana dan baju, jam dan pukul, dan lain-lain. Kesalahan berbahasa dalam tataran
semantik tersebut akan dibicarakan satu persatu berikut ini.
1. Kesalahan
karena Pasangan yang Seasal
Pasangan
yang seasal adalah pasangan kata yang memiliki bentuk asal yang sama dan maknanya
pun berdekatan (Alwi (1991) dalam Setyawati,2010:103). Dalam hal ini kita tidak
menentukan bentuk mana yang benar, tetapi bentuk mana yang maknanya tepat untuk
menyatakan gagasan kita. Dengan kata lain, masing-masing adalah bentuk yang
benar. Kita dapat mengamati contoh berikut ini.
Penggunaan Kata Kurban dan Korban
Kata kurban dan korban sebenarnya
berasal dari kata yang sama dari bahasa Arab, yaitu qurban. Kedua kata itu
merupakan kata baku di dalam bahasa Indonesia. Dalam perkembangannya, qurban
diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan penyesuaian ejaan dan dengan
perkembangan makna yang berbeda. Akibat ketidakhati-hatiab pemakai bahasa,
kedua kata tersebut sering dipertukarkan pemakaiannya. Contoh :
Bentuk Tidak Baku
1.
Danging korban itu
akan dibagikan kepada yang berhak menerimanya.
2.
Jumlah kurban
tanah longsor yang tewas sudah bisa dipastikan
Pengertian pertama kata qurban
adalah persembahan kepada Tuhan (seperti kambing, sapi, dan unta yang
disembelih pada hari Lebaran haji) atau ‘pemberian untuk menyatakan kesetian
atau kebaktian’; yang kemudian dieja menjadi kurban. Makna yang kedua adalah ‘orang atau binatang yang menderita
atau mati yang dieja menjadi korban.
Berdasarkan perbedaan makna tersebut, maka kita dapat memperbaiki kalimat (1) dan
(2) menjadi kalimat berikut:
Bentuk
Baku
(1a) Daging kurban itu akan
dibagikan kepada yang berhak menerimanya.
(2a) Jumlah korban tanah longsor
yang tewas sudah bisa dipastikan.
2. Kesalahan
karena Pasangan yang Terancukan
Jenis
lain kesalahan karena kemiripan adalah pasangan yang terancukan. Pasangan yang
terancukan terjadi jika orang yang tidak
mengetahui secara pasti bentuk kata yang benar lalu terkacaukan oleh bentuk
yang dianggapnya benar. Dalam hal ini kedua anggota pasangan itu memang bentuk
yang benar, tetapi harus diperhatikan perbedaan maknanya. Akibatnya,
kadang-kadang ditemukan penggunaan bentuk yang salah marilah kita cermati contoh kesalahan
pemakaian jenis ini;
Penggunaan
Kata Sah dan Syah
Kata sah dan syah merupakan
dua kata yang berbeda dari segi makna. Kemiripan bentuk dan lafal memang
dimiliki kedua kata tersebut. tidak mengherankan jika pemakai bahasa yang tidak
cermat, sering mengacaukan pemakainya. Perhatikan pamakaian berikut.
Bentuk Tidak Baku
(11) Sah Iran sudah pernah berkunjung ke Indonesia
(12) Dia sekarang sudah Syah menjadi suami saya.
Kata sah dan syah merupakan
contoh pasangan yang terancukan. Makna kedua kata itu jelas berbeda. Sah berarti ‘sudah sesuai hukum’;
sedangkan syah berarti ‘raja’.
Kesalahan pada kedua kalimat di atas dapat diperbaiki menjadi:
Bentuk
Baku
(11a) Syah Iran sudah pernah berkunjung ke Indonesia
(12a) Dia sekarang telah sah menjadi suami saya
3. Kesalahan
karena Pilihan Kata yang Tidak Tepat
Ada
dua istilah yang berkaitan dengan masalah subjudul ini, yaitu pemilihan kata
dan pilihan kata. Pemilihan kata adalah proses atau tindakan memilih kata yang
dapat mengungkapkan gagasan secara tepat, sedangkan pilihan kata adalah hasil
proses atau tindakan tersebut. ketepatan makna dan kelaziman pemakaian kata
perlu diperhatikan ketika memilih kata. Dalam kegiatan berbahasa, pilihan kata
merupakan aspek yang sangat penting karena pilihan kata yang tidak tepat selain
menyebabkan ketidakefektifan bahasa yang digunakan, juga dapat mengganggu
kejelsan informasi yang disampaikan. Kesalahpahaman informasi dan rusaknya
situasi komunikasi juga tidak jarang disebabkan oleh penggunaan pilihan kata
yang tidak tepat.
Seorang
pembicara atau penulis akan memilih kata yang “terbaik” untuk mengungkapkan
pesan yang akan disampaikannya. Pilihan kata yang “terbaik” adalah yang
memenuhi syarat antara lain: (1) ketepatan, (2) kebenaran, dan (3) kelaziman.
Kata yang tepat adalah kata yang mempunyai makna yang dapat mengungkapkan atau
sesuai dengan gagasan pemakai bahasa. kata yang benar adalah kata yang
diucapkan atau ditulis sesuai dengan bentuk yang benar (baik bentuk dasar
maupun bentuk jadian). Kata yang lazim adalah kata yang biasa digunakan untuk
mengungkapkan gagasan tertentu.
BAB VII
Bab
VII dalam buku Analisis Kesalahan dan Kesantunan Berbahasa karya Markhamah,
dkk membahas kesantunan linguistik dalam terjemahan Al Quran. Teks terjemahan
Al Quran mengandung pola-pola konstruksi yang mengungkapkan kesantunan
linguistik. Kesantunan linguistik yang terdapat pada teks terjemahan Al Quran
terdiri dari konstruksi deklaratif, konstruksi imperatif, konstruksi
interogatif, dan konstruksi pengandaian. Kesantunan linguistik dalam teks Al
Quran lebih banyak berupa perintah dan larangan karena ketidaksederajatan
antara penutur dan petutur atau pendengar. Namun demikian, perintah dan
larangan tersebut dinyatakan dalam rentang kualitas bervariasi, dari tingkat
kesantunan rendah hingga kesantunan tinggi. Kesantunan linguistik yang berupa
perintah meliputi perintah, ajakan, dan anjuran, sedangkan kesantunan
linguistik yang berupa larangan mencakup larangan, peringatan dan
sindiran.
Sebagian
besar kesantunan linguistik diungkapkan dalam konstruksi impeeratif, yang
kemudian disusul dengan konstruksi deklaratif, integoratif, dan pengandaian.
Hal ini menyiratkan adanya tingkatan kesantunan dari rendah ke tinggi,
kesantunan linguistik dalam konstruksi imperatif ditandai dengan penonjolan
pelaku, bermakna antonim, bermakna peringatan, dan penonjolan penderita.
Pateda (1989:111) menguraikan, (1)
teknik analisis, (2) implikasi pedagogis analisis kesalahan, (3) dukungan
terhadap analisis kesalahan, (4) prosedur analisis kesalahan, (5) format
analisis kesalahan, (6) kesulitan menerapakan analisis kesalahan, dan (7)
analisis.
·
Teknik Analisis
Norrish dalam Pateda (1989:111) mengemukakan dua mekanisme
menganalisis kesalahan. Mekanisme yang diusulkan yakni membuat kategori
kesalahan dan mengelompokkan jenis kesalahan itu berdasarkan daerahnya. Secara
teknis mekanisme ini dilakukan dengan cara (i) melaksanakan kategori seleksi
awal, (ii) menentukan kategori kesalahan, dan (iii) mencek cepat.
· Aplikais Pedagogis Analisis
Kesalahan
Ada tiga cara memperbaiki kesalahan si terdidik:
1. Mengoreksi kesalahan di kelas
2. Mengjelaskan bentuk gramatikal yang
benar
3. Memolakan bahan yang dikaitkan
dengan kurikulum
4. Berdasarkan kenyataan, guru biasanya
menghadapi kesulitan kalau mengoreksi kesalahan si terdidik.
· Dukungan Terhadap Analisis Kesalahan
Agar
analisis kesalahan dapat diterapkan, kita harus membentengi diri dengan
pengetahuan fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pengetahuan bahasa
yang diperlukan. Dalam kaitan fonologi, harus dikuasai:
-
Pelafalan atau penulisan kata yang
tepat
-
Silabisasi yang betul
-
Ejaan yang benar
-
Penggunaan pungtuasi yang benar
Dalam kaitannya dengan bidang morfologi, sekurang-kurangnya
dikuasai:
-
Penurunan kata yang tepat
-
Pemilihan kata (diksi)
-
Pemakaian kata yang sesuai dengan
makna
Dalam kaitannya dengan bidang sintaksis, harus dikuasai:
-
Urutan kata yang tepat
-
Logika kalimat
-
Koherensi
-
Pemilihan kata, padat, singkat,
jelas, efektif, konsisten, relevan.
-
Pemakaian kata sambung yang tepat
-
Tidak ambigu
-
Sesuai dengan latar belakang
sosiolinguistik
-
Pungtuasi
Dalam hubungannya dengan semantik, harus dikuasai;
-
Semua jenis makna yang terdapat
dalam kata
-
Pemakaian kata sesuai dengan makna
-
Makna ganda
-
Sinonim
-
Natonimi
-
Homonimi
-
Kiasan
-
Makna lugas
-
Bentuk rancu (kata dan kalimat).
· Prosedur Analisis Kesalahan
Corner
dalam (Pateda, 1989: 114-115) mengemukakan tiga tahap menganalisis kesalahan,
yakni (i) pengenalan, (ii) pemerian deskripsi, (iii) penjelasan. Pada tahap
pengenalan, guru berusaha jangan sampai salah tafsir terhadap data yang ada.
Secara praktis, tahap pengenalan dan tahap pemerian berjalan serentak. Pada
tahap pemerian, dilaksanakan proses perbandingan. Perbandingan antara data yang
salah dengan data yang seharusnya atau data yang benar. Proses ini mirip dengan
analisis kontrastif. Hanya bedanya ada dua data bahasa yang dibandingkan,
sedangkan pada tahap pemerian dalam analisis kesalahan data yang dibandingkan
adalah data yang salah dan data yang tidak mengandung kesalahan.
· Format Analsis
No
|
Nama
|
Daerah Kesalahan
|
||||||
Fonologi
|
f
|
Morfologi
|
f
|
Sintaksis
|
f
|
ket
|
||
· Kesulitan Menerapkan Analsis
Kesalahan
Banyak
kesulitan yang dialami, apabila kita aan menganalisis kesalahan. Kesulitan itu
terutama berpangkal dari penganalisis, yakni kemampuan menentukan bentuk yang
benar dan salah. Penganalisis kadang-kadang ragu-ragu menentukan bentuk yang
benar dan yang benar. Keragu-raguan muncul, karena terdapat perbedaan pendapat
antara para ahli mengenai persoalan yang sama.
Kesulitan
berikut yang dialami, yakni kesulitan menentukan daerah, sifat, sumber dan
jenis kesalahan. Misalnya, kesalahan menulis kata, apakah digolongkan pada
daerah fonologi atau morfologi? Kesulitan lain juga perlu diperhatikan, yakni
kecepatan berbicara atau membaca dan ketidakjelasan tulisan. Baradja (Pateda,
1989: 122) berpendapat bahwa memang ada kesulitan menerapkan analisis kesalahan
yang menyangkut (i) kesalahan dalam hal memberikan makna terhadap tuturan si
terdidik, (ii) kesulitan untuk menciptakan instrumen yang dapat menggali
informasi yang kita inginkan, (iii) kesulitan dalam melaksanakan
pengelompokkan.
· Analisis
Di
bawah ini diberikan sebuah contoh tulisan yang di analisis. Contoh ini lebih
banyak berhubungan dengan kemampuan menulis.
“Di samping itu perlu disadari bahwa populasi seorang
pengarang mungkin karena tumbuh sendiri tetapi mungkin juga ditumbuhkan orang
lain. Dalam hal ini sejalan dengan banyaknya GB pada buku Kemarau tidak
jeleknya kalau mereka ini dipopulasikan.
Analisis
a. Kesalahan: kata populasi harus
diganti dengan popularitas. Kata ditumbuhkan
sebaiknya diganti dengan kata dipopulerkan.
b. Daerah kesalahan: fonologi : tanda
baca yakni penggunaan tanda baca koma, morfologi: diksi, dan sintaksis:
penghilangan urutan kata.
c. Pembetulan
“Di samping itu perlu disadari bahwa
popularitas seorang pengarang mungkin karena mereka tumbuh sendiri, tetapi
mungkin juga dipopulerkan orang lain. Sejalan dengan banyaknya GB pada buku
Kemarau, tidak ada jeleknya kalau mereka ini dipopulerkan”. (Pateda:1989:124).
Menurut Tarigan dalam (Setyawati, 2010: 145) mengemukakan
bahwa wacana merupakan satuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di
atas kalimat atau klausa dengan kogerensi dan kohesi tinggi yang
berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir nyata disampaikan secara lisan
dan tertulis. Ruang lingkup kesalahan dalam tataran wacana dapat meliputi:
a) Kesalahan dalam Kohesi
1. Kesalahan Penggunaan Pengacuan
Wacana
Tidak Baku
(1) Rombongan darmawisata itu mula-mula
mendatangi Pulau Madura. Setelah itu dia
melanjutkan perjalanan ke Pulau Bali
Wacana di
atas salah dalam menggunakan pengacuan. Penggunaan pengacuan yang tepat dalam
wacana (1) bukan dia tapi mereka.
2. Kesalahan Penggunaan Penyulihan
Wacana Tidak Baku
(2) Ibrahim sekarang sudah berhasil
mendapat gelar Sarjana Pendidikan. Derajat
kesarjanaannya itu akan digunakan untuk mengabdi kepada nusa dan bangsa.
Penggunaan kata-kata penyulihan yang
tercetak miring dalam wacana di atas tidak tepat. Penyulihan wacana yang tepat
untuk wacana (3) adalah titel;
3. Kekurang efektifan Wacana karena
Tidak Ada Pelesapan
Wacana
Kurang Efektif
(3) Sudah seminggu ini Rohmah sering ke
rumahku. Rohmah kadang-kadang mengantar jajanan dan berbincang denganku. Dia
belum pernah berbincang denganku tentang cinta. Entah mengapa, aku pun enggan
mengiring perbincangan kami ke arah sana.
Kata yang
tercetak miring dalam wacana di atas merupakan penggunaan yang kurang efektif.
Untuk keefektivitasan kalimat, ekonomis dalam penggunaan bahasa, dan mencapai
aspek kepaduan wacana, maka sebaiknya kata-kata yang bercetak miring tersebut
dilesapkan.
4. Keasalahan Penggunaan Konjungsi
Wacana Tidak Baku
(4) Badannya terasa kurang enak, dan dia masuk ke kantor juga meskipun banyak tugas yang harus
diselesaikan dengan segera. Masuk dan
tidak masuk kantor, pekerjaan harus selesai untuk
bulan depan akan diadakan serah terima jabatan. Karena yang digantikan dan pengganti harus dipertemukan pada
saat itu.
Jika kita
cermati dengan seksama, akan kita temukan kesalahan dalam penggunaan konjungsi
dalam wacana tersebut. tepatnya pada kata-kata yang dicetak miring. Akan lebih
tepat jika kongjungsi-konjungsi dalam kedua wacana di atas diganti seperti
dalam wacana di bawah ini:
(4a)
Badannya terasa kurang enak, tetapi
dia masuk kantor juga karena banyak
tugas yang harus diselesaikan dengan segera. Masuk atau tidak masuk kantor, pekerjaan harus selesai sebab bulan depan akan diadakan serah
terima jabatan. Baik yang digantikan maupun
pengganti harus dipertemukan pada saat itu.
b)
Kesalahan dalam Koherensi
Perhatikan contoh berikut.
Wacana Tidak Koherens
(1)
banyak pahlawan bangsa dimakamkan di pemakaman itu. Mereka tewas dalam pertempuran melawan
penjajah. Sengguh besar jasa para pahlawan itu untuk negeri ini.
Kalimat pada wacana menggambarkan banyak pahlawan yang telah
meninggal dunia. Sekalipun frasa meninggal
dunia bersinonimi dengan kata tewas dalam kalimat kedua wacana tersebut merupakan
pemakaian yang tidak tepat. Bersinonimi menginggal dunia yang tepat jika untuk
pahlawan adalah gugur.
BAB
VIII
Dalam
buku Nanik Setyawati membahas mengenai kesalahan berbahasa dalam penerapan
kaidah ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan.
8.1
Ejaan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ejaan didefinisikan
sebagai kaidah-kaidah cara menggambarkan bunyi-bunyi (kata, kalimat, dan
sebagainya) dalam bentuk tulisan (huruf-huruf) serta penggunaan tanda baca.
Jelaslah bahwa ejaan tidak hanya berkaitan dengan cara mengeja suatu kata,
tetapi yang lebih utama berkaitan dengan cara mengatur penulisan huruf menjadi
satuan yang lebih besar, misalnya kata, kelompok kata, kalimat.
Kesalahan dalam penerapan kaidah Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan (EYD), di antaranya meliputi: (a) kesalahan penulisan huruf besar
atau huruf kapital, (b) kesalahan penulisan huruf miring, (c) kesalahan
penulisan kata, (d) kesalahan memenggal kata, (e) kesalahan penulisan lambang
bilangan, (f) kesalahan penulisan unsur serapan, dan (g) kesalahan penulisan
tanda baca.
(a)
Kesalahan Penulisan Huruf Besar atau Huruf Kapital
Penulisan huruf kapital yang kita jumpai dalam
tulisan-tulisan resmi kadang-kadang menyimpang dari kaidah-kaidah yang berlaku.
Perhatikan contoh berikut.
1.
Kesalahan penulisan huruf pertama
petikan langsung.
Contoh:
Bentuk Tidak Baku
(1)
Ibu mengingatkan, “jangan lupa
dompetmu, Tik!”
(2)
Karolina menjawab, “ bukan aku yang
mengambil baju itu, Bu.”
(3)
“tadi pagi saya berangkat
tergesa-gesa karena bangun kesiangan, “kata Bekti.
Sesuai dengan kaidah tata bahasa yang benar adalah bahwa
huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama petikan langsung. Jadi, ketiga
kalimat di atas dapat diperbaiki menjadi kalimat-kalimat berikut ini.
Bentuk Baku
(1a) Ibu mengatakan, “jangan lupa dompetmu, Tik?”
(2a) Karolina menjawab, “ Bukan aku yang mengambil baju itu,
Bu.”
(3a)
“Tadi pagi saya berangkat tergesa-gesa karena bangun kesiangan,” kata Bekti.
2. Kesalahan penulisan huruf pertama
dalam ungkapan yang berhubungan dengan hal-hal keagamaan (terbatas pada nama
diri), kitab suci, dan nama Tuhan (termasuk kata ganti untuk Tuhan).
Contoh:
Bentuk Tidak Baku
(4) Ya allah, semoga engkau menerima
arwah ayah saya.
(5) Limpahkanlah rahmatmu kepada kami ya
Allah.
Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama dalam ungkapan
yang berhubungan dengan hal-hal keagamaan (terbatas pada nama diri), kitab
suci, dan nama Tuhan (termasuk kata ganti untuk Tuhan). Huruf pertama pada kata
ganti –ku, -mu, dan –nya, sebagai kata ganti Tuhan harus
dituliskan dengan huruf kapital yang dirangkaikan oleh tanda hubung (-) dengan
kata sebelumnya. Dengan berpedoman pada kaidah tersebut, kita dapat memperbaiki
kalimat-kalimat di atas menjadi:
Bentuk Baku
(4a) Ya Allah, semoga Engkau menerima arwah ayah saya.
(5a) Limpahkanlah rahmat-Mu kepada kami ya Allah.
c)
Kesalahan penulisan huruf pertama
nama gelar (kehormatan, keturunan, keagamaan), jabatan, dan pangkat yang
diikuti nama orang.
Contoh:
Bentuk Tidak Baku
(6)
Pemerintah baru saja memberikan
anugerah kepada mahaputa Yamin.
(7)
Nabi Ismail adalah anak nabi Ibrahim
alaihisalam.
Berdasarkan pada kaidah tata bahasa Indonesia bahwa huruf
kapital dipakai sebagai huruf pertama nama gelar (keheormatan, keturunan,
keagamaan), jabatan dan pangkat yang diikuti nama diri ditulis dengan huruf
kecil. Jadi, kalimat di atas dapat diperbaiki menjadi bentuk baku:
Bentuk Baku
(7a) Pemerintah baru saja memberikan
anugerah kepada Mahaputra Yamin.
(8a) Nabi Ismail adalah anak Nabi Ibrahim
alaihisalam.
d)
Kesalahan penulisan kata-kata van, den, der, da, de, di, bin dan ibnu yang digunakan sebagai nama orang
ditulis dengan huruf besar, padahal kata-kata itu tidak terletak pada awal
kalimat.
Contoh;
Bentuk Baku Bentuk Tidak Baku
-
Van den Bosch - Van Den Bosch
-
Mursid bin Hasan - Mursid Bin Hasan
e) Kesalahan penulisan huruf pertama
nama bangsa, suku, dan bahasa yang tidak terletak pada awal kalimat.
f) Kesalahan penulisan huruf pertama nama tahun, bulan, hari
raya, dan peristiwa sejarah
g)
Kesalahan penulisan pada huruf pertama nama khas geografi.
h) Kesalahan penulisan huruf pertama nama
resmi badan, lembaga pemerintahan dan ketatanegaraan, serta nama dokumen resmi.
i) Kesalahan penulisan huruf pertama
pada kata tugas seperti: di, ke, untuk,
yang, dan, dalam pada judul buku, majalah, surat kabar, dan karangan yang
tidak terletak pada posisi awal.
j)
Kesalahan penulisan singkatan nama
gelar dan sapaan
k) Kesalahan penulisan huruf pertama
kata penunjuk hubungan kekerabatan, seperti: bapak, ibu, saudara, anda, kakak, adik, dan paman yang dipakai sebagai kata ganti atau sapaan.
(b) Kesalahan
Penulisan Huruf Miring
a) Kesalahan penulisan nama buku,
majalah, dan surat kabar yang dikutip dalam karangan.
b) Kesalahan penulisan yang digunakan
untuk menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata, atau kelompok kata.
c) Kesalahan penulisan kata nama-nama
ilmiah atau ungkapan bahasa asing atau daerah yang tidak disesuaikan ejaan).
(c) Kesalahan
Penulisan Kata
a)
Kesalahan penulisan kata dasar dan
kata bentukan
b)
Kesalahan penulisan –ku, -kau, -mu
dan –nya
c)
Kesalahan penulisan preposisi di,
ke, dan dari
d)
Kesalahan penulisan partikel pun
e)
Kesalahan penulisan per-
(d) Kesalahan
Memenggal Kata
1)
Kesalahan pemenggalan dua vokal yang
berurutan di tengah kata
2)
Kesalahan pemenggalan dua vokal
mengapit konsonan di tengah kata
3)
Kesalahan pemenggalan dua konsonan
berurutan di tengah kata
4)
Kesalahan pemenggalan tiga konsonan
atau lebih di tengah kata
5)
Kesalahan pemenggalan kata
berimbuhan
6)
Kesalahan pemenggalan nama diri
(e) Kesalahan
Penulisan Lambang Bilangan
1)
Kesalahan penulisan lambang bilangan
dengan huruf
2)
Kesalahan penulisan kata bilangan
tingkat
3)
Kesalahan penulisan kata bilangan
yang mendapat akhiran –an
4) Kesalahan penulisan lambang bilangan
yang dapat menyatakan satu atau dua kata yang ditulis dengan angka dan
keslaahan lambang bilangan yang menyatakan beberapa perincian atau pemaparan
ditulis dengan huruf.
5) Kesalahan penulisan lambang bilangan
pada awal kalimat dengan angka dan kesalahan penulisan lambang bilangan pada
awal kalimat dengan huruf
6) Kesalahan penulisan angka yang
menunjukkan jumlah antara ratusan, ribuan, dan seterusnya.
7)
Kesalahan penulisan jumlah uang
8)
Kesalahan penulisan angka NIP,
NIM/NPM, dan nomor telepon
(f) Kesalahan
Penulisan Unsur Serapan
Berdasarkan taraf integrasinya, unsur serapan dalam bahasa
Indonesia dapat dibedakan atas: (i) unsur yang belum sepenuhnyaterserap ke
dalam bahasa Indonesia (unsur-unsur ini dipakai dalam konteks bahasa Indonesia,
tetapi pelafalannya masih mengikuti cara asing) dan (ii) unsur asing yang
pelafalannya dan penulisannya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia.
(g) Kesalahan
Penulisan Tanda Baca
1)
Kesalahan penulisan tanda titik (.)
2)
Kesalahan penulisan tanda koma (,)
3)
Kesalahan pemakaian tanda titik koma
(;)
4)
Kesalahan pemakaian tanda titik dua
( ; )
5)
Kesalahan penulisan tanda hubung (-)
Daftar Pustaka
Markhamah, dkk. 2009. Analisis Kesalahan dan Kesatunan Berbahasa. Surakarta:Muhammadiyah
University Press.
Pateda, Mansoer. 1989. Analisis Kesalahan. Flores:Nusa Indah.
Setyawati, Nanik. 2010. Analisis Kesalahan Berbahasa Indonesia:
Teori dan Praktik. Surakarta: Yuma Pustaka.
Tarigan, Henry Guntur,
Djago Tarigan. 1995. Pengajaran Analisis
Kesalahan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar