Nama : Choirunnisa
NIM : 2222120030 (VII A)
HASIL PEMBACAAN PADA KEEMPAT BUKU ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA
· BAB I
Hasil
pembacaan saya terhadap keempat buku tentang analisis kesalahan berbahasa ini
pada bab satu hampir keseluruhan membahas mengenai keragaman bahasa, yang kita
tahu di Indonesia sendiri bahasa yang digunakan sangat beragam, tidak hanya ada
bahasa Indonesia yang dipergunakan sebagai bahasa nasional namun ada juga
bahasa pertama yang diperoleh sebelum memperoleh bahasa Indonesia. Tidak heran jika
negara Indonesia termasuk ke dalam dwibahasaan. Keanekaragaman bahasa ini
adalah salah satu pemicu terjadi kesalahan dalam berbahasa baik pada tingkat
fonemnya atau fonologi, morfemnya atau fonologi atau kalimatnya atau sintaksis.
Henry
Guntur Tarigan mengawali pembahasan dalam bukunya yang berjudul Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa adalah
mengenai pemerolehan bahasa. Pemerolehan bahasa biasanya diikuti oleh kata
pertama dan kedua, sehingga kita kenal istilah pemerolehan bahasa pertama (B1)
dan Pemerolehan bahasa kedua (B2). Pemerolehan bahasa pertama berkaitan dengan
segala aktivitas seseorang dalam menguasai bahasa ibunya, jalur pemerolehannya
dapat melalui pendidikan informal dan pendidikan formal. Pemerolehan bahasa
kedua berlangsung setelah seseorang menguasai atau mempelajari bahasa
pertamanya. Dalam bukunya, Penulis menyebut bahwa pendidikan informal dianggap
sebagai pengajaran bahasa secara alamiah dan dalam pendidikan formal sebagai
pengajaran bahasa secara ilmiah. para pakar dalam pendapatnya menganggap bahwa
pengajaran bahasa baik alamiah maupun ilmiah itu sama, pengajaran bahasa secara
alamiah disebut pemerolehan bahasa dan pengajaran bahasa secara ilmiah disebut
pemelajaran.
Disamping
itu ada juga yang beranggapan bahwa antara pemerolehan bahasa (pengajaran
bahasa secara informal) dengan pemelajaran bahasa (pengajaran bahasa secara
formal) itu berbeda. Pengajaran secara informal proses belajaranya tidak
direncanakan, kebetulan, tidak sengaja, sedangkan dalam pengajaran formal
berdasarkan perencanaan yang matang, disengaja, dan disadari. dari beberapa
pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pemerolehan bahasa kedua
adalah proses yang disadari atau yang tidak disadari dalam mempelajari bahasa
kedua setelah seseorang menguasai bahasa ibunya, baik secara alamiah maupun
ilmiah. jadi antara pemerolehan bahasa pertama dan kedua mempunyai tahap
pengajaran bahasa yang sama.
Dwibahasawan
masih ada kaitannya dengan pemerolehan bahasa. Yang dimaksud dwibahasawan
adalah penguasaan dua bahasa atau lebih. kedwibahasawan atau keanekabahasaan
adalah suatu keterampilan khusus, yang relatif karena tipe dan jenjang
penguasaan bahasa seseorang berbeda. Menurut E. Haugen (Tarigan, 1988: 9)
mengemukakan “apabila seseorang sudah dapat mengucapkan ujaran yang bermakna
dalam bahasa lain selain dari B1 maka orang yang bersangkutan sudah dapat
dikategorikan sebagai dwibahasawan. Baginya, kedwibahasaan adalah kemampuan
menghasilkan ujaran yang bermakna di dalam bahasa kedua. faktor-faktor penyebab
munculnya dan berkembangnya pendidikan dwibahasaan itu antara lain dominasi
politik, budaya, administrasi ekonomi, militer, sejarah, agama, demografi dan
ideologi.
Persoalan
interferensi juga dibahas pada bab satu dalam bukunya Henry Guntur Tarigan.
Weinreich dalam (Tarigan, 1988: 15) mendefisikan interferensi sebagai
“penyimpangan norma bahasa yang terjadi di dalam ujaran dwibahasawan karena
keakrabannya terhadap lebih dari satu bahasa yang menyebabkan terjadinya kontak
bahasa”. Bahkan Haugen dalam (Tarigan, 1988: 15) menegaskan bahwa difusi
linguistik atau peminjaman adalah usaha sang pembicara menggunakan pola bahasa
yang telah dipelajarinya dalam menggunakan bahasa lainnya. Bahasa sang
pembicaralah yang dipengaruhi, bukan bahasa yang dipelajarinya. Dapat disimpulkan
bahwa interferensi sebagai penggunaan sistem B1 dalam menggunakan B2, sedangkan
sistem tersebut tidak sama denga B2. Penggunaan sistem bahasa tertentu pada
bahasa lainnya disebut transfer. Bila sistem yang digunakan itu bersamaan maka
transfer itu disebut transfer positif. Sebaliknya, bila sistem yang digunakan
itu berlainan atau bertentangan disebut transfer negatif. Transfer negatif
menyebabkan timbulnya kesulitan dalam pengajaran B2 dan sekaligus merupakan
salah satu sumber kesalahan berbahasa. Transfer negatif tersebut dikenal dengan
istilah interferensi.
Dalam
buku Mansoer Pateda (1989) tidak ada pembahasan mengenai interferensi, hanya
saja masih saling berkaitan satu sama lain. Karena interferensi objek
analisisnya juga bahasa. linguistik sebagai
ilmu pengetahuan yang perkembang terus-menurus. Pengembangan linguistik
ditandai dengan banyaknya subdisiplin ilmu linguistik. Studi linguistik sebagai
studi bahasa ilmiah yang dapat dipelajari dari berbagai segi, yakni berdasarkan
pembidangannya, sifat telaahnya, pendekatan objeknya, alat analisisnya,
hubungannya dengan ilmu lain, penerapannya dan teori atau aliran yang
mendasarinya. Salah satu subdisiplin linguistik yang dilihat dari segi
pembidangnya, adalah linguistik terapan.
Di dalam subdisiplin linguistik terapan itu sendiri banyak aspek yang
menarik untuk dikaji. Linguistik terapan adalah subdisiplin linguistik yang
menerapkan teori-teori linguistik dalam kegiatan praktis, dalam penerapannya
diarahkan pada pengajaran bahasa. Salah satu aspek yang menarik untuk
dipelajari dalam linguistik terapan ini
ialah analisis kesalahan ‘error analysis’.
Ketika
seorang guru bahasa melaksanakan proses belajar-mengajar di kelas, pasti ia
akan melaksanakan berbagai kegiatan, diantaranya; mengoreksi pekerjaan si terdidik,
atau memperbaiki kesalahan berbahasa si terdidik. Dalam kaitannya diperlukan
suatu keterampilan yakni keterampilan menganalisis kesalahan berbahasa si
terdidik. Kesalahan dikumpulkan secara sistematis, kemudian dianalisis dan
dikategorikan. Kegiatan seperti ini disebut analisis kesalahan ‘error analysis’
atau ‘error linguitics’. Kegiatan menganalisis kesalahan termasuk lingkupan
linguistik terapan.
Kesalahan
yang dibuat si terdidik ketika ia menggunakan atau mempelajari bahasa yang
bukan bahasa ibunya telah menarik perhatian para ahli, khususnya ahli yang
bergerak dalam bidang pengajaran. Terdapat pendekatan baru dalam mempelajari
linguistik terapan terutama dalam bidang pengajaran bahasa, yakni analisis
kontrastif dan analisis kesalahan. Indonesia dikenal memiliki lebih dari satu
bahasa atau dwibahasa yakni bahasa pertama (bahasa ibu) yakni bahasa daerah dan
bahasa keduanya bahasa Indonesia. Bahasa pertama diperoleh tanpa adanya
pengajaran dari seorang guru sedangkan bahasa kedua diperoleh dari pengajaran
disekolah, dimulai dari tingkat taman kanak-kanak atau sekolah dasar.
Persoalan
kebahasaan yang dihadapi dalam pengajaran bahasa Indonesia ialah adanya
pengaruh bahasa daerah (bahasa ibu) ke dalam bahasa Indonesia (bahasa yang
sedang dipelajari), pengaruh tersebut ada yang berhubungan dengan fonogi,
morfologi, dan ada pula yang berhubungan dengan sintaksis. Untuk mengatasi
kesulitan yang dihadapi guru ketika mengajarkan bahasa kedua dapat menggunakan
pendekatan analisis kontranstif. Analisis kontranstif ini senagaja dipopulerkan
guna membantu guru bahasa memperbaiki kesalahan berbahasa si terdidik sekaligus
menolong si terdidik agar segera menguasai bahasa dipelajarinya dalam waktu
tidak lama. Analisis kontranstif sebagai suatu pendekatan pengajaran bahasa
yang mengasumsikan bahwa bahasa ibu mempengaruhi si terdidik ketika mempelajari
mempelajari bahasa kedua. Dalam analisis kontranstif ini terdapat metode yang
digunakan dalam menganalisis kesalahan dalam berbahasa, yakni metode
perbandingan seperti yang dikatakan Buren dalam (Allen dan Corder, Ed. 1974:
280).
Dari
uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahawa analisis kontrastif adalah
pendekatan dalam pengajaran bahasa yang menggunakan teknik perbandingan antara
bahasa ibu dengan bahasa kedua atau bahasa yang sedang dipelajari sehingga guru
dapat meramalkan kesalahan si terdidik dan si terdidik segera menguasai bahasa
yang bukan bahasa ibunya yang sedang dipelajari. Analisis kontrastif muncul
karena adanya kenyataan yang dialami si terdidik ketika mempelajari bahasa yang
bukan bahasa ibunya. Dengankata lain analisis kontrastif ingin menolong guru
bahasa dan sekaligus menolong si terdidik yang sedang mempelajari bahasa kedua
atau bahasa yang bukan bahasa ibunya untuk segera menguasai bahasa tersebut dalam
waktu tidak lama. Ruang lingkup analisis kontrastif terletak pada tataran
fonologi, morfologi, dan sintaksis. Tataran fonologi berhubungan dengan fonem
yang ada dan yang tidak ada pelafalannya, tataran morfologi berhubungan dengan
imbuhan, kata dengan segala derivasinya, sedangkan yang berhubungan dengan
sintaksis, misalnya urutan kata, unsur yang perlu diperhatikan di dalam
pembentukan satuan kalimat (kala, aspek, jumlah).
Analisis
kontrastif termasuk dalam lingkupan linguistik terapan, kita tahu bahwa objek
linguistik adalah bahasa, maka analisis kontrastif pun berobjekkan bahasa,
hanya saja analisis kontrastif berfokus pada bahasa dalam pengajaran bahasa.
Analisis kontrastif bertujuan menganalisis perbedaan antara bahasa ibu dengan
bahasa yang sedang dipelajari agar kesalahan berbahasa si terdidik dapat
diramalkan yang pada gilirannya kesalahan yang diakibatkan oleh pengaruh bahasa
ibu itu dapat diperbaiki. Pendekatan analisis kontrastif menghipotesiskan bahwa
kesalahan pemahaman terhadap bahasa yang sedang dipelajari atau bahasa kedua
disebabkan oleh interferensi sistem bahasa pertama.
Pada
bukunya Mansoer Pateda, pembahasan bab satu sudah sampai ke persoalan kesalahan
berbahasa baik analisis kontrastif maupun analisis kesalahan itu sendiri.
Sedangkan pada bukunya Markhamah dkk, pada bab 1 hanya menjelaskan latar
belakang dari permasalahan yang akan dibahas dalam bukunya tersebut. Sebagai
pengantar Markhamah dkk menjelaskan bagaimana seharusnya bahasa digunakan agar
komunikasi yang terjadi akan terjalin secara baik dan bisa dipahami. Lebih
tepatnya dalam berbahasa atau melakukan interaksi dibutuhkan norma-norma atau
etika agar interaksi yang berlangsung tidak menimbulkan permasalahan. Tidak
hanya itu, dalam berbahasa juga terdapat prinsip-prinsip yang harus
diperhatikan, seperti sikap hormat, santun dan kerukunan harus diutamakan,
karena manusia makhluk yang berbudaya oleh karena itu dalam berkomunikasi pun
prinsip kesantunan tersebut harus diutamakan.
Dua
sisi yang harus diperhatikan seseorang dalam berkomunikasi. Pertama bahasanya
sendiri, kedua sikap atau perilaku yang ditimbulkan ketika berkomunikasi. Seorang
Cendikiawan Muslim Nurcholis Madjid berpendapat bahwa orang Indonesia nyaris
hancur karena masyarakatnya tidak terbiasa menerapkan etika dalam tiap sendi
kehidupan. Etika berbahasa tidak menonjol dalam pengajaran bahasa Indonesia.
Yang ramai dipersoalkan adalah tentang penggunaan bahasa Indonesia yang benar,
seperti dalam Bahasa Indonesia yang
Salah dan yang Benar. Bahasa yang santun dan jernih tidak diterapkan dalam
pergaulan. Yang muncul adalah bahasa untuk menyakiti, mengejek, mengancam dll.
Bila demikian, orang Indonesia yang mayoritas beragama islam amat perlu
mendapatkan pola yang bersumberkan Al-Quran dan Hadist agar mampu menciptakan
pergaulan dalam masyarakat yang pluralis. dalam hal ini penulis tertarik untuk
mengkaji kesantunan berbahasa dalam teks terjemahan Al Quran yang mengandung
etika berbahasa. Jika teks tersebut dinyatakan mengenai etika berbahasa, sejauh
manakah kesantunan berbahasa di dalam teks itu sendiri.
Tidak
jauh berbeda dengan yang lain, pembahasan buku miliknya Nanik Setiawati ini
pada bab satu persoalan ragam bahasa juga dibahas diawal-awal. Bahasa Indonesia
memiliki dua kedudukan, yaitu sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Dalam
praktik pemakaiannya pada dasarnya beranekaragam. Keanekaragaman pemakaian
bahasa itulah yang disebut dengan ragam bahasa. ragam bahasa dapat diamati
berdasarkan sarananya, suasananya, norma pemakaiannya, tempat atau daerahnya,
bidang penggunaannya dan lain-lain. Dari segi sarana pemakaiannya, ragam bahasa
dapat dibedakan atas ragam lisan dan tulis; jika dilihat dari segi suasananya,
ragam bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi ragam resmi atau ragam formal
dan ragam tidak resmi atau ragam tidak formal; ragam bahasa ditinjau dari segi
sarananya dan suasananya dipadukan, maka akan kita dapati ragam lisan yang
resmi dan ragam lisan yang tidak resmi, selain itu ada ragam tulis resmi dan
ragam tulis tidak resmi; ragam bahasa ditinjau dari norma pemakaiannya
dibedakan atas ragam baku dan ragam tidak baku. Lebih lanjut, ragam bahasa
dapat pula dibedakan berdasarkan bidang penggunaannya, yakni ragam bahasa ilmu
sastra, hukum, jurnalistik dan sebagainya.
Lahirnya
konsep “Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar” pada dasarnya tidak terlepas dari
konteks pemakaian bahasa yang beragam-ragam. Kita sering mendengar atau membaca
imbauan itu tersirat makna bahwa pemakaian bahasa Indonesia ada “bahasa
Indonesia yang baik dan benar” dan ada “bahasa Indonesia yang tidak baik dan
tidak benar”. Jika kita berpegang pada asas bahwa pada hakikatnya tidak ada
suatu bahasa yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada bahasa lain, kalimat
atau imbauan tersebut bukan kalimat yang benar atau kurang tepat. Yang berperan
dalam kegiatan berbahasa adalah orang yang menggunakan bahasa tersebut. Jadi
benar tidaknya bahasa yang digunakan seseorang bergantung pada orang yang
berbahasa itu, bukan oleh bahasanya. Berdasarkan asas tersebut, imbauan akan
lebih tepat jikan diubah menjadi “Pakailah Bahasa Indonesia dengan Baik dan
Benar”. Berbahasa Indonesia dengan baik dan benar adalah berbahasa Indonesia
yang sesuai dengan faktor-faktor penentu berkomunikasi dan benar dalam
penerapan aturan kebahasaannya. Yang dimaksud berbahasa Indonesia dengan baik
belum tentu bena, sebaliknya berbahasa Indonesia dengan benar juga belum
merupakan berbahasa Indonesia dengan baik.
BAB
II
Berbicara
mengenai kalimat efektif, artinya apa yang akan kita bicarakan tidak akan jauh
dari yang namanya bahasa. Bahasa dipergunakan oleh manusia sebagai sarana
komunikasi untuk menyampaikan sebuah pesan, informasi, secara verbal maupun
nonverbal. Di dalam bukunya (Markhamah dkk, 2009: 7), mengatakan bahwa di dalam
berkomunikasi secara lisan seseorang harus memperhatikan kalimat yang
diucapakannya, artinya penutur harus memperhatikan apakah kalimat yang
diucapkan bisa dipahami oleh orang lain dan apakah kalimat yang diucapkan tidak
menimbulkan salah tafsir. Ketika kita berkomunikasi dengan menggunakan bahasa
lisan, kita juga perlu memperhatikan ketepatan, kelaziman, dan kebakuan kata
yang diucapkan. Demikian halnya dalam berkomunikasi secara tertulis artinya,
dalam menulis seorang penulis harus memperhatikan kalimat tang ditulisnya
sehingga orang yang membaca tulisan kita bisa memahami maksud yang akan kita
sampaikan.
Dengan
kata lain kalimat yang kita tulis atau kita ucapkan hendaknya merupakan kalimat
efektif. Dalam pemakaiannya, kalimat efektif ini dituntut untuk digunakan dalam
pemakaian bahasa resmi, pemakaian bahasa yang efektif terlihat dari
kalimat-kalimat efektif yang memiliki ciri-ciri berupa ciri gramatikal dan ciri
diktis. Ciri gramatikal menurut (Markhamah dkk, 2009: 7) adalah ciri yang harus
dipenuhi oleh pemakai bahasa dalam kaitannya dengan ketatabahasaan. Ciri ini
dapat dilihat dari bidang morfologi (ciri morfologis) dan bidang sintaksis
(ciri sintaksis). Ciri gramatikal
morfologis ini diterapkan sesuai dengan kaidah morfologis yang berkaitan dengan
bentuk kata. Misalnya pada kalimat 1a dan 1b berikut;
(1a) Serena
adalah orang asing yang pandai bicara bahasa
Indonesia
(1b) Serena
adalah orang asing yang pandai berbicara
bahasa Indonesia
Kalimat (1a) tidak efektif karena tidak gramatikal secara
morfologis. Kata bicara termasuk kata
tidak baku. Kata bakunya dalah berbicara.
Hilangnya afiks ber- menyebabkan
kata tersebut kurang gramatikal.
Sedangkan ciri gramatikal sintaksis menurut bukunya
(Markhamah dkk, 2009: 7) adalah ciri gramatikal yang berkenaan dengan kaidah
sintaksis. Secara sintaksis penulis atau penutur harus memperhatikan kaidah
sintaksis dalam bahasa Indonesia. Kaidah sintaksis bertalian dengan struktur
kata dalam kalimat, tanda baca, dan ejaan yang tepat. Misalnya pada kalimat 2a
dan 2b berikut;
(2a) Dia pergi Jakarta kemarin.
(2b) Dia pergi ke Jakarta kemarin.
Kalimat 2a dan 2b di atas tidak gramatikal secara
sintaksis karena tidak adanya kata depan ke. Ketidakhadiran pfreposisi atau
kata depan itu menjadikan kalimat tidak gramatikal secara sintaktis. Dengan
demikian preposisi ke- wajib hadir di
belakang verba yang diikuti dengan keterangan tempat. Ciri lain pada kalimat
efektif adalah ciri diktis, yang berkaitan dengan dengan pemilihan kata, kata
yang dirangkai menjadi suatu kalimat merupakan kata-kata yang tepat bentuknya,
sesuai dan lazim. Menurut Soedjito dalam (Markhamah dkk, 2009: 7) menyatakan
bahwa untuk menyusun kalimat efektif kata-kata yang dipilih hendaknya tepat,
seksama, dan lazim. Pemilihan kata pada kalimat efektif memiliki pedoman yang
harus dipenuhi, yakni; pemakaian kata tutur, pemakaian kata-kata bersinonim,
pemakaian kata yang bernilai rasa, pemakaian kata-kata/istilah asing, pemakaian
kata-kata konkret dan abstrak, pamakaian kata umum dan khusus, pemakaian kata
ideomatik, dan pemakaian kata-kata yang lugas.
Pada kalimat efektif dalam bukunya (Markhamah dkk, 2009:
7) adalah kalimat yang harus mengandung penalaran. Artinya kalimat yang secara
nalar dapat diterima atau kalimat yang diterima oleh akal sehat. Kalimat
tersebut kalimat yang dapat dipahami dengan mudah, cepat, tepat dan tidak
menimbulkan salah pengertian, tidak menimbulkan keraguan ataupun salah
pengertian bagi pembaca atau pendengarnya. Selain itu kalimat efektif juga
harus memenuhi keserasian. Serasi artinya selaras, sesuai, dan cocok.
Keserasian yang dimaksud di sini adalah keselarasan atau keserasian in bisa
mengacu kepada bahasa yang baik. bahasa yang baik adalah bahasa yang sesuai
dengan situasi. Jika seseorang berbicara dalam situasi resmi, ragam bahasa yang
digunakan adalah bahasa ragam bahasa resmi. Sebaliknya, jika dia berbicara
dalam situasi yang tidak resmi maka ragam bahasa yang digunakan sebaiknya ragam
bahasa tidak resmi. Kriteria pemakaian bahasa yang baik adalah ketepatan
pemilihan ragam bahasa yang sesuai dengan kebutuhan komunikasi.
Jika pada bukunya Markhamah dibagian dua membahas
mengenai kalimat efektif, lain halnya dengan Nanik Setyawati, dalam bukunya ia
membahas mengenai latar belakang mengapa analisis kesalahan berbahasa itu
dilakukan. Mulai dari pengertian kesalahan berbahasa, penyebab kesalahan
berbahasa, pengertian analisis kesalahan berbahasa, mengapa analisis kesalahan
berbahasa itu dilakukan, klasifikasi kesalahan berbahasa, bagaimana kaitannya
mata kuliah analisis kesalahan berbahasa dengan mata kuliah lain, dan sikap
positif terhadap bahasa Indonesia.
Menurut Setyawati (2010) mengatakan bahwa kesalahan
berbahasa adalah penggunaan bahasa baik secara lisan maupun tertulis yang
menyimbang dari faktor-faktor penentu berkomunikasi atau menyimpang dari kaidah
tata bahasa Indonesia. Kata ‘kesalahan’ dapat berarti penyimpangan,
pelanggaran, atau kekhilafan dalam berbahasa. Sebenarnya penyebab utama dalam
kesalahan berbahasa itu adalah pengguna bahasa itu sendiri, bukan bahasa yang
digunakannya. Tiga kemungkinan penyebab seseorang dapat melakukan kesalahan
berbahasa, diantaranya pengaruh bahasa pertama (B1) yang biasa disebut juga
bahasa ibu. Istilah lainnya adalah interferensi. Kurang pahamnya pemakai bahasa
terhadap bahasa yang dipakainya menjadi faktor penyebab kedua dalam kesalahan berbahasa.
Ketiga, pengajaran bahasa yang kurang tepat atau kurang sempurna, faktor ini
berkaitan dengan kurangnya sumber atau bahan yang diajarkan dan cara
pelaksanaannya.
Kesalahan berbahasa dianggap sebagai bagian dari proses
belajar-mengajar, baik belajar formal maupun nonformal. Ellis (Setyawati, 2010:
17) menyatakan bahwa terdapat lima langkah kerja analisis bahasa, yaitu:
1.
Mengumpulkan sampel kesalahan,
2.
Mengidentifikasi kesalahan,
3.
Menjelaskan kesalahan,
4.
Mengklasifikasi kesalahan, dan
5.
Mengevaluasi kesalahan.
Mengapa
analisis kesalahan berbahasa dilakukan? Karena analisis kesalahan berbahasa
merupakan sebuah proses yang didasarkan pada analisis kesalahan orang yang
sedang belajar dengan objeknya yakni bahasa yang sudah ditargetkan. Analisis
kesalahan juga dapat sangat berguna sebagai alat selama tingkat-tingkat variasi
program pengajaran target dilaksanakan. Tindakan pada permulaan dapat membuka
pikiran guru, perancang kursus bahasa, penulis buku pelajaran atau pemerhati
bahasa untuk mengatasi keruwetan bidang bahasa yang dihadapkan pada siswa.
Menurut
Tarigan (Setyawati, 2010: 17) kesalahan berbahasa Indonesia dapat
diklasifikasikan berdasarkan tataran linguistik seperti: bidang fonologi,
morfologi, sintaksis, semantik dan wacana. Berdasarkan kegiatan berbahasa atau
keterampilan berbahasanya seperti: keterampilan menyimak, berbicara, membaca
dan menulis. Berdasarkan sarana atau jenis bahasa, seperti: bahasa lisan dan
bahasa tulisan. Berdasarkan penyebab kesalahan, seperti: kesalahan berbahasa
karena pengajaran dan kesalahan berbahasa karena interferensi. Terakhir
berdasarkan frekuensi terjadinya, seperti: kesalahan berbahasa yang paling
sering, sering, sedang, kurang dan jarang terjadi.
Analisis
kesalahan terhadap belajar bahasa mempunyai dampak positif. Bahasa sebagai
perangkat kebiasaan dimiliki setiap orang sebagai media komunikasi. Ada
kecenderungan setiap pemakai bahasa lebih sering mengikuti jalan pikirannya
tanpa mempertimbangkan kaidah-kaidah yang ada dalam tata bahasa. sebaliknya,
pemakai bahasa yang selalu mempertimbangkan kaidah-kaidah tata bahasa berupaya
menghasilkan konsep sesuai dengan struktur yang dia pelajari.
Seperti yang sudah dijelaskan di dalam bukunya Nanik
Setyawati di atas, Mansoer Pateda juga menjelaskan di bagian dua dalam bukunya
bahwa kesalahan adalah penyimpangan-penyimpangan yang bersifat sistematis yang
dilakukan si terdidik ketika menggunakan bahasa. pada bagian ini Pateda akan
lebih menjelaskan mengenai jenis kesalahan berbahasanya. jenis kesalahan yang
dijelaskan di dalam bukunya yakni: kesalahan acuan, kesalahan register,
kesalahan sosial, kesalahan tekstual, kesalahan penerimaan, kesalahan
pengungkapan, kesalahan perorangan, kesalahan kelompok, kesalahan menganalogi,
kesalahan transfer, kesalahan guru, kesalahan lokal, dan kesalahan global.
Dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi apa yang
diambil, diabawa, ditunjuk, dibayangkan, tidak sesuai dengan acuan yang
dimaksud oleh pembicara, kesalahan acuan berkaitan dengan realisasi benda,
proses, atau peristiwa yang tidak sesuai dengan acuan yang dikehendaki
pembicara atau penulis. Untuk menghindari kesalahan tersebut, sebaiknya pesan
yang disampaikan harus jelas dan tidak menimbulkan banyak tafsir atau
multitafsir. Selanjutnya kesalahan pada register. Register dapat kita temui
dalam bidang sosiolinguistik. Register berhubungan dengan variasi bahasa yang
berkaitan dengan pekerjaan seseorang. Selanjutnya ada kesalahan sosial, manusia
sebagai makhluk sosial artinya manusia tidak mungkin hidup sendiri tanpa adanya
orang lain, dibutuhkan saling komunikasi dengan sesamanya. Dalam
sosiolinguistik dikenal adanya variasi bahasa yang dikaitkan dengan latar
belakang sosialnya pembicara dan pendengarnya, misalnya yang berhubungan dengan
jenis kelamin, pendidikan, umur, tempat tinggal, dll. Kesalahan memilih kata
yang dikaitkan dengan status sosial orang yang diajak berbicara menimbulkan
kesalahan yang disebut kesalahan sosial ‘sosial errors’.
Kesalahan tekstual juga muncul sebagai akibat salah
menafsirkan pesan yang tersirat dalam kalimat atau wacana. Sudah jelas bahwa
kesalahan tekstual mengacu pada jenis kesalahan yang disebabkan oleh tafsiran
yang keliru terhadap kalimat atau wacana yang kita dengar atau kita baca. Lain
halnya dengan kesalahan penerimaan, jenis kesalahan ini biasanya berhubungan
dengan keterampilan menyimak atau membaca, bisa jadi salah satu faktornya
terjadi karena baik pendengar atau pun pembaca kurang memperhatikan atau
memahami pesan yang disampaikan oleh pembicara. Kaitannya dengan pembicara,
jenis kesalahan pengungkapan ada kaitannya dengan pembicara, pembicara atau
penulis salah mengungkapkan atau menyampaikan apa yang dipikirkannya, yang
dirasakannya atau yang diinginkannya. Kesalahan perseorangan sudah jelas
kesalahan yang dibuat oleh seseorang diantara kawan-kawannya. Jika konteksnya
di kelas, kita sedang mengajar, pelajaran yang diberikan tentunya ditujukan
untuk sekelompok terdidik yang terdapat di dalam sebuah kelas, namun yang
belajar sesungguhnya individu-individu itu sendiri. Mempelajari kesalahan
kelompok hanya berarti apabila kelompok itu homogen, misalnya menggunakan
bahasa ibu yang sama dan semuanya mempunyai latar belakang yang sama baik
intelektual maupun sosial. Murid yang menggunakan bahasa yang berbeda,
kesalahannya lebih banyak jika dibandingkan dengan murid-murid yang homogen.
Selanjutnya kesalahan menganalogi adalah sejenis
kesalahan pada si terdidik yang menguasai suatu bentuk bahasa yang dipelajari
lalu menerapkannya dalam konteks, padahal bentuk itu tidak dapat diterapkan. Si
terdidik melakukan proses pemukulrataan, tetapi proses pemukulrataan yang
berlebihan. Si terdidik menggunakan kata atau kalimat yang berpola pada kata
atau kalimat yang didengarnya padahal bentuk itu tidak dapat diterapkan.
Berbeda dengan kesalahan tranfer, kesalahan ini terjadi apabila
kebiasaan-kebiasaan pada bahasa pertama diterapkan pada bahasa yang dipelajari.
Kemudian terdapat jenis kesalahan guru, kesalahan ini berhubungan dengan teknik
dan metode pengajaran yang dilakukan guru di dalam kelas. Kesalahan guru adalah
kesalahan yang dibuat si terdidik karena metode dan bahan yang diajarkan salah.
Selanjutnya jenis kesalahan lokal, kesalahan ini tidak menghambat komunikasi
yang pesannya diungkapkan dalam sebuah kalimat. Kesalahan lokal adalah suatu
kesalahan linguistis yang menyebabkan suatu bentuk ‘form’ atau struktur dalam
sebuah kalimat tampak canggung, tetapi bagi seorang penutur yang mahir bahasa
asing hampir tidak ada kesulitan untuk mengerti apa yang dimaksud dengan
kalimat itu. Kesalahan lokal dapat juga kita katakan kesalahan yang disebabkan
oleh penggunaan bahasa yang biasanya di daerah tertentu kemudian digunakan
untuk berkomunikasi dengan orang dari daerah lain. Dan terakhir ada jenis
kesalahan global, kesalahan global adalah kesalahan karena makna seluruh kalimat.
Kesalahan jenis ini menyebabkan pendengar atau pembaca salah mengerti suatu
pesan atau menganggap bahwa suatu kalimat tidak dapat dimengerti. Valdman
(1989) mendefinisikan kesalahan global sebagai kesalahan komunikatif yang
menyebabkan seorang penutur yang mahir dalam bahasa asing, salah tafsir
terhadap pesan lisan atau yang tertulis.
Terakhir pembahasan yang disajikan Henry Guntur Tarigan
pada bagian dua mengenai analisis kesalahan kontrastif. Mengenai analisis
kontrastif ini juga sudah dijelaskan pada bagian satu dalam bukunya Pateda.
Dalam Tarigan akan dijelaskan lebih mendalam mengenai analisis kontrastif.
Analisis kontrastif atau anakon adalah kegiatan memperbandingkan struktur B1
dan B2 untuk mengidentifikasi perbedaan kedua bahasa itu. Sebagai prosedur
kerja, anakon mempunyai langkah-langkah yang harus dituruti seperti
membandingkan struktur B1 dan B2, memprediksi kesulitan belajar dan kesalahan
belajar, menyusun bahan pengajaran,. Dan mempersiapkan cara-cara menyampaikan
bahan pengajaran.
Anakon
memiliki dua hipotesis. Hipotesis pertama disebut hipotesis bentuk kuat dan
hipotesis kedua ada hipotesis bentuk lemah. Hipotesis bentuk kuat menyatakan
bahwa kesalahan dalam B2 dapat diperkirakan dari hasil identifikasi perbedaan
B1 dan B2 yang dipelajari oleh siswa. Hipotesis bentuk lemah menyatakan bahwa
anakon hanyalah bersifat bersifat diagnostik belaka, karena itu anakon dan
anakes harus saling melengkapi. Anakon muncul sebagai suatu suara untuk
menanggulangi permasalahan yang ada dalam pengajaran B2. Anakon memberikan
jawaban bagaimana cara mengajarkan B2
yang paling efesien dan efektif. Pertama; membandingkan B1 siswa dengan B2 yang
akan dipelajarinya. Perbandingan ini dapat melakukan perbedaan B1 dan B2. Berdasarkan
perbedaan kedua bahasa tersebut maka diperkirakanlah kesulitan belajar dan
kesalahan berbahasa yang akan dihadapi dan diperbuat oleh para siswa. Kemudian
disusunlah bahan pengajaran dan tata bahasa pedagogis yang relevan dengan
perkiraan yang sesuai dan sejalan dengan langkah pertama dan kedua. langkah
berikutnya adalah mencari cara penyampaian materi pelajaran yang sesuai dengan
bahan-bahan pengajaran yang telah disusun.
LAPORAN BAB III:
ANALISIS KESALAHAN DALAM PENGAJARAN BAHASA
3.1 Kesalahan
Berbahasa Pada Tataran Fonologi
Bab III pada bukunya Nanik Setyawati
membahas mengenai kesalahan berbahasa pada tataran fonologi. Kesalahan
berbahasa Indonesia dalam tataran fonologi dapat terjadi baik penggunaan bahasa
secara lisan maupun secara tertulis. Sebagaian besar kesalahan berbahasa
Indonesia dalam tataran fonologi berkaitan dengan pelafalan. Berikut akan
disampaikan beberapa kesalahan pelafalan yang meliputi: (a) perubahan fonem,
(b) penghilangan fonem, dan (c) penambahan fonem.
Terdapat banyak contoh kesalahan
pelafalan karena pelafalan fonem-fonem tertentu berubah atau tidak diucapkan
sesuai kaidah. Salah satu diantaranya adalah;
1. Perubahan Fonem Vokal (Fonem /a/ dilafalkan
menjadi /ȇ/
Misal:
Lafal Baku Lafal Tidak Baku
Akta Akt ȇ
Dapat Dap ȇt
Kamis K ȇmis
Masjid M ȇsjid
Pedas P ȇd ȇs
2. Perubahan Fonem Konsonan (Fonen /b/
dilafalkan menjadi /p/
Misal:
Lafal Baku Lafal Tidak Baku
Mujarab Mujarap
Nasib Nasip
Rajab Rajap
Sabtu Saptu
Wajib Wajip
A. Perubahan Pelafalan Kata atau Singkatan
Kadang-kadang kita merasa ragu-ragu
melafalkan kata atau singkatan dalam bahasa Indonesia. Keraguan itu mungkin
disebabkan oleh pengaruh lafal bahasa daerah atau lafal bahasa asing. Padahal,
semua kata atau singkatan yang terdapat dalam bahasa Indonesia (termasuk
singkatan yang berasal dari bahasa asing) harus dilafalkan secara lafal
Indonesia.
Contoh:
Singkatan Lafal Baku Lafal
Tidak Baku
a.n Atas nama a en
Bpk Bapak be pe ka
Dst.
Dan
seterusnya de es te
Sdr. Saudara es de er
Ada ketentuan khusus, bahwa
singkatan bahasa asing yang berbentuk akronim (singkatan yang dieja seperti
kata) dan bersifat internasional tidak dilafalkan seperti lafal Indonesia,
tetapi singkatan itu tetap dilafalkan seperti lafal aslinya. Misal:
Kata Lafal Baku Lafal Tidak Baku
UNESCO yu nes ko u nes tjo
UNICEF yu ni syef u ni tjef
SEA
GAMES si ge yms se
a ga mes
B. Kesalahan Pelafalan
karena Penghilangan Fonem
Pemakai bahasa sering menghilangkan
bunyi tertentu pada sebuah kata, yang mengakibatkan justru pelafalan tersebut
menjadi salah atau tidak benar. Perhatikan beberapa contoh berikut ini.
a.
Penghilangan
Fonem Vokal (penghilangan fonem /e/
Misal:
Lafal
Baku Lafal Tidak Baku
Jenderal Jendral
Majelis Majlis
Marsekal Marskal
Sutera Sutra
Terampil trampil
b. Penghilangan
Fonem Konsonan (Penghilangan fonem /k/)
Misal:
Lafal
Baku Lafal Tidak Baku
Takbir tabir
Teknisi tenisi
C. Kesalahan Pelafalan karena
Penambahan Fonem
Terdapat pula kesalahan pelafalan
dikarenakan pemakai bahasa tersebut menambahkan fonem tertentu pada kata-kata
yang diucapkan. Contoh kesalahan pada bagian ini antara lain.
a)
Penambahan
Fonem Vokal (Penambahan fonem /a/)
Misal:
Lafal
Baku Lafal Tidak Baku
Narkotik Narkotika
Narwastu Narawastu
Rohaniwan Rohaniawan
b)
Penambahan
Fonem konsonan (Penambahan fonem /d/)
Misal:
Lafal
Baku Lafal Tidak Baku
Stan stand
Standar standard
3.2 Kepaduan dan Ketepatan Makna
kepaduan
artinya keadaan padu, kesatuan pikiran, kebulatan. Menurut KBBI (2007) yang
dimaksud kepadua adalah adanya hubungan makna antara satu unsur kalimat dengan
unsur kalimat lain. Kepaduan ini dapat disejajarkan dengan koherensi dalam
paragraf. Sementara itu yang dimakud kepaduan antara kalimat adalah kesatuan
anatar kalimat yang satu dengan unsur kalimat yang lain. Unsur-unsur yang
dimaksud adalah subjek, predikat, objek, atau pelengkap dan unsur keterangan.
Ada beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan supaya pemakai bahasa dapat
menyusun kalimat yang padu. Antara lain:
a.
Tidak
meletakkan keterangan yang berupa klausa diantara S (subjek) dan P (predikat)
b.
Tidak
meletakkan keterangan aspek di depan S
c.
Tidak
menerapkan/menempatkan keterangan aspek di anatara pelaku dan pokok kata kerja
yang merupakan kata kerja pasif bentuk diri
d.
Tidak
menyisipkan kata depan diantara P dan O
Kalimat
efektif adalah kalimat yang maknanya. Ketepatan makna, disamping ditentukan
oleh ketepatan letak unsur-unsur kalimat yang akan memantapkan makna , bisa
juga ditentukan oleh ketiadaan kata yang mubazir (kalimat hemat). Kalimat hemat
merupakan kalimat yang tidak menggunakan kata-kata yang mubazir atau kalimat
tidak mengandung unsur-unsur yang telah diperlukan. Untuk menyusun kalimat
hemat ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain: Menghindari
penggunaan kata depan yang tidak perlu dan menghindari penggunaan kata yang
jamak jika sudah ada redupulikasi yang bermakna jamak atau ada kata lain yang
bermakna jamak.
3.3 Daerah dan
Sifat Kesalahan
Kesalahan fonologi berhubungan
dengan pelafalan dan penulisan bunyi bahasa. dahulu dalam bahasa Indonesia
dikenal fonem (V), sehingga kata Vak dilafalkan
Pak . padahal makna kata Vak berbeda dengan makna kata Pak. Selanjutnya kesalahan pada bidang
morfologi berhubungan dengan tata bentuk. Dalam bahasa indonesia kesalahan pada
bidang morfologi akan menyangkut derivasi, diksi, kontaminasi, dan pleonasme,
ini semua berhubungan pula dengan suku kata. Selanjutnya kesalahan pada daerah
sintaksis berhubungan erat dengan kesalahan pada daerah morfologis, karena
kalimat berunsurkan kata-kata, itu sebabnya daerah kesalahan sintaksis
berhubungan, misalnya kalimat yang tidak jelas, diksi yang tidak tepat, kalimat
yang ambigu, kalimat yang tidak jelas, koherensi, kalimat mubazir dan kata
serapan yang digunakan di dalam kalimat dan logika kalimat. Lyons dalam bukunya
Pateda mengatakan bahwa semantik adalah studi tentang makna. Berbicara tentang
makna, kita berhadapan dengan bidang yang membingungkan. Misalnya kalimat
“pemuda merampok di rumah dokter” sepintas lalu kita mengerti urutan yang
membentuk kalimat itu, tetapi kemudian timbul pertanyaan: siapakah pemuda itu?,
kapan ia merampok? Dan bagaimana caranya merampok? Dan sebagainya. Untuk mengukur
apakah seaseorang memahami makna suiatu kata diperlukan penanda indikator.
Patede mengemukakan indikator yang dapat digunakan, yakni:
1.
Dapat
menjelaskan makna yang dimaksud pembicara atau penulis.
2.
Dapat
berbuat atau tidak berbuat apa yang dikatakan oleh pembicara atau penulis
3.
Dapat
menggunakan kata-kata dalam kalimat sesuai dengan makna dan fungsinya.
4.
Dapat
menyebutkan sinonim dan antonim jika memiliki keduanya.
5.
Dapat
mereaksi dalam wujud gerakan motoris dan afektif apabila mendengarkan kata yang
menjengkelkan atau mengharukan.
4.4 Teori Analisis Kesalahan
Kesalahan yang sering dibuat oleh
siswa harus dikurangi bdan kalu dapat dihapuskan sama sekali. Hal ini baru
dapat tercapai kalau seluk-beluk kesalahan itu dikaji secara mendalam.
Pengkajian segala aspek kesalahan itu disebut analisis kesalahan. Tujuan
analisis kesalahan adalah untuk:
a. Menentukan jenjang bahan ajaran
b. Menentukan urutan jenjang
penekanan bahan ajaran’
c. Merencanakan latihan dan
pengajaran remedial
d. Memilih butir pengujian kemahiran
siswa.
LAPORAN
BAB IV: ANALISIS KESALAHAN DALAM PENGAJARAN BAHASA
4.1
Kesalahan Berbahasa Tataran Morfologi
Bab IV dalam
bukunya Nanik Setyawati membahasa mengenai kesalahan berbahasa pada tataran
morfologi. Baik ragam tulis maupun ragam
lisan dapat terjadi kesalahan berbahasa dalam pembentukan kata atau tataran
morfologi. Kesalahan berbahasa pada tataran morfologi ini disebabkan oleh
berbagai hal. Klasifikasi kesalahan berbahasa dalam tataran morfologi antara
lain: a) penghilangan afiks, b) bunyi yang seharusnya luluh tetapi tidak
diluluhkan, c) peluluhan bunyi yang seharusnya tidak luluh, d) penggantian
morf, e) penyingkatan morf, mem-, men-,
meng-, meny-, dan menge-, f) pemakaian afiks yang tidak tepat, h)
penempatan afiks yang tidak tepat pada gabungan kata, dan i) pengulangan kata
majemuk tidak tepat. Berikut ini akan dipaparkan wujud kesalahan tersebut;
A. Penghilangan Afiks
· Penghilangan Prefiks meng-
Bentuk
Tidak Baku
1) Bunga
mawar dan bunga matahari pamerkan keelokan
mahkota mereka
2) Kau
katakan juga hal ini kepada Tuan
Bahtiar?
Kalimat di atas
termasuk kalimat aktif transitif. Sesuai dengan kaidah, dalam kalimat aktif
transitif predikat kalimat harus berprefiks meng-
atau dengan kata lain mengeksplisitkan prefiks meng-. Dengan demikian perbaikan kalimat di atas sebagai berikut:
Bentuk
Baku
1a) Bunga mawar dan
bunga matahari memamerkan keelokan
mahkota mereka
2a) Kau mengatakan juga hal ini kepada Tuan
Bahtiar?
B. Bunyi yang Seharusnya Luluh Tidak
Diluluhkan
Sering kita jumpai kata
dasar yang berfonem awal /k/, /p/, /s/,
atau /t/ tidak luluh jika mendapat prefiks meng- atau peng-.
Pemakaian yang seperti itu dapat kita perhatikan pada contoh berikut.
Bentuk
Tidak Baku
1)
Kita harus ikut serta mensukseskan Pilkada bulan April 2010
2)
Beberapa mahasiswa diberi sanksi karena
tidak mentaati peraturan kampus
Sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, kata yang
bercetak miring pada keempat kalimat di atas, seharusnya fonem awalnya luluh
menjadi bunyi nasal atau bunyi sengau. Yaitu /s/ menjadi /ny/, /t/ menjadi /n/,
/k/ menjadi /ng/, dan /p/ menjadi /m/. Kita lihat perbaikannya berikut ini:
Bentuk
Baku
1b) Kita harus ikut serta menyukseskan Pilkada bulan April 2010
2b) beberapa mahasiswa diberi sanksi karena tidak menaati peraturan kampus.
C. Peluluhan Bunyi yang Seharusnya
Tidak Luluh
· Peluluhan Bunyi /c/ yang Tidak
Tepat
Kata dasar yang
berfonem awal bunyi /c/ sering kita lihat menjadi luluh jika prefiks meng- . perhatikan kalimat berikut:
Bentuk
Tidak Baku
11). Rama sudah lama menyintai Shinta
Berdasarkan kaidah
pembentukan kata, jika prefiks meng- melekat
pada kata dasar yang berfonem awal /c/, maka alomorf prefiks meng- adalah prefiks men- bukan meny-. Pululuhan bunyi /c/ itu kemungkinan disebabkan adanya
pengaruh dari bahasa daerah. Karena yang benar adalah (11a). Rama sudah lama mencintai Shinta.
Penggantian Morf
·
Morf
menge- Tergantikan Morf Lain
Perhatikan
bentuk-bentuk yang salah sebagai berikut ini.
Bentuk
Tidak Baku
(20) Tukang-tukang itu sudah hampir dua minggu mencat rumahku, tetapi sampai sekarang
belum selesai juga.
Kata
yang bercetak miring pada kalimat di atas berasal dari kata dasar bersuku satu
atau eka suku. Prefiks meng- akan
beralomorf menjadi menge- jika prefiks tersebut melekat pada kata dasar bersuku
satu. Kalimat yang benarnya adalah: (20a) tukang-tukang itu sudah hampir dua
minggu mengecat rumahku, tetapi sampai sekarang belum selesai juga.
·
Morf
be- Tergantikan Morf lain
Kesalahan berbahasa dalam pembentukan
kata dapat kita amati pula pada pemakaian morf be- yang tergantikan morf ber-
berikut ini.
Bentuk
Tidak Baku
(23) Bintang-bintang yang berkelip di langit membuat
malam semakin indah.
Pemakaian kata berkelip pada kalimat (23) di
atas termasuk bentukan yang salah. Berturut-turut proses pembentukan kata-kata
itu adalah ber+ kerlip. Sesuai kaidah
pembentukan kata, prefiks ber- jika
melekat pada kata dasar berfonem awal /r/ dan melekat pada kata dasar yang suku
kata pertamanya berakhir dengan atau mengandung unsur (er) akan beralomorf
menjadi be-. Jadi bentukan yang benar adalah bekerlip.
Penyingkatan
Morf mem-, men-, meng-, meny-, dan menge-
Prefiks
meng- adalah salah satu morfem
terikat pembentuk verba yang produktif dalam bahasa Indonesia. Alomorf prefiks meng- adalah me-, mem-, men-, meng-, meny-, dan menge-. karena pengaruh bahasa daerah, pemakai bahasa sering
menyingkat morf mem-, men-, meng-, meny-,
menjadi m-, n-, ng-, ny-, dan nge-. Penyingkatan tersebut sebenarnya
adalah ragam lisan yang dipakai dalam ragam tulis. Pencampuradukan ragam lisan
dan ragam tulis menghasilkan pemakaian bentuk kata yang salah.
4.2
Sumber dan Penyebab Kesalahan
Sumber
dan penyebab kesalahan banyak, tetapi yang terpenting datangnya dari bahasa
ibu, lingkungan, kebiasaan, interlingual, interferensi. Pendapat populer
menyebutkan kesalahan bersumber pada ketidak hati-hatian si terdidik dan yang
lain karena pengetahuan mereka terhadap bahasa yang dipelajari, dan
interferensi. Norrish (Pateda, 1989:67) berpendapat bahwa kesalahan bersumber
pada:
a.
Pemilihan bahasa
b.
Pengajaran
c.
Contoh bahasa yang digunakan sebagai
bahan
d.
Si terdidik
4.3
Kalimat Variasi
Keefektifan kalimat,
selain dilihat dari segi gramatikal, keselarasan, kepaduan, dan kehematan juga
dilihat dari kevariasiaan. Kevariasian memang tidak langsung berdampak pada
kesalahan, tetapi lebih berdampak pada ketepatan, gaya, atau keindahan.
Soedjito (Markhamah, 2009: 67-68), membedakan variasi berdasarkan urutan dan
jenis kalimat. Yang dimaksud variasi urutan adalah urutan unsur-unsur fungsi
yang berbeda urutan yang dimaksud adalah urutan biasa dan urutan inversi.
Adapun variasi berdasarkan jenis kalimat dibedakan menjadi dua, pertama variasi
antaraktif dan pasif disebut variasi aktif-pasif. Kedua variasi antara kalimat
berita dengan kalimat perintah dan kalimat tanya.
4.4
Antara Bahasa atau Interlanguage
Istilah antarbahasa
bersinonim dengan dialek idiosinkronik dan sistem aproksimatif tetapi
antarbahasa lebih mapam dan lebih luas terpakai karena istilah itu:
a. Lebih
netral
b. Mencakup
status yang tidak menentukan dari sistem sang pembelajar (antara bahasa aslinya
dan bahasa sasaran)
c. Menggambarkan
kecepatan yang tidak normal yang dapat bertindak sebagai sarana pengubah bahasa
pembelajar
d. Secara
eksplisit mengakui dan menghargai hakikat performansi pembelajar yang
sistematis
Istilah antarbahasa mengacu pada kepada:
a)
Seperangkat sistem yang saling berpautan
yang memberi ciri kepada pemerolehan
b)
Sistem yang dapat diawasi/dapat
diobservasi pada perkembangan
c)
Kombinasi bahasa ibu/bahasa sasaran
tertentu.
Telaah antar bahasa bertujuan untuk :
a)
Memberikan informasi perilaku pembelajar
bagi perencanaan strategi pedagogik
b)
Bertindak sebagai prasyarat bagi
validasi tuntutan keras dan tuntutan lemah terhadap pendekatan kontrastif
c)
Mencari hubungan antara pembelajaran
masa kini, dulu dan nanti
d)
Memberi sumbangan bagi teori linguistik
umum.
BAB
V
5.1
Kesalahan Struktur
Pada bagian V dalam bukunya (Markhamah, dkk, 2009) akan
dibahas mengenai kesalahan yang berhubungan dengan ketaksaan yang berhubungan
dengan struktur. Kesalahan struktur tersebut diantaranya dipicu oleh kesalahan
struktur karena kerancuan aktif-pasif, kesalahan struktur karena subjek dan
keterangan, kesalahan struktur karena pengantar kalimat, kesalahan struktur
karena penghubung terbagi yang kurang tepat, dan kesalahan struktur karena
ketiadaan induk kalimat.
a. Kesalahan
Struktur karena Kerancuan Aktif-Pasif
Kalimat aktif adalah
kalimat yang predikatnya verba berimbuhan meN-
dengan segala kombinasinya dan subjek tidak diawali kata depan. Sedangkan
kalimat pasif adalah kalimat yang predikatnya verba berimbuhan di- atau ter- atau verba pasif pelaku orang I/II+pokok kata kerja. Yang
dimaksud kalimat rancu adalah kalimat yang sebagian unsurnya milik kalimat
aktif, sementara unsur lainnya milik kalimat pasif. Kalimat seperti di bawah
ini menimbulkan kataksaan/kemenduaan makna.
(1) Saya
telah informasikan bahwa hari ini kita
akan mengunjungi para korban bencana.
Kalimat (1) strukturnya
rancu yang mengakibatkan maknanya ganda. Makna unsur yang merupakan subjek, bahwa hari ini kita akan mengunjungi para
korban bencana ataukah saya.jika bahwa
hari ini kita akan mengunjungi para korban bencana sebagai pengisi fungsi
S, predikatnya seharusnya verba pasif telah
saya informasikan (perhatikan kalimat (1a). Sebaliknya, jika S-nya saya, predikatnya verba aktif menginformasikan. Dengan begitu, bahwa hari ini kita akan mengunjungi para
korban bencana mengisi fungsi objek (O).
b. Kesalahan
Struktur karena Subjek dan Keterangan
Sering terjadi seorang
pemakai bahasa tidak menyadari bahwa dirinya telah mencampurkan komponen lain
(misalnya keterangan) pada subjek. Misalnya orang yang memulai mengucapkan
kalimat dengan keterangan yang panjang. Tidak disadari oleh penutur/penulis
bahwa komponen yang dianggapnya subjek ternyata merupakan keterangan. Hal
seperti inilah yang terjadi dalam pemakaian bahasa yang kurang cermat.
(11)
Dalam seminar pengajaran bahasa sebulan yang lalu tidak memutuskan tempat
penyelenggaraan seminar pada tahun yang akan datang
Kalimat
(11) termasuk kalimat yang tidak benar karena subjeknya berketerangan. Dimaksud
subjek berketerangan di sini di dalam subjek terdapat komponen keterangan.
Tentu saja komponen keterangan ini mengaburkan subjek. Ada dua cara untuk
memperbaiki kalimat yang demikian. Pertama, komponen keterangan dihilangkan
sehingga muncul subjek. Kedua, komponen keterangan tetap dipertahankan, namun
predikat verba aktif diganti dengan predikat verba pasif. Perhatikan kalimat
(11a) sebagai hasil dari penerapan cara yang pertama. Komponen keterangan,
yakni dalam, dari dan di dilesapkan sehingga subjek tampak
jelas.
(11a)
Seminar pengajaran bahasa sebulan yang
lalu tidak memutuskan tempat penyelenggaraan seminar pada tahun yang akan
datang.
c. Kesalahan
Struktur karena Pengantar Kalimat
Seringkali kita membaca
kalimat yang diawali oleh kata menurut, berdasarkan, sebagaimana, kita ketahui,
seperti disebutkan di muka, seperti telah kami sampaikan sebelumnya, dan
sejenisnya. Jika bagian kalimat itu kemudian diikuti oleh nomina pelaku orang
pertama sering menimbulkan kataksaan antara ungkapan pengantar kalimat dengan
predikat kalimat (Sugono, 2002). Misalnya, menurut
petugas mitigasi bencana menyatakan... Penulis/penutur seringkali lupa
bahwa subjek kalimat itu ada. Adanya kata menurut
mengaburkan subjek.
d. Kesalahan
Struktur karena Penghubung Terbagi yang Kurang Tepat
Dalam kalimat sering
ditemukan kalimat yang menggunakan penghubung yang berupa pasangan atau dua
penghubung. Dua penghubung yang dimaksud, misalnya:
Meskipun...,tetapi...
Walaupun...,namun...
Biarpun...,akan
tetapi...
Betapapun...,tapi...
(30) Meskipun
kalian tidak ada pekerjaan rumah, tetapi
kalian harus tetap belajar.
Dua informasi yang
terdapat pada (30) itu tidak jelas hubungan maknanya. Apakah keduanya merupakan
dua informasi yang setara kedudukannya, ataukah keduanya tidak sederajat. Hal
ini disebabkan oleh hubungan antara dua klausa yang ada pada kalimat itu tidak
jelas. Kalimat majemukkah kalimat (30) itu? Penggunaan penghubung meskipun dan tetapi menyebabkan hubungan antara kedua klausa itu tidak jelas.
Jika hubungan kedua klausa itu setara, kata penghubung yang digunakan mestinya
kata tetapi saja. Sebaliknya, jika
kata penghubung meskipun yang digunakan, berarti hubungan kedua klausa dalam
kalimat itu bertingkat. Jika kalimatnya bertingkat, kata penghubung tetapi
tidak perlu digunakan.
e.
Kesalahan Struktur Karena Ketiadaan
Induk Kalimat
Kalimat yang efektif
(baik dan benar) strukturnya harus tepat. Ketepatan struktur berhubungan dengan
ketepatan letak unsur-unsur kalimat yang berupa S, P, O, (Pel), K dan
kelengkapannya. Dalam pemakaian bahasa sering ditemui kalimat yang panjang, tetapi
unsur-unsurnya tidak lengkap. Misalnya, S kalimat tidak ada, atau P-nya tidak
ada. Hal seperti itu terjadi apabila anak kalimat dan induk kalimat sama-sama
didahului oleh kata penghubung atau konjungsi. Konjungsi yang sering
mengaburkan mana anak kalimat cdan mana induk kalimat adalah konjung yang
berupa pasangan, seperti:
karena
... maka ...
berhubung
..., maka ...
karena
..., sehingga ...
jika...,
maka ...
(34) Karena
nilai yang didapatkan lebih besar daripada yang diharapkan, maka Fitri terkejut.
Kata
karena pada kalimat (34) menyebabkan
klausa pertama merupakan anak kalimat. Demikian juga kata maka. Kata maka pada
klausa kedua pada kalimat (34) menempatkan klausa kedua juga sebagai anak
kalimat. Jika kedua klausanya sebagai anak kalimat, berarti tidak ada induk
kalimat pada kalimat (34). Supaya ada induk kalimat, salah satu kata penghubung
ditanggalkan.
5.2
Kesalahan Berbahasa Tataran Sintaksis
Pada
bagian V di dalam bukunya (Nanik Setyawati, 2010) akan dibahasa mengenai
kesalahan berbahasa pada tataran sintaksis. Kesalahan dalam tataran yang
dijelaskan oleh di dalam bukunya Nanik Setyawati ini antara lain: kesalahan
dalam frasa dan kesalahan dalam bidang kalimat. Kita ketahui bahwa klausa dapat
berpotensi menjadi sebuah kalimat jika intonasinya final. Kesalahan dalam
bidang klausa tidak dibicarakan tersendiri, tetapi sekaligus sudah melekat
dalam kesalahan di bidang kalimat. Kesalahan berbahasa pada bidang frasa sering
dijumpai dalam bahasa lisan maupun bahasa tertulis. Artinya kesalahan berbahasa
dalam bidang frasa ini sering terjadi dalam kegiatan berbicara maupun kegiatan
menulis. Kesalahan dalam bidang frasa dapat disebabkan oleh berbagai hal
diantaranya: (a) adanya pengaruh bahasa daerah, (b) pengunaan preposisi yang
tidak tepat, (c) kesalahan susunan kata, (d) penggunaan unsur yang berlebihan,
(e) penggunaan bentuk superlatif yang berlebihan , (f) penjamakan yang ganda,
dan (g) penggunaan bentuk resiprokal yang tidak tepat.
Sedangkan kesalahan
pada kalimat antara lain; (a) kalimat tidak bersubjek, (b) kalimat tidak
berpredikat, (c) kalimat tidak bersubjek dan tidak berpredikat (kalimat
buntung) (d) Antara predikat dan objek yang tersisipi, (e) kalimat tidak
logis), (f) kalimat yang ambiguitas, (g) penghilangan konjungsi, (h) penggunaan
konjungsi yang berlebihan, (i) urutan yang tidak pararel, (j) penggunaan
istilah asing, dan (k) penggunaan kata tanya yang tidak perlu.
5.3
Kesalahan Menyimak dan Berbicara
Pada
bagian V dalam bukunya Mansoer Pateda (1989) akan membahas mengenai kesalahan
dalam menyimak dan berbicara. Yang pertama dibahas pada bagian ini ialah,
peranan menyimak, pengertian menyimak, jenis menyimak, faktor yang mempengaruhi
proses menyimak, keberhasilan menyimak dan kesalahan menyimak. Menyimak adalah
proses mendengar dengan pemahaman dan pengertian, sedangkan mendengar adalah
proses memperoleh rangsangan bunyi-bunyi bahasa yang belum tentu diikuti oleh
proses pemahaman dan pengertian. Agar proses menyimak berhasil baik, perlu
diperhatikan faktor-faktor yang turut mempengaruhi proses menyimak, yakni; (1)
kejelasan pesan yang berasal dari pembicara, (2) bahasa yang digunakan, (3)
alat yang didengar, (4) suasana kejiwaan pembicara dan penyimak dan (5)
gangguan dari luar, misalnya kebisingan atau keributan.
Kesalahan
dalam menyimak harus dilihat dari proses kognitif, karena telah dijelaskan
sebelumnya bahwa menyimak adalah proses kognitif. Kesalahan menyimak berkisar
pada:
a.
Kesalahan mengidentifikasi bunyi-bunyi
bahasa
Apabila si terdidik
mendengar bunyi-bunyi bahasa asing baginya, si terdidik cenderung membuat
kesalahan atau ia akan menyamakan bunyi-bunyi yang didengarnya itu dengan
bunyi-bunyi yang agak mirip dalam bahasa ibunya. Kesalahan ini disebut
kesalahan menyamakan.
Seperti juga menyimak,
setiap hari manusia berbicara. Berbicara termasuk kedalam keterampilan
berbahasa setelah menyimak. Berbicara berarti menggunakan bahasa lisan secara
aktif. Penggunaan bahasa lisan secara aktif ini boleh saja berwujud perintah,
pertanyaan, dorongan, harapan, permintaan, pengakuan, penjelasan, pidato,
berbicara pada sidang-sidang, misalnya, konferensi pers, rapat, diskusi,
seminar, panel, lokakarya, dan lain sebagainya. Berbicara adalah aktivitas
manusia yang menggunakan bahasa secara lisan. Oleh karena itu, bahasa yang
digunakan berwujud bahasa lisan, maka yang penting adalah pelafalan dan
kata-kata atau kalimat yang digunakan. Berdasarkan hal tersebut, kesalahan yang
di dapat kalau si terdidik berbicara adalah (a) kesalahan melafalkan
bunyi-bunyi bahasa, (b) kesalahan memilih kata-kata atau diksi, (c) penggunaan
kalimat yang samar-samar, (d) pengungkapan pikiran yang tidak jelas (kacau) (e)
struktur kalimat yang diucapkan dan (f) penggunaan kata-kata yang mubadzir
(pemborosan kata).
5.4
Analisis Kesalahan Berbahasa
Pada
bagian V dalam Bukunya Henry Guntur Tarigan (1995) membahas mengenai persoalan
dalam kesalahan berbahasa. Kesalahan merupakan sisi yang mempunyai cacat pada
ujaran atau tulisan sang pelajar. Kesalahan tersebut merupakan bagian-bagian
konversi atau komposisi yang menyimpang dari norma baku atau norma terpilih
dari performasi bahasa orang dewasa. Istilah kesalahan yang dipergunakan dalam buku ini adalah padanan dari kata
errors dalam bahasa Inggris.
Kesalahan berbahasa atau language errors memang
beranekaragam jenisnya. Ada pakar yang membedakan atas dua jenis, yaitu:
a.
Kesalahan yang disebabkan oleh
faktor-faktor kelelahan, keletihan, dan kurangnya perhatian, yang oleh Chomsky
(1965) disebut faktor performansi, kesalahan performansi ini
merupakan kesalahan penampilan dalam beberapa kepustakaan disebut mistakes.
b.
Kesalahan yang diakibatkan
kurangnya pengetahuan mengenai kaidah-kaidah bahasa, yang disebut oleh Chomsky
(1965) sebagai faktor kompetensi,
merupakan penyimpangan-penyimpangan sistematis yang disebabkan oleh pengetahuan
pelajar yang sedang berkembang mengenai sistem B2 disebut errors.
Ada pula pakar yang membuat kategorisasi
kesalahan berbahasa, seperti berikut:
1. Interference-like
Goofs: kesalahan yang mencerminkan atau merefleksikan struktur bahasa ibu atau
bahasa asli (native language) dan yang tidak terdapat pada kata data
pemerolehan bahasa pertama (PB1) yang berasal dari bahasa sasaran.
2. L1
Developmental Goofs: kesalahan yang tidak mencerminkan atau mereflesikan
struktur bahasa ibu, tetapi terdapat pada data PB1 bahasa sasaran.
3. Ambiguitas
Goofs: kesalahan yang dapat dikategorikan sebagai interference-like goofs
maupun sebagai L1 developmental goofs.
4. Unique
Goofs: kesalahan yang tidak merefleksikan bahasa pertama (B1) dan juga tidak
terdapat pada data PB1 bahasa sasaran.
Ada beberapa taksonomi
kesalahan berbahasa yang telah didasarkan pada butir linguistik yang
dipengaruhi oleh kesalahan. Taksonomi-taksonomi kategori linguistik tersebutr
diklasifikasikan kesalahan-kesalahan berbahasa berdasarkan komponen linguistik
atau unsur linguistik tertentu yang dipengaruhi oleh kesalahan, ataupun
berdasarkan kedua-duanya. Komponen-komponen dalam bahasa mencakup fonologi,
morfologi, sintaksis, semantik, leksikon, dan wacana. Pengklasifikasian atau
taksonomi bagi kesalahan-kesalahan berbahasa ada empat yang penting dan perlu
kita ketahui mengenai kesalahan berbahasa, yaitu: (i) taksonomi kategori
linguistik, (ii) taksonomi siasat permukaan, (iii) taksonomi komparatif, dan
(iiii) taksonomi efek komunikatif.
BAB
VI
6.1
Kesalahan Berbahasa Tataran Semantik
Pada
bagian VI di dalam bukunya Nanik Setyawati (2010) dijelaskan bahwa kesalahan
berbahasa dalam tataran semantik dapat berkaitan dengan bahasa tulis maupun
bahasa lisan. Kesalahan berbahasa dalam tataran semantik ini penekanannya pada
penyimpangan makna, baik yang berkaitan dengan fonologi, morfologi, maupun
sintaksis. Jadi, jika sebuah bunyi, bentuk kata, ataupun kalimat yang maknanya
menyimpang dari makna yang seharusnya, maka tergolong ke dalam kesalahan
berbahasa ini. Banyak penyimpangan terjadi dalam penggunaan bahasa sehari-hari
yang berkaitan dengan makna yang tidak tepat. Makna yang tidak tepat tersebut
dapat berupa;
a)
Kesalahan penggunaan kata-kata mirip
Kata-kata
yang betmiripan tersebut dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok, yakni (i)
pasangan yang seasal, contoh: kurban dan
korban; (ii) pasangan yang bersaing,
contoh: kualitatif dan kwalitatif; dan (iii) pasangan yang
terancukan, contoh; sah dan syah (Alwi, 1991: 21-22).
b)
Kesalahan pilihan kata atau diksi.
Penggunaan kata-kata
yang saling menggantikan yang dipaksakan akan menimbulkan perubahan makna
kalimat bahkan merusak struktur kalimat, jika tidak disesuiakan dengan makna
atau maksud kalimat yang sebenarnya. Pilihan kata yang tidak tepat sering
menggunakannya divariasikan secara bebas, sehingga menimbulkan kesalahan.
Kalimat seperti tidak bermasala, jika hanya dicermati sekilas saja. Contoh: mantan dan bekas, busana dan baju, jam dan pukul, dan lain-lain. Kesalahan berbahasa dalam tataran
semantik tersebut akan dibicarakan satu persatu berikut ini.
1.
Kesalahan
karena Pasangan yang Sesuai
Pasangan
yang seasal adalah pasanfan kata yang memiliki bentuk asal yang sama dan
maknanya pun berdekatan (Alwi, 1991:21). Dalam hal ini kita tidak menentukan
bentuk mana yang benar, tetapi bentuk mana yang maknanya tepat untuk menyatakan
gagasan kita. Dengan kata lain, masing-masing adalah bentuk yang benar. Kita
dapat mengamati contoh berikut ini.
·
Penggunaan
Kata Kurban dan Korban
Kata kurban dan korban
sebenarnya berasal dari kata yang sama dari bahasa Arab, yaitu qurban. Kedua
kata itu merupakan kata baku di dalam bahasa Indonesia. Dalam perkembangannya,
qurban diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan penyesuaian ejaan dan dengan
perkembangan makna yang berbeda. Akibat ketidakhati-hatiab pemakai bahasa,
kedua kata tersebut sering dipertukarkan pemakaiannya. Contoh;
Bentuk Tidak Baku
(1)
Danging korban itu akan dibagikan kepada yang berhak menerimanya.
(2)
Jumlah kurban tanah longsor yang tewas sudah bisa dipastikan
Pengertian
pertama kata qurban adalah
persembahan kepada Tuhan (seperti kambing, sapi, dan unta yang disembelih pada
hari Lebaran haji) atau ‘pemberian untuk menyatakan kesetian atau kebaktian’;
yang kemudian dieja menjadi kurban.
Makna yang kedua adalah ‘orang atau binatang yang menderita atau mati yang
dieja menjadi korban. Berdasarkan
perbedaan makna tersebut, maka kita dapat memperbaiki kalimat (1) dan (2)
menjadi kalimat berikut;
Bentuk
Baku
(1a)
Daging kurban itu akan dibagikan kepada yang berhak menerimanya.
(2a)
Jumlah korban tanah longsor yang tewas sudah bisa dipastikan.
2.
Kesalahan
karena Pasangan yang Terancukan
Jenis
lain kesalahan karena kemiripan adalah pasangan yang terancukan. Pasangan yang
terancukan terjadi jika orang yang tidak
mengetahui secara pasti bentuk kata yang benar lalu terkacaukan oleh bentuk
yang dianggapnya benar. Dalam hal ini kedua anggota pasangan itu memang bentuk
yang benar, tetapi harus diperhatikan perbedaan maknanya. Akibatnya,
kadang-kadang ditemukan penggunaan bentuk yang salah marilah kita cermati contoh kesalahan
pemakaian jenis ini;
·
Penggunaan
Kata Sah dan Syah
Kata
sah dan syah merupakan dua kata yang berbeda dari segi makna. Kemiripan
bentuk dan lafal memang dimiliki kedua kata tersebut. tidak mengherankan jika
pemakai bahasa yang tidak cermat, sering mengacaukan pemakainya. Perhatikan
pamakaian berikut.
Bentuk
Tidak Baku
(11)
Sah Iran sudah pernah berkunjung ke
Indonesia
(12)
Dia sekarang sudah Syah menjadi suami
saya.
Kata
sah dan syah merupakan contoh pasangan yang terancukan. Makna kedua kata
itu jelas berbeda. Sah berarti ‘sudah
sesuai hukum’; sedangkan syah berarti
‘raja’. Kesalahan pada kedua kalimat di atas dapat diperbaiki menjadi:
Bentuk
Baku
(11a)
Syah Iran sudah pernah berkunjung ke
Indonesia
(12a)
Dia sekarang telah sah menjadi suami
saya
3.
Kesalahan
karena Pilihan Kata yang Tidak Tepat
Ada
dua istilah yang berkaitan dengan masalah subjudul ini, yaitu pemilihan kata
dan pilihan kata. Pemilihan kata adalah proses atau tindakan memilih kata yang
dapat mengungkapkan gagasan secara tepat, sedangkan pilihan kata adalah hasil
proses atau tindakan tersebut. ketepatan makna dan kelaziman pemakaian kata
perlu diperhatikan ketika memilih kata. Dalam kegiatan berbahasa, pilihan kata
merupakan aspek yang sangat penting karena pilihan kata yang tidak tepat selain
menyebabkan ketidakefektifan bahasa yang digunakan, juga dapat mengganggu
kejelsan informasi yang disampaikan. Kesalahpahaman informasi dan rusaknya
situasi komunikasi juga tidak jarang disebabkan oleh penggunaan pilihan kata yang
tidak tepat.
Seorang
pembicara atau penulis akan memilih kata yang “terbaik” untuk mengungkapkan
pesan yang akan disampaikannya. Pilihan kata yang “terbaik” adalah yang
memenuhi syarat antara lain: (1) ketepatan, (2) kebenaran, dan (3) kelaziman.
Kata yang tepat adalah kata yang mempunyai makna yang dapat mengungkapkan atau
sesuai dengan gagasan pemakai bahasa. kata yang benar adalah kata yang
diucapkan atau ditulis sesuai dengan bentuk yang benar (baik bentuk dasar
maupun bentuk jadian). Kata yang lazim adalah kata yang biasa digunakan untuk
mengungkapkan gagasan tertentu.
6.2
Kesantunan Sosiolinguistik dalam Teks Keagamaan
Pada bagian VI di dalam
bukunya Markhamah (2009) membahas mengenai kesantunan sosiolinguistik dalam
teks keagamaan. Kata santun berarti: 1) halus dan baik, 2) pwnuh rasa belas
kasihan, suka menolong (Tim Penyusun KBBI, 2002:997). Sopan adalah: 1) hormat
dan takzim (akan, kepada) tertib menurut adat yang baik, 2) beradab tentang
tingkah laku, tutur kata, pakaian, dsb. 3) baik kelakuannya (tidak lacur, tidak
cabul’(Tim Penyusun, KBBI, 2002:1084). Dalam Islam santun adalah bagian dari
akhlak\. Akhlak adalah suatu keadaan yang melekat pada jiwa manusia yang dari
keadaan lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa melalui pemikiran, pertimbangan,
atau penelitian.
Berdasarkan analisis
yang dilakukan peneliti, dalam teks keagamaan, khusunya terjemahan Quran yang
mengandung etika berbahasa terdapat bermacam-macam kesantunan sosiolinguistik.
Kesantunan yang dimaksud adalah merendahkan diri sendiri, menanyakan secara
lebih rinci pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan sebagai bentuk
penolakan terhadap perintah, menggunakan sindiran untuk meminang secara halus,
menucapkan salam dan menjawab salam, menggunakan eufimisme, mengucapkan ‘hiththah’
sambil, membungkukan badan, menggunakan panggilan kehormatan, dan mengucapkan
kata-kata baik. selain itu, kesantunan berbicara juga ditempuh dengan cara
berbicara dengan sabar dan berbicara dengan suara lunak, kesantunan lainnya
adalah mengucapkan kalimat doa, menyelamatkan muka mitra bicara, memberi
keputusan dengan adil, mematuhi perintah dan panggilan.
6.3
Kesalahan Membaca dan Menulis
Pada
bagian VI di dalam bukunya Mansoer Pateda membahas mengenai kesalahan membaca
dan menulis dikehidupan sehari-hari yang dilakukan oleh pengguna bahasa
terutama oleh guru dan murid dalam melaksanakan proses pembelajaran. Pembahasan
pertama dimulai dari pengertian membaca, proses membaca, motivasi membaca,
model membaca dan kesalahan membaca. Selanjutnya pembahasan mengenai menulis
dimulai dari pengertian menulis, motivasi menulis, tahap menulis, tipe tulisan,
unsur-unsur tulisan, dan kesalahan menulis.
A. Membaca
Secara umum orang
mengatakan bahwa membaca adalah suatu interpretasi simbol-simbol tertulis atau
membaca adalah menangkap makna rangkaian huruf tertentu. ini menunjukkan bahwa
membaca adalah pekerjaan mengidentifikasi simbol-simbol dan mengasosiasikannya
dengan makna, atau dengan kata lain membaca adalah proses mengidentifikasi dan
komprehensi. Yap (1978: 110) menggambarkan proses membaca untuk tingkat dasar
sebagai berikut:
·
Graphic input + aural input –recordingà
oral reading – decodingà meaning
Pada tingkat
selanjutnya, proses terlihat sebagai berikut:
·
Graphic input –decodingà
meaning
Dechant dan Henry P.
Smith (1977) berpendapat, ada tiga faktor utama yang mendorong orang untuk
membaca, yakni fisiologis, psikologis, dan kebiasaan. Faktor fisiologis mengacu
kepada kebutuhan, membaca adalah suatu kebutuhan, sudah seperti kebutuhan untuk
makan atau berpakaian. Faktor psikologis mengacu kepada keinginan untuk
mengetahui, mengembangkan pengetahuan atau mencari informasi. Faktor psikologis
yang mendorong manusia mengayakan kebutuhan mentalnya. Ia terdorong untuk
membaca bukan karena dorongan dari luar, tetapi sudah merupakan dorongan batin
agar ia beroleh kemajuan. Akhirnya faktor kebiasaan mengacu kepada dorongan
untuk bersantai-santai saja, menghabiskan waktu atau untuk rekreasi. Terdapat
beberapa model membaca yang perlu kita ketahui, yakni model taksonomik,
psikokometrik, psikologi, model proses informasi, dan model linguistik. Untuk
memperoleh hasil ketika kita membaca, perlu menerapkan metode membaca yang
efektif. Robinson (Yap, 1978:114) mengusulkan metode SQ3R, yakni Survey,
Question, Read, Recall, dan Review. Dan ahli lainnya mengusulkan metode GPID,
yakni; Goals, Plans, Implementation dan Development.
Wahidji dkk (1985)
mengatakan bahwa kesalahan membaca murid kelas VI SD di daerah Gorontalo,
Sulawesi Utara adalah:
a. Lafal
yang sangat dipengaruhi oleh lafal dalam bahasa ibu
b. Salah
membaca kelompok kata
c. Penggunaan
unsur suprasegmental yang tidak tepat, dan
d. Pungtuasi
belum dikuasai.
Langan (1985) mengatakan di dalam
tulisan, setiap ide yang dikemukakan harus didikung oleh alasan yang cukup.
Dengan kata lain menulis adalah pengalihan bahasa lisan ke dalam bentuk
tulisan. Orang menulis didorong oleh beberapa faktor, yakni; keharusan,
promosi, kemanusiaan, mengharapkan sesuatu, pengembangan ilmu, kesusastraan,
mengadu-domba dan pemberitahuan. Tahap-tahap dalam menulis diantaranya;
mencontoh, reproduksi, rekomendasi/transformasi, menulis terpimpin, dan menulis
bebas. Billows (1961) menyebutkan tipe-tipe tulisan, diantaranya; laporan,
timbangan, iklan dan publikasi, artikel, surat dan tulisan kreatif. Kesalahan
yang sering ditemukan dalam menulis yakni, ejaan, bentuk kata, tata kalimat dan
paragraf.
BAB
VII
7.1
Kesalahan Berbahasa Tataran Wacana
Menurut Tarigan dalam (Setyawati,
2010: 145) mengemukakan bahwa wacana merupakan satuan bahasa terlengkap dan
tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan kogerensi dan kohesi
tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir nyata disampaikan
secara lisan dan tertulis. Ruang lingkup kesalahan dalam tataran wacana dapat
meliputi:
a) Kesalahan
dalam Kohesi
1. Kesalahan
Penggunaan Pengacuan
Wacana Tidak Baku
(1) Rombongan
darmawisata itu mula-mula mendatangi Pulau Madura. Setelah itu dia melanjutkan perjalanan ke Pulau Bali
Wacana di atas salah
dalam menggunakan pengacuan. Penggunaan pengacuan yang tepat dalam wacana (1)
bukan dia tapi mereka.
2. Kesalahan Penggunaan Penyulihan
Wacana Tidak Baku
(2) Ibrahim
sekarang sudah berhasil mendapat gelar Sarjana Pendidikan. Derajat kesarjanaannya itu akan digunakan untuk mengabdi kepada
nusa dan bangsa.
Penggunaan kata-kata
penyulihan yang tercetak miring dalam wacana di atas tidak tepat. Penyulihan
wacana yang tepat untuk wacana (3) adalah titel;
3. Kekurangefektifan
Wacana karena Tidak Ada Pelesapan
Wacana Kurang Efektif
(3) Sudah
seminggu ini Rohmah sering ke rumahku.
Rohmah kadang-kadang mengantar
jajanan dan berbincang denganku. Dia belum pernah berbincang denganku tentang
cinta. Entah mengapa, aku pun enggan mengiring perbincangan kami ke arah sana.
Kata yang tercetak
miring dalam wacana di atas merupakan penggunaan yang kurang efektif. Untuk
keefektivitasan kalimat, ekonomis dalam penggunaan bahasa, dan mencapai aspek
kepaduan wacana, maka sebaiknya kata-kata yang bercetak miring tersebut
dilesapkan.
4. Keasalahan
Penggunaan Konjungsi
Wacana Tidak Baku
(4) Badannya
terasa kurang enak, dan dia masuk ke
kantor juga meskipun banyak tugas
yang harus diselesaikan dengan segera. Masuk dan tidak masuk kantor, pekerjaan harus selesai untuk bulan depan akan diadakan serah
terima jabatan. Karena yang digantikan dan
pengganti harus dipertemukan pada saat itu.
Jika kita cermati
dengan seksama, akan kita temukan kesalahan dalam penggunaan konjungsi dalam
wacana tersebut. tepatnya pada kata-kata yang dicetak miring. Akan lebih tepat
jika kongjungsi-konjungsi dalam kedua wacana di atas diganti seperti dalam
wacana di bawah ini;
(4a) Badannya terasa kurang enak, tetapi dia masuk kantor juga karena banyak tugas yang harus
diselesaikan dengan segera. Masuk atau tidak
masuk kantor, pekerjaan harus selesai sebab
bulan depan akan diadakan serah terima jabatan. Baik yang digantikan maupun pengganti harus dipertemukan pada
saat itu.
b) Kesalahan
dalam Koherensi
Perhatikan contoh berikut.
Wacana Tidak Koherens
(1)
Aku diam.
7.2
Kesantunan Linguistik Dalam Terjemahan Al-Quran
Kesantunan berbahasa sebenarnya
merupakan cara yang ditempuh oleh penutur di dalam berkomunikasi agar petutur
tidak merasa tertekan, tersudut, atau tersinggung. Menurut Brown dan Levinson
(1987), kesantunan berbahasa ini dimaknai sebagai usaha penutur untuk menjaga
harga diri, atau wajah, pembicara maupun pendengar. Secara linguistik
kesantunan berbahasa diketahui dari hal-hal berikut: pilihan kata, pemakaian
jenis kalimat. Pertama, dalam bahasa Indonesia terdapat kata-kata yang
menunjukkan adanya kesantunan tinggi, sedang dan rendah. Untuk menunjukkan
kesantunan tinggi penutur sebaiknya memilih kata-kata yang memiliki makna
kesantunan tinggi. Demikian juga sebaliknya, untuk menunjukkan kesantunan
sedang atau rendah penutur bisa memilih kata-kata yang menunjukkan kesantunan
sesuai. Kedua, jenis kalimat pada umumnya memang menunjukkan referensi atau
makna yang sesuai. Namun demikian, tidak selamanya seperti itu. Ketiga,
pemakaian kalimat pasif untuk menghindari perintah secara langsung.
Selanjutnya, kesantunan berbahasa dalam penelitian ini juga mengacu pada
kesantunan linguistik tuturan imperatif dan kesantunan pragmatik imperatif.
Menurut Rahardi dalam (Markhamah, 2009: 156), ada empat faktor penentu
kesantunan linguistik tuturan imperatif bahasa Indonesia, yaitu (1)
panjang-pendek tuturan, (2) urutan tutur, (3) intonasi tuturan dan
isyarat-isyarat kinesik, dan (4) pemakaian ungkapan penanda kesantunan.
·
Kesantunan Linguistik dalam Terjemahan
Al-Quran
Kesantunan linguistik
yang terdapat pada teks terjemahan Al-Quran berupa; konstruksi deklaratif,
konstruksi imperatif, konstruksi interogatif, konstruksi pengandaian, dan
kontruksi langsung. Terdapat tiga kontruksi yang dominan dalam terjemahan
Al-Quran, yaitu konstruksi deklaratif, konstruksi imperatif, konstruksi
interogatif. Dari ketiga jenis jenis konstruksi itu sebagian besar konstruktif
imperatif (29 data). Disusul berikutnya konstruksi deklaratif (20 data) dan
interogatif (8 data). Dari ketiga kontruksi itu sebagian besar bermakna
perintah dan larangan. Dengan memperhatikan banyaknya perintah dan larangan ini
dapat dipahami karena Al-Quran adalah petunjuk dari Allah SWT. (sebagai pemberi
perintah) kepada manusia (sebagai pihak yang diperintah/dilarang/ diajak).
1. Konstruksi
Deklaratif
Konstruksi deklaratif yang
mengandung kesantunan linguistik adalah konstruksi deklaratif yang sebenarnya
bermakna perintah, larangan, peringatan,. Ajakan, atau sindiran.
Contoh:
Kontruksi dengan kata penegas sesungguhnya, sebagaimana terdapat pada
surat Al-Hujurat (49): 4-5, An-Nuur (24): 11, dan ayat-ayat lainnya dengan
konstruksi serupa, seringkali mengandung makna perintah, ajakan atau larangan.
Kata sesungguhnya, bersinonim dengan sebenarnya, sebetulnya, bahwasanya, atau memang begitu (Poerwadarminta, 1982:
977).
2. Konstruksi
Imperatif
Secara umum, konstruksi imperatif
merupakan konstruksi yang bermakna perintah dan larangan. Namun demikian,
terdapat konstruksi-konstruksi imperatif tertentu yang mengandung kesantunan
linguistik lebih tinggi. Konstruksi imperatif yang mengandung kesantunan
linguistik dalam Al-Quran ditandai dnegan ciri-ciri sebagai berikut: (1)
penonjolan pelaku, (2) bermakna antonim, (3) bermakna periingatan, (4)
penonjolan penderita.
3. Konstruksi
Interogatif
Konstruksi linguistik dalam
konstruksi interogatif ditemukan dalam konstruksi interogatif yang bermakna
perintah dan peringatan dengan karakteristik sebagai berikuta: (1) berpemarkah
kata tanya, (2) mengandung perbandingan, dan (3) digabung dengan deklaratif.
7.3
Penerapan Analisis Kesalahan
Pada bab ini dalam bukunya Mansoer
Pateda (1989) menguraikan mengenai, (i) teknik analisis, (ii) implikasi
pedagogis analisis kesalahan, (iii) dukungan terhadap analisis kesalahan, (iv)
prosedur analisis kesalahan, (v) format analisis kesalahan, (vi) kesulitan
menerapakan analisis kesalahan, dan (vii) analisis.
·
Teknik Analisis
Norrish dalam Pateda
(1989) mengemukakan dua mekanisme menganalisis kesalahan. Mekanisme yang
diusulkan yakni membuat kategori kesalahan dan mengelompokkan jenis kesalahan
itu berdasarkan daerahnya. Secara teknis mekanisme ini dilakukan dengan cara
(i) melaksanakan kategori seleksi awal, (ii) menentukan kategori kesalahan, dan
(iii) mencek cepat.
·
Aplikais Pedagogis Analisis Kesalahan
Ada tiga cara memperbaiki kesalahan si terdidik:
1.
Mengoreksi kesalahan di kelas
2.
Mengjelaskan bentuk gramatikal yang
benar
3.
Memolakan bahan yang dikaitkan dengan
kurikulum
4.
Berdasarkan kenyataan, guru biasanya
menghadapi kesulitan kalau mengoreksi kesalahan si terdidik.
·
Dukungan Terhadap Analisis Kesalahan
Agar analisis kesalahan dapat diterapkan,
kita harus membentengi diri dengan pengetahuan fonologi, morfologi, sintaksis,
semantik, dan pengetahuan bahasa yang diperlukan. Dalam kaitan fonologi, harus
dikuasai:
-
Pelafalan atau penulisan kata yang tepat
-
Silabisasi yang betul
-
Ejaan yang benar
-
Penggunaan pungtuasi yang benar
Dalam kaitannya dengan bidang morfologi,
sekurang-kurangnya dikuasai:
-
Penurunan kata yang tepat
-
Pemilihan kata (diksi)
-
Pemakaian kata yang sesuai dengan makna
Dalam kaitannya dengan bidang sintaksis,
harus dikuasai:
-
Urutan kata yang tepat
-
Logika kalimat
-
Koherensi
-
Pemilihan kata, padat, singkat, jelas,
efektif, konsisten, relevan.
-
Pemakaian kata sambung yang tepat
-
Tidak ambigu
-
Sesuai dengan latar belakang
sosiolinguistik
-
Pungtuasi
Dalam hubungannya dengan semantik, harus
dikuasai;
-
Semua jenis makna yang terdapat dalam
kata
-
Pemakaian kata sesuai dengan makna
-
Makna ganda
-
Sinonim
-
Natonimi
-
Homonimi
-
Kiasan
-
Makna lugas
-
Bentuk rancu (kata dan kalimat).
·
Prosedur Analisis Kesalahan
Corner dalam (Pateda, 1989: 114-115)
mengemukakan tiga tahap menganalisis kesalahan, yakni (i) pengenalan, (ii)
pemerian deskripsi, (iii) penjelasan. Pada tahap pengenalan, guru berusaha
jangan sampai salah tafsir terhadap data yang ada. Secara praktis, tahap
pengenalan dan tahap pemerian berjalan serentak. Pada tahap pemerian,
dilaksanakan proses perbandingan. Perbandingan antara data yang salah dengan
data yang seharusnya atau data yang benar. Proses ini mirip dengan analisis
kontrastif. Hanya bedanya ada dua data bahasa yang dibandingkan, sedangkan pada
tahap pemerian dalam analisis kesalahan data yang dibandingkan adalah data yang
salah dan data yang tidak mengandung kesalahan.
·
Format Analsis
No
|
Nama
|
Daerah
Kesalahan
|
||||||
Fonologi
|
f
|
Morfologi
|
f
|
Sintaksis
|
f
|
ket
|
||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
·
Kesulitan Menerapkan Analsis Kesalahan
Banyak kesulitan yang
dialami, apabila kita aan menganalisis kesalahan. Kesulitan itu terutama
berpangkal dari penganalisis, yakni kemampuan menentukan bentuk yang benar dan
salah. Penganalisis kadang-kadang ragu-ragu menentukan bentuk yang benar dan
yang benar. Keragu-raguan muncul, karena terdapat perbedaan pendapat antara
para ahli mengenai persoalan yang sama.
Kesulitan berikut yang
dialami, yakni kesulitan menentukan daerah, sifat, sumber dan jenis kesalahan.
Misalnya, kesalahan menulis kata, apakah digolongkan pada daerah fonologi atau
morfologi? Kesulitan lain juga perlu diperhatikan, yakni kecepatan berbicara
atau membaca dan ketidakjelasan tulisan. Baradja (Pateda, 1989: 122)
berpendapat bahwa memang ada kesulitan menerapkan analisis kesalahan yang menyangkut
(i) kesalahan dalam hal memberikan makna terhadap tuturan si terdidik, (ii)
kesulitan untuk menciptakan instrumen yang dapat menggali informasi yang kita
inginkan, (iii) kesulitan dalam melaksanakan pengelompokkan.
·
Analisis
Di bawah ini diberikan sebuah contoh
tulisan yang di analisis. Contoh ini lebih banyak berhubungan dengan kemampuan
menulis.
1. “Di
samping itu perlu disadari bahwa populasi seorang pengarang mungkin karena
tumbuh sendiri tetapi mungkin juga ditumbuhkan orang lain. Dalam hal ini
sejalan dengan banyaknya GB pada buku Kemarau tidak jeleknya kalau mereka ini
dipopulasikan.
Analisis
a.
Kesalahan: kata populasi harus diganti
dengan popularitas. Kata ditumbuhkan
sebaiknya diganti dengan kata dipopulerkan.
b.
Daerah kesalahan: fonologi : tanda baca
yakni penggunaan tanda baca koma, morfologi: diksi, dan sintaksis: penghilangan
urutan kata.
c.
Pembetulan
“Di
samping itu perlu disadari bahwa popularitas seorang pengarang mungkin karena
mereka tumbuh sendiri, tetapi mungkin juga dipopulerkan orang lain. Sejalan
dengan banyaknya GB pada buku Kemarau, tidak ada jeleknya kalau mereka ini
dipopulerkan”.
BAB
VIII : Kesalahan Berbahasa dalam Penerapan Kaidah Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan
8.1 Ejaan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
ejaan didefinisikan sebagai kaidah-kaidah cara menggambarkan bunyi-bunyi (kata,
kalimat, dan sebagainya) dalam bentuk tulisan (huruf-huruf) serta penggunaan
tanda baca. Jelaslah bahwa ejaan tidak hanya berkaitan dengan cara mengeja
suatu kata, tetapi yang lebih utama berkaitan dengan cara mengatur penulisan
huruf menjadi satuan yang lebih besar, misalnya kata, kelompok kata, kalimat.
Kesalahan dalam penerapan kaidah
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD), di antaranya meliputi: (a)
kesalahan penulisan huruf besar atau huruf kapital, (b) kesalahan penulisan
huruf miring, (c) kesalahan penulisan kata, (d) kesalahan memenggal kata, (e)
kesalahan penulisan lambang bilangan, (f) kesalahan penulisan unsur serapan,
dan (g) kesalahan penulisan tanda baca.
(a)
Kesalahan
Penulisan Huruf Besar atau Huruf Kapital
Penulisan huruf kapital yang kita
jumpai dalam tulisan-tulisan resmi kadang-kadang menyimpang dari kaidah-kaidah
yang berlaku. Perhatikan contoh berikut.
1. Kesalahan
penulisan huruf pertama petikan langsung.
Contoh:
Bentuk
Tidak Baku
(1)
Ibu mengingatkan, “jangan lupa dompetmu,
Tik!”
(2)
Karolina menjawab, “ bukan aku yang
mengambil baju itu, Bu.”
(3)
“tadi pagi saya berangkat tergesa-gesa
karena bangun kesiangan, “kata Bekti.
Sesuai dengan kaidah tata bahasa
yang benar adalah bahwa huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama petikan
langsung. Jadi, ketiga kalimat di atas dapat diperbaiki menjadi kalimat-kalimat
berikut ini.
Bentuk
Baku
(1a) Ibu mengatakan,
“jangan lupa dompetmu, Tik?”
(2a) Karolina menjawab,
“ Bukan aku yang mengambil baju itu, Bu.”
(3a) “Tadi pagi saya
berangkat tergesa-gesa karena bangun kesiangan,” kata Bekti.
2. Kesalahan
penulisan huruf pertama dalam ungkapan yang berhubungan dengan hal-hal
keagamaan (terbatas pada nama diri), kitab suci, dan nama Tuhan (termasuk kata
ganti untuk Tuhan).
Contoh:
Bentuk Tidak Baku
(4)
Ya allah, semoga engkau menerima arwah
ayah saya.
(5)
Limpahkanlah rahmatmu kepada kami ya
Allah.
Huruf kapital dipakai sebagai huruf
pertama dalam ungkapan yang berhubungan dengan hal-hal keagamaan (terbatas pada
nama diri), kitab suci, dan nama Tuhan (termasuk kata ganti untuk Tuhan). Huruf
pertama pada kata ganti –ku, -mu, dan
–nya, sebagai kata ganti Tuhan harus
dituliskan dengan huruf kapital yang dirangkaikan oleh tanda hubung (-) dengan
kata sebelumnya. Dengan berpedoman pada kaidah tersebut, kita dapat memperbaiki
kalimat-kalimat di atas menjadi:
Bentuk
Baku
(4a) Ya Allah, semoga
Engkau menerima arwah ayah saya.
(5a) Limpahkanlah
rahmat-Mu kepada kami ya Allah.
c) Kesalahan
penulisan huruf pertama nama gelar (kehormatan, keturunan, keagamaan), jabatan,
dan pangkat yang diikuti nama orang.
Contoh:
Bentuk
Tidak Baku
(6)
Pemerintah baru saja memberikan anugerah
kepada mahaputa Yamin.
(7)
Nabi Ismail adalah anak nabi Ibrahim
alaihisalam.
Berdasarkan pada kaidah tata bahasa
Indonesia bahwa huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama gelar
(keheormatan, keturunan, keagamaan), jabatan dan pangkat yang diikuti nama diri
ditulis dengan huruf kecil. Jadi, kalimat di atas dapat diperbaiki menjadi
bentuk baku:
Bentuk
Baku
(7a)
Pemerintah
baru saja memberikan anugerah kepada Mahaputra Yamin.
(8a)
Nabi
Ismail adalah anak Nabi Ibrahim alaihisalam.
d) Kesalahan
penulisan kata-kata van, den, der, da,
de, di, bin dan ibnu yang
digunakan sebagai nama orang ditulis dengan huruf besar, padahal kata-kata itu
tidak terletak pada awal kalimat.
Contoh;
Bentuk
Baku Bentuk Tidak Baku
-
Van den Bosch - Van Den Bosch
-
Mursid bin Hasan - Mursid Bin Hasan
e) Kesalahan
penulisan huruf pertama nama bangsa, suku, dan bahasa yang tidak terletak pada
awal kalimat.
f) Kesalahan
penulisan huruf pertama nama tahun, bulan, hari raya, dan peristiwa sejarah
g) Kesalahan
penulisan pada huruf pertama nama khas geografi.
h) Kesalahan
penulisan huruf pertama nama resmi badan, lembaga pemerintahan dan ketatanegaraan,
serta nama dokumen resmi.
i) Kesalahan
penulisan huruf pertama pada kata tugas seperti: di, ke, untuk, yang, dan, dalam pada judul buku, majalah, surat
kabar, dan karangan yang tidak terletak pada posisi awal.
j) Kesalahan
penulisan singkatan nama gelar dan sapaan
k) Kesalahan
penulisan huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan, seperti: bapak, ibu, saudara, anda, kakak, adik, dan
paman yang dipakai sebagai kata ganti
atau sapaan.
(b)
Kesalahan
Penulisan Huruf Miring
a) Kesalahan
penulisan nama buku, majalah, dan surat kabar yang dikutip dalam karangan.
b) Kesalahan
penulisan yang digunakan untuk menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian
kata, atau kelompok kata.
c) Kesalahan
penulisan kata nama-nama ilmiah atau ungkapan bahasa asing atau daerah 9yang
tidak disesuaikan ejaan).
(c)
Kesalahan
Penulisan Kata
a) Kesalahan
penulisan kata dasar dan kata bentukan
b) Kesalahan
penulisan –ku, -kau, -mu dan –nya
c) Kesalahan
penulisan preposisi di, ke, dan dari
d) Kesalahan
penulisan partikel pun
e) Kesalahan
penulisan per-
(d)
Kesalahan
Memenggal Kata
1) Kesalahan
pemenggalan dua vokal yang berurutan di tengah kata
2) Kesalahan
pemenggalan dua vokal mengapit konsonan di tengah kata
3) Kesalahan
pemenggalan dua konsonan berurutan di tengah kata
4) Kesalahan
pemenggalan tiga konsonan atau lebih di tengah kata
5) Kesalahan
pemenggalan kata berimbuhan
6) Kesalahan
pemenggalan nama diri
(e)
Kesalahan
Penulisan Lambang Bilangan
1) Kesalahan
penulisan lambang bilangan dengan huruf
2) Kesalahan
penulisan kata bilangan tingkat
3) Kesalahan
penulisan kata bilangan yang mendapat akhiran –an
4) Kesalahan
penulisan lambang bilangan yang dapat menyatakan satu atau dua kata yang
ditulis dengan angka dan keslaahan lambang bilangan yang menyatakan beberapa
perincian atau pemaparan ditulis dengan huruf.
5) Kesalahan
penulisan lambang bilangan pada awal kalimat dengan angka dan kesalahan
penulisan lambang bilangan pada awal kalimat dengan huruf
6) Kesalahan
penulisan angka yang menunjukkan jumlah antara ratusan, ribuan, dan seterusnya.
7) Kesalahan
penulisan jumlah uang
8) Kesalahan
penulisan angka NIP, NIM/NPM, dan nomor telepon
(f) Kesalahan Penulisan Unsur Serapan
Berdasarkan taraf
integrasinya, unsur serapan dalam bahasa Indonesia dapat dibedakan atas: (i)
unsur yang belum sepenuhnyaterserap ke dalam bahasa Indonesia (unsur-unsur ini
dipakai dalam konteks bahasa Indonesia, tetapi pelafalannya masih mengikuti
cara asing) dan (ii) unsur asing yang pelafalannya dan penulisannya disesuaikan
dengan kaidah bahasa Indonesia.
(g)
Kesalahan
Penulisan Tanda Baca
1) Kesalahan
penulisan tanda titik (.)
2) Kesalahan
penulisan tanda koma (,)
3) Kesalahan
pemakaian tanda titik koma (;)
4) Kesalahan
pemakaian tanda titik dua ( ; )
5) Kesalahan
penulisan tanda hubung (-)
Sumber
Pustaka
Setyawati, Nanik. 2010.
Analisis Kesalahan Berbahasa Indonesia.
Muhammad Rohmadi (Ed). Surakarta: Yuma Pressindo.
Markhamah, dkk. 2009. Analisis Kesalahan dan Kesantunan Berbahasa.
Surakarta: Muhammadiyah Press 2009.
Pateda, Mansoer. 1989. Analisis Kesalahan. Flores: Nusa Indah.
Tarigan, Henry Guntur.
1995. Pengajaran Analisis Kesalahan
Berbahasa. Bandung: Angkasa Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar