Rabu, 09 Desember 2015

HASIL PEMBACAAN KE EMPAT BUKU "ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA"



Nama   : Choirunnisa
NIM    : 2222120030 (VII A)

HASIL PEMBACAAN PADA  KEEMPAT BUKU ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA
·      BAB I
Hasil pembacaan saya terhadap keempat buku tentang analisis kesalahan berbahasa ini pada bab satu hampir keseluruhan membahas mengenai keragaman bahasa, yang kita tahu di Indonesia sendiri bahasa yang digunakan sangat beragam, tidak hanya ada bahasa Indonesia yang dipergunakan sebagai bahasa nasional namun ada juga bahasa pertama yang diperoleh sebelum memperoleh bahasa Indonesia. Tidak heran jika negara Indonesia termasuk ke dalam dwibahasaan. Keanekaragaman bahasa ini adalah salah satu pemicu terjadi kesalahan dalam berbahasa baik pada tingkat fonemnya atau fonologi, morfemnya atau fonologi atau kalimatnya atau sintaksis.
Henry Guntur Tarigan mengawali pembahasan dalam bukunya yang berjudul Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa adalah mengenai pemerolehan bahasa. Pemerolehan bahasa biasanya diikuti oleh kata pertama dan kedua, sehingga kita kenal istilah pemerolehan bahasa pertama (B1) dan Pemerolehan bahasa kedua (B2). Pemerolehan bahasa pertama berkaitan dengan segala aktivitas seseorang dalam menguasai bahasa ibunya, jalur pemerolehannya dapat melalui pendidikan informal dan pendidikan formal. Pemerolehan bahasa kedua berlangsung setelah seseorang menguasai atau mempelajari bahasa pertamanya. Dalam bukunya, Penulis menyebut bahwa pendidikan informal dianggap sebagai pengajaran bahasa secara alamiah dan dalam pendidikan formal sebagai pengajaran bahasa secara ilmiah. para pakar dalam pendapatnya menganggap bahwa pengajaran bahasa baik alamiah maupun ilmiah itu sama, pengajaran bahasa secara alamiah disebut pemerolehan bahasa dan pengajaran bahasa secara ilmiah disebut pemelajaran.
Disamping itu ada juga yang beranggapan bahwa antara pemerolehan bahasa (pengajaran bahasa secara informal) dengan pemelajaran bahasa (pengajaran bahasa secara formal) itu berbeda. Pengajaran secara informal proses belajaranya tidak direncanakan, kebetulan, tidak sengaja, sedangkan dalam pengajaran formal berdasarkan perencanaan yang matang, disengaja, dan disadari. dari beberapa pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pemerolehan bahasa kedua adalah proses yang disadari atau yang tidak disadari dalam mempelajari bahasa kedua setelah seseorang menguasai bahasa ibunya, baik secara alamiah maupun ilmiah. jadi antara pemerolehan bahasa pertama dan kedua mempunyai tahap pengajaran bahasa yang sama.
Dwibahasawan masih ada kaitannya dengan pemerolehan bahasa. Yang dimaksud dwibahasawan adalah penguasaan dua bahasa atau lebih. kedwibahasawan atau keanekabahasaan adalah suatu keterampilan khusus, yang relatif karena tipe dan jenjang penguasaan bahasa seseorang berbeda. Menurut E. Haugen (Tarigan, 1988: 9) mengemukakan “apabila seseorang sudah dapat mengucapkan ujaran yang bermakna dalam bahasa lain selain dari B1 maka orang yang bersangkutan sudah dapat dikategorikan sebagai dwibahasawan. Baginya, kedwibahasaan adalah kemampuan menghasilkan ujaran yang bermakna di dalam bahasa kedua. faktor-faktor penyebab munculnya dan berkembangnya pendidikan dwibahasaan itu antara lain dominasi politik, budaya, administrasi ekonomi, militer, sejarah, agama, demografi dan ideologi.
Persoalan interferensi juga dibahas pada bab satu dalam bukunya Henry Guntur Tarigan. Weinreich dalam (Tarigan, 1988: 15) mendefisikan interferensi sebagai “penyimpangan norma bahasa yang terjadi di dalam ujaran dwibahasawan karena keakrabannya terhadap lebih dari satu bahasa yang menyebabkan terjadinya kontak bahasa”. Bahkan Haugen dalam (Tarigan, 1988: 15) menegaskan bahwa difusi linguistik atau peminjaman adalah usaha sang pembicara menggunakan pola bahasa yang telah dipelajarinya dalam menggunakan bahasa lainnya. Bahasa sang pembicaralah yang dipengaruhi, bukan bahasa yang dipelajarinya. Dapat disimpulkan bahwa interferensi sebagai penggunaan sistem B1 dalam menggunakan B2, sedangkan sistem tersebut tidak sama denga B2. Penggunaan sistem bahasa tertentu pada bahasa lainnya disebut transfer. Bila sistem yang digunakan itu bersamaan maka transfer itu disebut transfer positif. Sebaliknya, bila sistem yang digunakan itu berlainan atau bertentangan disebut transfer negatif. Transfer negatif menyebabkan timbulnya kesulitan dalam pengajaran B2 dan sekaligus merupakan salah satu sumber kesalahan berbahasa. Transfer negatif tersebut dikenal dengan istilah interferensi.
Dalam buku Mansoer Pateda (1989) tidak ada pembahasan mengenai interferensi, hanya saja masih saling berkaitan satu sama lain. Karena interferensi objek analisisnya juga bahasa. linguistik sebagai  ilmu pengetahuan yang perkembang terus-menurus. Pengembangan linguistik ditandai dengan banyaknya subdisiplin ilmu linguistik. Studi linguistik sebagai studi bahasa ilmiah yang dapat dipelajari dari berbagai segi, yakni berdasarkan pembidangannya, sifat telaahnya, pendekatan objeknya, alat analisisnya, hubungannya dengan ilmu lain, penerapannya dan teori atau aliran yang mendasarinya. Salah satu subdisiplin linguistik yang dilihat dari segi pembidangnya, adalah linguistik terapan.  Di dalam subdisiplin linguistik terapan itu sendiri banyak aspek yang menarik untuk dikaji. Linguistik terapan adalah subdisiplin linguistik yang menerapkan teori-teori linguistik dalam kegiatan praktis, dalam penerapannya diarahkan pada pengajaran bahasa. Salah satu aspek yang menarik untuk dipelajari  dalam linguistik terapan ini ialah analisis kesalahan ‘error analysis’.
Ketika seorang guru bahasa melaksanakan proses belajar-mengajar di kelas, pasti ia akan melaksanakan berbagai kegiatan, diantaranya; mengoreksi pekerjaan si terdidik, atau memperbaiki kesalahan berbahasa si terdidik. Dalam kaitannya diperlukan suatu keterampilan yakni keterampilan menganalisis kesalahan berbahasa si terdidik. Kesalahan dikumpulkan secara sistematis, kemudian dianalisis dan dikategorikan. Kegiatan seperti ini disebut analisis kesalahan ‘error analysis’ atau ‘error linguitics’. Kegiatan menganalisis kesalahan termasuk lingkupan linguistik terapan.
Kesalahan yang dibuat si terdidik ketika ia menggunakan atau mempelajari bahasa yang bukan bahasa ibunya telah menarik perhatian para ahli, khususnya ahli yang bergerak dalam bidang pengajaran. Terdapat pendekatan baru dalam mempelajari linguistik terapan terutama dalam bidang pengajaran bahasa, yakni analisis kontrastif dan analisis kesalahan. Indonesia dikenal memiliki lebih dari satu bahasa atau dwibahasa yakni bahasa pertama (bahasa ibu) yakni bahasa daerah dan bahasa keduanya bahasa Indonesia. Bahasa pertama diperoleh tanpa adanya pengajaran dari seorang guru sedangkan bahasa kedua diperoleh dari pengajaran disekolah, dimulai dari tingkat taman kanak-kanak atau sekolah dasar.
Persoalan kebahasaan yang dihadapi dalam pengajaran bahasa Indonesia ialah adanya pengaruh bahasa daerah (bahasa ibu) ke dalam bahasa Indonesia (bahasa yang sedang dipelajari), pengaruh tersebut ada yang berhubungan dengan fonogi, morfologi, dan ada pula yang berhubungan dengan sintaksis. Untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi guru ketika mengajarkan bahasa kedua dapat menggunakan pendekatan analisis kontranstif. Analisis kontranstif ini senagaja dipopulerkan guna membantu guru bahasa memperbaiki kesalahan berbahasa si terdidik sekaligus menolong si terdidik agar segera menguasai bahasa dipelajarinya dalam waktu tidak lama. Analisis kontranstif sebagai suatu pendekatan pengajaran bahasa yang mengasumsikan bahwa bahasa ibu mempengaruhi si terdidik ketika mempelajari mempelajari bahasa kedua. Dalam analisis kontranstif ini terdapat metode yang digunakan dalam menganalisis kesalahan dalam berbahasa, yakni metode perbandingan seperti yang dikatakan Buren dalam (Allen dan Corder, Ed. 1974: 280).
Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahawa analisis kontrastif adalah pendekatan dalam pengajaran bahasa yang menggunakan teknik perbandingan antara bahasa ibu dengan bahasa kedua atau bahasa yang sedang dipelajari sehingga guru dapat meramalkan kesalahan si terdidik dan si terdidik segera menguasai bahasa yang bukan bahasa ibunya yang sedang dipelajari. Analisis kontrastif muncul karena adanya kenyataan yang dialami si terdidik ketika mempelajari bahasa yang bukan bahasa ibunya. Dengankata lain analisis kontrastif ingin menolong guru bahasa dan sekaligus menolong si terdidik yang sedang mempelajari bahasa kedua atau bahasa yang bukan bahasa ibunya untuk segera menguasai bahasa tersebut dalam waktu tidak lama. Ruang lingkup analisis kontrastif terletak pada tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis. Tataran fonologi berhubungan dengan fonem yang ada dan yang tidak ada pelafalannya, tataran morfologi berhubungan dengan imbuhan, kata dengan segala derivasinya, sedangkan yang berhubungan dengan sintaksis, misalnya urutan kata, unsur yang perlu diperhatikan di dalam pembentukan satuan kalimat (kala, aspek, jumlah).
Analisis kontrastif termasuk dalam lingkupan linguistik terapan, kita tahu bahwa objek linguistik adalah bahasa, maka analisis kontrastif pun berobjekkan bahasa, hanya saja analisis kontrastif berfokus pada bahasa dalam pengajaran bahasa. Analisis kontrastif bertujuan menganalisis perbedaan antara bahasa ibu dengan bahasa yang sedang dipelajari agar kesalahan berbahasa si terdidik dapat diramalkan yang pada gilirannya kesalahan yang diakibatkan oleh pengaruh bahasa ibu itu dapat diperbaiki. Pendekatan analisis kontrastif menghipotesiskan bahwa kesalahan pemahaman terhadap bahasa yang sedang dipelajari atau bahasa kedua disebabkan oleh interferensi sistem bahasa pertama.
Pada bukunya Mansoer Pateda, pembahasan bab satu sudah sampai ke persoalan kesalahan berbahasa baik analisis kontrastif maupun analisis kesalahan itu sendiri. Sedangkan pada bukunya Markhamah dkk, pada bab 1 hanya menjelaskan latar belakang dari permasalahan yang akan dibahas dalam bukunya tersebut. Sebagai pengantar Markhamah dkk menjelaskan bagaimana seharusnya bahasa digunakan agar komunikasi yang terjadi akan terjalin secara baik dan bisa dipahami. Lebih tepatnya dalam berbahasa atau melakukan interaksi dibutuhkan norma-norma atau etika agar interaksi yang berlangsung tidak menimbulkan permasalahan. Tidak hanya itu, dalam berbahasa juga terdapat prinsip-prinsip yang harus diperhatikan, seperti sikap hormat, santun dan kerukunan harus diutamakan, karena manusia makhluk yang berbudaya oleh karena itu dalam berkomunikasi pun prinsip kesantunan tersebut harus diutamakan.
Dua sisi yang harus diperhatikan seseorang dalam berkomunikasi. Pertama bahasanya sendiri, kedua sikap atau perilaku yang ditimbulkan ketika berkomunikasi. Seorang Cendikiawan Muslim Nurcholis Madjid berpendapat bahwa orang Indonesia nyaris hancur karena masyarakatnya tidak terbiasa menerapkan etika dalam tiap sendi kehidupan. Etika berbahasa tidak menonjol dalam pengajaran bahasa Indonesia. Yang ramai dipersoalkan adalah tentang penggunaan bahasa Indonesia yang benar, seperti dalam Bahasa Indonesia yang Salah dan yang Benar. Bahasa yang santun dan jernih tidak diterapkan dalam pergaulan. Yang muncul adalah bahasa untuk menyakiti, mengejek, mengancam dll. Bila demikian, orang Indonesia yang mayoritas beragama islam amat perlu mendapatkan pola yang bersumberkan Al-Quran dan Hadist agar mampu menciptakan pergaulan dalam masyarakat yang pluralis. dalam hal ini penulis tertarik untuk mengkaji kesantunan berbahasa dalam teks terjemahan Al Quran yang mengandung etika berbahasa. Jika teks tersebut dinyatakan mengenai etika berbahasa, sejauh manakah kesantunan berbahasa di dalam teks itu sendiri.
Tidak jauh berbeda dengan yang lain, pembahasan buku miliknya Nanik Setiawati ini pada bab satu persoalan ragam bahasa juga dibahas diawal-awal. Bahasa Indonesia memiliki dua kedudukan, yaitu sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Dalam praktik pemakaiannya pada dasarnya beranekaragam. Keanekaragaman pemakaian bahasa itulah yang disebut dengan ragam bahasa. ragam bahasa dapat diamati berdasarkan sarananya, suasananya, norma pemakaiannya, tempat atau daerahnya, bidang penggunaannya dan lain-lain. Dari segi sarana pemakaiannya, ragam bahasa dapat dibedakan atas ragam lisan dan tulis; jika dilihat dari segi suasananya, ragam bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi ragam resmi atau ragam formal dan ragam tidak resmi atau ragam tidak formal; ragam bahasa ditinjau dari segi sarananya dan suasananya dipadukan, maka akan kita dapati ragam lisan yang resmi dan ragam lisan yang tidak resmi, selain itu ada ragam tulis resmi dan ragam tulis tidak resmi; ragam bahasa ditinjau dari norma pemakaiannya dibedakan atas ragam baku dan ragam tidak baku. Lebih lanjut, ragam bahasa dapat pula dibedakan berdasarkan bidang penggunaannya, yakni ragam bahasa ilmu sastra, hukum, jurnalistik dan sebagainya.
Lahirnya konsep “Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar” pada dasarnya tidak terlepas dari konteks pemakaian bahasa yang beragam-ragam. Kita sering mendengar atau membaca imbauan itu tersirat makna bahwa pemakaian bahasa Indonesia ada “bahasa Indonesia yang baik dan benar” dan ada “bahasa Indonesia yang tidak baik dan tidak benar”. Jika kita berpegang pada asas bahwa pada hakikatnya tidak ada suatu bahasa yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada bahasa lain, kalimat atau imbauan tersebut bukan kalimat yang benar atau kurang tepat. Yang berperan dalam kegiatan berbahasa adalah orang yang menggunakan bahasa tersebut. Jadi benar tidaknya bahasa yang digunakan seseorang bergantung pada orang yang berbahasa itu, bukan oleh bahasanya. Berdasarkan asas tersebut, imbauan akan lebih tepat jikan diubah menjadi “Pakailah Bahasa Indonesia dengan Baik dan Benar”. Berbahasa Indonesia dengan baik dan benar adalah berbahasa Indonesia yang sesuai dengan faktor-faktor penentu berkomunikasi dan benar dalam penerapan aturan kebahasaannya. Yang dimaksud berbahasa Indonesia dengan baik belum tentu bena, sebaliknya berbahasa Indonesia dengan benar juga belum merupakan berbahasa Indonesia dengan baik.
BAB II
Berbicara mengenai kalimat efektif, artinya apa yang akan kita bicarakan tidak akan jauh dari yang namanya bahasa. Bahasa dipergunakan oleh manusia sebagai sarana komunikasi untuk menyampaikan sebuah pesan, informasi, secara verbal maupun nonverbal. Di dalam bukunya (Markhamah dkk, 2009: 7), mengatakan bahwa di dalam berkomunikasi secara lisan seseorang harus memperhatikan kalimat yang diucapakannya, artinya penutur harus memperhatikan apakah kalimat yang diucapkan bisa dipahami oleh orang lain dan apakah kalimat yang diucapkan tidak menimbulkan salah tafsir. Ketika kita berkomunikasi dengan menggunakan bahasa lisan, kita juga perlu memperhatikan ketepatan, kelaziman, dan kebakuan kata yang diucapkan. Demikian halnya dalam berkomunikasi secara tertulis artinya, dalam menulis seorang penulis harus memperhatikan kalimat tang ditulisnya sehingga orang yang membaca tulisan kita bisa memahami maksud yang akan kita sampaikan.
Dengan kata lain kalimat yang kita tulis atau kita ucapkan hendaknya merupakan kalimat efektif. Dalam pemakaiannya, kalimat efektif ini dituntut untuk digunakan dalam pemakaian bahasa resmi, pemakaian bahasa yang efektif terlihat dari kalimat-kalimat efektif yang memiliki ciri-ciri berupa ciri gramatikal dan ciri diktis. Ciri gramatikal menurut (Markhamah dkk, 2009: 7) adalah ciri yang harus dipenuhi oleh pemakai bahasa dalam kaitannya dengan ketatabahasaan. Ciri ini dapat dilihat dari bidang morfologi (ciri morfologis) dan bidang sintaksis (ciri sintaksis).  Ciri gramatikal morfologis ini diterapkan sesuai dengan kaidah morfologis yang berkaitan dengan bentuk kata. Misalnya pada kalimat 1a dan 1b berikut;
 (1a)     Serena adalah orang asing yang pandai bicara bahasa Indonesia
 (1b)     Serena adalah orang asing yang pandai berbicara bahasa Indonesia
            Kalimat (1a) tidak efektif karena tidak gramatikal secara morfologis. Kata bicara termasuk kata tidak baku. Kata bakunya dalah berbicara. Hilangnya afiks ber- menyebabkan kata tersebut kurang gramatikal.
            Sedangkan ciri gramatikal sintaksis menurut bukunya (Markhamah dkk, 2009: 7) adalah ciri gramatikal yang berkenaan dengan kaidah sintaksis. Secara sintaksis penulis atau penutur harus memperhatikan kaidah sintaksis dalam bahasa Indonesia. Kaidah sintaksis bertalian dengan struktur kata dalam kalimat, tanda baca, dan ejaan yang tepat. Misalnya pada kalimat 2a dan 2b berikut;
            (2a)      Dia pergi Jakarta kemarin.
            (2b)      Dia pergi ke Jakarta kemarin.
            Kalimat 2a dan 2b di atas tidak gramatikal secara sintaksis karena tidak adanya kata depan ke. Ketidakhadiran pfreposisi atau kata depan itu menjadikan kalimat tidak gramatikal secara sintaktis. Dengan demikian preposisi ke- wajib hadir di belakang verba yang diikuti dengan keterangan tempat. Ciri lain pada kalimat efektif adalah ciri diktis, yang berkaitan dengan dengan pemilihan kata, kata yang dirangkai menjadi suatu kalimat merupakan kata-kata yang tepat bentuknya, sesuai dan lazim. Menurut Soedjito dalam (Markhamah dkk, 2009: 7) menyatakan bahwa untuk menyusun kalimat efektif kata-kata yang dipilih hendaknya tepat, seksama, dan lazim. Pemilihan kata pada kalimat efektif memiliki pedoman yang harus dipenuhi, yakni; pemakaian kata tutur, pemakaian kata-kata bersinonim, pemakaian kata yang bernilai rasa, pemakaian kata-kata/istilah asing, pemakaian kata-kata konkret dan abstrak, pamakaian kata umum dan khusus, pemakaian kata ideomatik, dan pemakaian kata-kata yang lugas.
            Pada kalimat efektif dalam bukunya (Markhamah dkk, 2009: 7) adalah kalimat yang harus mengandung penalaran. Artinya kalimat yang secara nalar dapat diterima atau kalimat yang diterima oleh akal sehat. Kalimat tersebut kalimat yang dapat dipahami dengan mudah, cepat, tepat dan tidak menimbulkan salah pengertian, tidak menimbulkan keraguan ataupun salah pengertian bagi pembaca atau pendengarnya. Selain itu kalimat efektif juga harus memenuhi keserasian. Serasi artinya selaras, sesuai, dan cocok. Keserasian yang dimaksud di sini adalah keselarasan atau keserasian in bisa mengacu kepada bahasa yang baik. bahasa yang baik adalah bahasa yang sesuai dengan situasi. Jika seseorang berbicara dalam situasi resmi, ragam bahasa yang digunakan adalah bahasa ragam bahasa resmi. Sebaliknya, jika dia berbicara dalam situasi yang tidak resmi maka ragam bahasa yang digunakan sebaiknya ragam bahasa tidak resmi. Kriteria pemakaian bahasa yang baik adalah ketepatan pemilihan ragam bahasa yang sesuai dengan kebutuhan komunikasi.
            Jika pada bukunya Markhamah dibagian dua membahas mengenai kalimat efektif, lain halnya dengan Nanik Setyawati, dalam bukunya ia membahas mengenai latar belakang mengapa analisis kesalahan berbahasa itu dilakukan. Mulai dari pengertian kesalahan berbahasa, penyebab kesalahan berbahasa, pengertian analisis kesalahan berbahasa, mengapa analisis kesalahan berbahasa itu dilakukan, klasifikasi kesalahan berbahasa, bagaimana kaitannya mata kuliah analisis kesalahan berbahasa dengan mata kuliah lain, dan sikap positif terhadap bahasa Indonesia.
            Menurut Setyawati (2010) mengatakan bahwa kesalahan berbahasa adalah penggunaan bahasa baik secara lisan maupun tertulis yang menyimbang dari faktor-faktor penentu berkomunikasi atau menyimpang dari kaidah tata bahasa Indonesia. Kata ‘kesalahan’ dapat berarti penyimpangan, pelanggaran, atau kekhilafan dalam berbahasa. Sebenarnya penyebab utama dalam kesalahan berbahasa itu adalah pengguna bahasa itu sendiri, bukan bahasa yang digunakannya. Tiga kemungkinan penyebab seseorang dapat melakukan kesalahan berbahasa, diantaranya pengaruh bahasa pertama (B1) yang biasa disebut juga bahasa ibu. Istilah lainnya adalah interferensi. Kurang pahamnya pemakai bahasa terhadap bahasa yang dipakainya menjadi faktor penyebab kedua dalam kesalahan berbahasa. Ketiga, pengajaran bahasa yang kurang tepat atau kurang sempurna, faktor ini berkaitan dengan kurangnya sumber atau bahan yang diajarkan dan cara pelaksanaannya.
            Kesalahan berbahasa dianggap sebagai bagian dari proses belajar-mengajar, baik belajar formal maupun nonformal. Ellis (Setyawati, 2010: 17) menyatakan bahwa terdapat lima langkah kerja analisis bahasa, yaitu:
1.      Mengumpulkan sampel kesalahan,
2.      Mengidentifikasi kesalahan,
3.      Menjelaskan kesalahan,
4.      Mengklasifikasi kesalahan, dan
5.      Mengevaluasi kesalahan.
Mengapa analisis kesalahan berbahasa dilakukan? Karena analisis kesalahan berbahasa merupakan sebuah proses yang didasarkan pada analisis kesalahan orang yang sedang belajar dengan objeknya yakni bahasa yang sudah ditargetkan. Analisis kesalahan juga dapat sangat berguna sebagai alat selama tingkat-tingkat variasi program pengajaran target dilaksanakan. Tindakan pada permulaan dapat membuka pikiran guru, perancang kursus bahasa, penulis buku pelajaran atau pemerhati bahasa untuk mengatasi keruwetan bidang bahasa yang dihadapkan pada siswa.
Menurut Tarigan (Setyawati, 2010: 17) kesalahan berbahasa Indonesia dapat diklasifikasikan berdasarkan tataran linguistik seperti: bidang fonologi, morfologi, sintaksis, semantik dan wacana. Berdasarkan kegiatan berbahasa atau keterampilan berbahasanya seperti: keterampilan menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Berdasarkan sarana atau jenis bahasa, seperti: bahasa lisan dan bahasa tulisan. Berdasarkan penyebab kesalahan, seperti: kesalahan berbahasa karena pengajaran dan kesalahan berbahasa karena interferensi. Terakhir berdasarkan frekuensi terjadinya, seperti: kesalahan berbahasa yang paling sering, sering, sedang, kurang dan jarang terjadi.
Analisis kesalahan terhadap belajar bahasa mempunyai dampak positif. Bahasa sebagai perangkat kebiasaan dimiliki setiap orang sebagai media komunikasi. Ada kecenderungan setiap pemakai bahasa lebih sering mengikuti jalan pikirannya tanpa mempertimbangkan kaidah-kaidah yang ada dalam tata bahasa. sebaliknya, pemakai bahasa yang selalu mempertimbangkan kaidah-kaidah tata bahasa berupaya menghasilkan konsep sesuai dengan struktur yang dia pelajari.
            Seperti yang sudah dijelaskan di dalam bukunya Nanik Setyawati di atas, Mansoer Pateda juga menjelaskan di bagian dua dalam bukunya bahwa kesalahan adalah penyimpangan-penyimpangan yang bersifat sistematis yang dilakukan si terdidik ketika menggunakan bahasa. pada bagian ini Pateda akan lebih menjelaskan mengenai jenis kesalahan berbahasanya. jenis kesalahan yang dijelaskan di dalam bukunya yakni: kesalahan acuan, kesalahan register, kesalahan sosial, kesalahan tekstual, kesalahan penerimaan, kesalahan pengungkapan, kesalahan perorangan, kesalahan kelompok, kesalahan menganalogi, kesalahan transfer, kesalahan guru, kesalahan lokal, dan kesalahan global.
            Dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi apa yang diambil, diabawa, ditunjuk, dibayangkan, tidak sesuai dengan acuan yang dimaksud oleh pembicara, kesalahan acuan berkaitan dengan realisasi benda, proses, atau peristiwa yang tidak sesuai dengan acuan yang dikehendaki pembicara atau penulis. Untuk menghindari kesalahan tersebut, sebaiknya pesan yang disampaikan harus jelas dan tidak menimbulkan banyak tafsir atau multitafsir. Selanjutnya kesalahan pada register. Register dapat kita temui dalam bidang sosiolinguistik. Register berhubungan dengan variasi bahasa yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang. Selanjutnya ada kesalahan sosial, manusia sebagai makhluk sosial artinya manusia tidak mungkin hidup sendiri tanpa adanya orang lain, dibutuhkan saling komunikasi dengan sesamanya. Dalam sosiolinguistik dikenal adanya variasi bahasa yang dikaitkan dengan latar belakang sosialnya pembicara dan pendengarnya, misalnya yang berhubungan dengan jenis kelamin, pendidikan, umur, tempat tinggal, dll. Kesalahan memilih kata yang dikaitkan dengan status sosial orang yang diajak berbicara menimbulkan kesalahan yang disebut kesalahan sosial ‘sosial errors’.
            Kesalahan tekstual juga muncul sebagai akibat salah menafsirkan pesan yang tersirat dalam kalimat atau wacana. Sudah jelas bahwa kesalahan tekstual mengacu pada jenis kesalahan yang disebabkan oleh tafsiran yang keliru terhadap kalimat atau wacana yang kita dengar atau kita baca. Lain halnya dengan kesalahan penerimaan, jenis kesalahan ini biasanya berhubungan dengan keterampilan menyimak atau membaca, bisa jadi salah satu faktornya terjadi karena baik pendengar atau pun pembaca kurang memperhatikan atau memahami pesan yang disampaikan oleh pembicara. Kaitannya dengan pembicara, jenis kesalahan pengungkapan ada kaitannya dengan pembicara, pembicara atau penulis salah mengungkapkan atau menyampaikan apa yang dipikirkannya, yang dirasakannya atau yang diinginkannya. Kesalahan perseorangan sudah jelas kesalahan yang dibuat oleh seseorang diantara kawan-kawannya. Jika konteksnya di kelas, kita sedang mengajar, pelajaran yang diberikan tentunya ditujukan untuk sekelompok terdidik yang terdapat di dalam sebuah kelas, namun yang belajar sesungguhnya individu-individu itu sendiri. Mempelajari kesalahan kelompok hanya berarti apabila kelompok itu homogen, misalnya menggunakan bahasa ibu yang sama dan semuanya mempunyai latar belakang yang sama baik intelektual maupun sosial. Murid yang menggunakan bahasa yang berbeda, kesalahannya lebih banyak jika dibandingkan dengan murid-murid yang homogen.
            Selanjutnya kesalahan menganalogi adalah sejenis kesalahan pada si terdidik yang menguasai suatu bentuk bahasa yang dipelajari lalu menerapkannya dalam konteks, padahal bentuk itu tidak dapat diterapkan. Si terdidik melakukan proses pemukulrataan, tetapi proses pemukulrataan yang berlebihan. Si terdidik menggunakan kata atau kalimat yang berpola pada kata atau kalimat yang didengarnya padahal bentuk itu tidak dapat diterapkan. Berbeda dengan kesalahan tranfer, kesalahan ini terjadi apabila kebiasaan-kebiasaan pada bahasa pertama diterapkan pada bahasa yang dipelajari. Kemudian terdapat jenis kesalahan guru, kesalahan ini berhubungan dengan teknik dan metode pengajaran yang dilakukan guru di dalam kelas. Kesalahan guru adalah kesalahan yang dibuat si terdidik karena metode dan bahan yang diajarkan salah. Selanjutnya jenis kesalahan lokal, kesalahan ini tidak menghambat komunikasi yang pesannya diungkapkan dalam sebuah kalimat. Kesalahan lokal adalah suatu kesalahan linguistis yang menyebabkan suatu bentuk ‘form’ atau struktur dalam sebuah kalimat tampak canggung, tetapi bagi seorang penutur yang mahir bahasa asing hampir tidak ada kesulitan untuk mengerti apa yang dimaksud dengan kalimat itu. Kesalahan lokal dapat juga kita katakan kesalahan yang disebabkan oleh penggunaan bahasa yang biasanya di daerah tertentu kemudian digunakan untuk berkomunikasi dengan orang dari daerah lain. Dan terakhir ada jenis kesalahan global, kesalahan global adalah kesalahan karena makna seluruh kalimat. Kesalahan jenis ini menyebabkan pendengar atau pembaca salah mengerti suatu pesan atau menganggap bahwa suatu kalimat tidak dapat dimengerti. Valdman (1989) mendefinisikan kesalahan global sebagai kesalahan komunikatif yang menyebabkan seorang penutur yang mahir dalam bahasa asing, salah tafsir terhadap pesan lisan atau yang tertulis.
            Terakhir pembahasan yang disajikan Henry Guntur Tarigan pada bagian dua mengenai analisis kesalahan kontrastif. Mengenai analisis kontrastif ini juga sudah dijelaskan pada bagian satu dalam bukunya Pateda. Dalam Tarigan akan dijelaskan lebih mendalam mengenai analisis kontrastif. Analisis kontrastif atau anakon adalah kegiatan memperbandingkan struktur B1 dan B2 untuk mengidentifikasi perbedaan kedua bahasa itu. Sebagai prosedur kerja, anakon mempunyai langkah-langkah yang harus dituruti seperti membandingkan struktur B1 dan B2, memprediksi kesulitan belajar dan kesalahan belajar, menyusun bahan pengajaran,. Dan mempersiapkan cara-cara menyampaikan bahan pengajaran.
Anakon memiliki dua hipotesis. Hipotesis pertama disebut hipotesis bentuk kuat dan hipotesis kedua ada hipotesis bentuk lemah. Hipotesis bentuk kuat menyatakan bahwa kesalahan dalam B2 dapat diperkirakan dari hasil identifikasi perbedaan B1 dan B2 yang dipelajari oleh siswa. Hipotesis bentuk lemah menyatakan bahwa anakon hanyalah bersifat bersifat diagnostik belaka, karena itu anakon dan anakes harus saling melengkapi. Anakon muncul sebagai suatu suara untuk menanggulangi permasalahan yang ada dalam pengajaran B2. Anakon memberikan jawaban bagaimana cara mengajarkan  B2 yang paling efesien dan efektif. Pertama; membandingkan B1 siswa dengan B2 yang akan dipelajarinya. Perbandingan ini dapat melakukan perbedaan B1 dan B2. Berdasarkan perbedaan kedua bahasa tersebut maka diperkirakanlah kesulitan belajar dan kesalahan berbahasa yang akan dihadapi dan diperbuat oleh para siswa. Kemudian disusunlah bahan pengajaran dan tata bahasa pedagogis yang relevan dengan perkiraan yang sesuai dan sejalan dengan langkah pertama dan kedua. langkah berikutnya adalah mencari cara penyampaian materi pelajaran yang sesuai dengan bahan-bahan pengajaran yang telah disusun.



LAPORAN BAB III: ANALISIS KESALAHAN DALAM PENGAJARAN BAHASA
3.1 Kesalahan Berbahasa Pada Tataran Fonologi
            Bab III pada bukunya Nanik Setyawati membahas mengenai kesalahan berbahasa pada tataran fonologi. Kesalahan berbahasa Indonesia dalam tataran fonologi dapat terjadi baik penggunaan bahasa secara lisan maupun secara tertulis. Sebagaian besar kesalahan berbahasa Indonesia dalam tataran fonologi berkaitan dengan pelafalan. Berikut akan disampaikan beberapa kesalahan pelafalan yang meliputi: (a) perubahan fonem, (b) penghilangan fonem, dan (c) penambahan fonem.
Terdapat banyak contoh kesalahan pelafalan karena pelafalan fonem-fonem tertentu berubah atau tidak diucapkan sesuai kaidah. Salah satu diantaranya adalah;
1.  Perubahan Fonem Vokal (Fonem /a/ dilafalkan menjadi /ȇ/
Misal:
Lafal Baku                  Lafal Tidak Baku
Akta                             Akt ȇ
Dapat                           Dap ȇt
Kamis                          K ȇmis
Masjid                          M ȇsjid
Pedas                           P ȇd ȇs
2.  Perubahan Fonem Konsonan (Fonen /b/ dilafalkan menjadi /p/
Misal:
Lafal Baku                  Lafal Tidak Baku
Mujarab                       Mujarap
Nasib                           Nasip
Rajab                           Rajap
Sabtu                           Saptu
Wajib                           Wajip
A. Perubahan Pelafalan Kata atau Singkatan
            Kadang-kadang kita merasa ragu-ragu melafalkan kata atau singkatan dalam bahasa Indonesia. Keraguan itu mungkin disebabkan oleh pengaruh lafal bahasa daerah atau lafal bahasa asing. Padahal, semua kata atau singkatan yang terdapat dalam bahasa Indonesia (termasuk singkatan yang berasal dari bahasa asing) harus dilafalkan secara lafal Indonesia.
Contoh:
Singkatan                    Lafal Baku                  Lafal Tidak Baku
a.n                               Atas nama                    a en
Bpk                              Bapak                          be pe ka
Dst.                              Dan seterusnya            de es te
Sdr.                              Saudara                        es de er
            Ada ketentuan khusus, bahwa singkatan bahasa asing yang berbentuk akronim (singkatan yang dieja seperti kata) dan bersifat internasional tidak dilafalkan seperti lafal Indonesia, tetapi singkatan itu tetap dilafalkan seperti lafal aslinya. Misal:
Kata                            Lafal Baku                  Lafal Tidak Baku
UNESCO                     yu nes ko                     u nes tjo
UNICEF                       yu ni syef                    u ni tjef
SEA GAMES               si ge  yms                     se a ga mes
B. Kesalahan Pelafalan karena Penghilangan Fonem
            Pemakai bahasa sering menghilangkan bunyi tertentu pada sebuah kata, yang mengakibatkan justru pelafalan tersebut menjadi salah atau tidak benar. Perhatikan beberapa contoh berikut ini.
a.    Penghilangan Fonem Vokal (penghilangan fonem /e/
Misal:

Lafal Baku                  Lafal Tidak Baku
Jenderal                       Jendral
Majelis                         Majlis
Marsekal                      Marskal
Sutera                          Sutra
Terampil                      trampil

b.    Penghilangan Fonem Konsonan (Penghilangan fonem /k/)
Misal:

Lafal Baku                  Lafal Tidak Baku
Takbir                          tabir
Teknisi                         tenisi

C. Kesalahan Pelafalan karena Penambahan Fonem
            Terdapat pula kesalahan pelafalan dikarenakan pemakai bahasa tersebut menambahkan fonem tertentu pada kata-kata yang diucapkan. Contoh kesalahan pada bagian ini antara lain.
a)    Penambahan Fonem Vokal (Penambahan fonem /a/)
Misal:
Lafal Baku                  Lafal Tidak Baku
Narkotik                      Narkotika
Narwastu                     Narawastu
Rohaniwan                  Rohaniawan

b)   Penambahan Fonem konsonan (Penambahan fonem /d/)
Misal:
Lafal Baku                  Lafal Tidak Baku
Stan                             stand
Standar                        standard
3.2 Kepaduan dan Ketepatan Makna
kepaduan artinya keadaan padu, kesatuan pikiran, kebulatan. Menurut KBBI (2007) yang dimaksud kepadua adalah adanya hubungan makna antara satu unsur kalimat dengan unsur kalimat lain. Kepaduan ini dapat disejajarkan dengan koherensi dalam paragraf. Sementara itu yang dimakud kepaduan antara kalimat adalah kesatuan anatar kalimat yang satu dengan unsur kalimat yang lain. Unsur-unsur yang dimaksud adalah subjek, predikat, objek, atau pelengkap dan unsur keterangan. Ada beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan supaya pemakai bahasa dapat menyusun kalimat yang padu. Antara lain:
a.       Tidak meletakkan keterangan yang berupa klausa diantara S (subjek) dan P (predikat)
b.      Tidak meletakkan keterangan aspek di depan S
c.       Tidak menerapkan/menempatkan keterangan aspek di anatara pelaku dan pokok kata kerja yang merupakan kata kerja pasif bentuk diri
d.      Tidak menyisipkan kata depan diantara P dan O

Kalimat efektif adalah kalimat yang maknanya. Ketepatan makna, disamping ditentukan oleh ketepatan letak unsur-unsur kalimat yang akan memantapkan makna , bisa juga ditentukan oleh ketiadaan kata yang mubazir (kalimat hemat). Kalimat hemat merupakan kalimat yang tidak menggunakan kata-kata yang mubazir atau kalimat tidak mengandung unsur-unsur yang telah diperlukan. Untuk menyusun kalimat hemat ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain: Menghindari penggunaan kata depan yang tidak perlu dan menghindari penggunaan kata yang jamak jika sudah ada redupulikasi yang bermakna jamak atau ada kata lain yang bermakna jamak.
3.3 Daerah dan Sifat Kesalahan
Kesalahan fonologi berhubungan dengan pelafalan dan penulisan bunyi bahasa. dahulu dalam bahasa Indonesia dikenal fonem (V), sehingga kata Vak dilafalkan Pak . padahal makna kata Vak berbeda dengan makna kata Pak. Selanjutnya kesalahan pada bidang morfologi berhubungan dengan tata bentuk. Dalam bahasa indonesia kesalahan pada bidang morfologi akan menyangkut derivasi, diksi, kontaminasi, dan pleonasme, ini semua berhubungan pula dengan suku kata. Selanjutnya kesalahan pada daerah sintaksis berhubungan erat dengan kesalahan pada daerah morfologis, karena kalimat berunsurkan kata-kata, itu sebabnya daerah kesalahan sintaksis berhubungan, misalnya kalimat yang tidak jelas, diksi yang tidak tepat, kalimat yang ambigu, kalimat yang tidak jelas, koherensi, kalimat mubazir dan kata serapan yang digunakan di dalam kalimat dan logika kalimat. Lyons dalam bukunya Pateda mengatakan bahwa semantik adalah studi tentang makna. Berbicara tentang makna, kita berhadapan dengan bidang yang membingungkan. Misalnya kalimat “pemuda merampok di rumah dokter” sepintas lalu kita mengerti urutan yang membentuk kalimat itu, tetapi kemudian timbul pertanyaan: siapakah pemuda itu?, kapan ia merampok? Dan bagaimana caranya merampok? Dan sebagainya. Untuk mengukur apakah seaseorang memahami makna suiatu kata diperlukan penanda indikator. Patede mengemukakan indikator yang dapat digunakan, yakni:
1.      Dapat menjelaskan makna yang dimaksud pembicara atau penulis.
2.      Dapat berbuat atau tidak berbuat apa yang dikatakan oleh pembicara atau penulis
3.      Dapat menggunakan kata-kata dalam kalimat sesuai dengan makna dan fungsinya.
4.      Dapat menyebutkan sinonim dan antonim jika memiliki keduanya.
5.      Dapat mereaksi dalam wujud gerakan motoris dan afektif apabila mendengarkan kata yang menjengkelkan atau mengharukan.

4.4 Teori Analisis Kesalahan
            Kesalahan yang sering dibuat oleh siswa harus dikurangi bdan kalu dapat dihapuskan sama sekali. Hal ini baru dapat tercapai kalau seluk-beluk kesalahan itu dikaji secara mendalam. Pengkajian segala aspek kesalahan itu disebut analisis kesalahan. Tujuan analisis kesalahan adalah untuk:
a.       Menentukan jenjang bahan ajaran
b.      Menentukan urutan jenjang penekanan bahan ajaran’
c.       Merencanakan latihan dan pengajaran remedial
d.      Memilih butir pengujian kemahiran siswa.

LAPORAN BAB IV: ANALISIS KESALAHAN DALAM PENGAJARAN BAHASA
4.1 Kesalahan Berbahasa Tataran Morfologi
            Bab IV dalam bukunya Nanik Setyawati membahasa mengenai kesalahan berbahasa pada tataran morfologi.  Baik ragam tulis maupun ragam lisan dapat terjadi kesalahan berbahasa dalam pembentukan kata atau tataran morfologi. Kesalahan berbahasa pada tataran morfologi ini disebabkan oleh berbagai hal. Klasifikasi kesalahan berbahasa dalam tataran morfologi antara lain: a) penghilangan afiks, b) bunyi yang seharusnya luluh tetapi tidak diluluhkan, c) peluluhan bunyi yang seharusnya tidak luluh, d) penggantian morf, e) penyingkatan morf, mem-, men-, meng-, meny-, dan menge-, f) pemakaian afiks yang tidak tepat, h) penempatan afiks yang tidak tepat pada gabungan kata, dan i) pengulangan kata majemuk tidak tepat. Berikut ini akan dipaparkan wujud kesalahan tersebut;
A.  Penghilangan Afiks
·      Penghilangan Prefiks meng-

Bentuk Tidak Baku
1)      Bunga mawar dan bunga matahari pamerkan keelokan mahkota mereka
2)      Kau katakan juga hal ini kepada Tuan Bahtiar?

Kalimat di atas termasuk kalimat aktif transitif. Sesuai dengan kaidah, dalam kalimat aktif transitif predikat kalimat harus berprefiks meng- atau dengan kata lain mengeksplisitkan prefiks meng-. Dengan demikian perbaikan kalimat di atas sebagai berikut:

Bentuk Baku
1a) Bunga mawar dan bunga matahari memamerkan keelokan mahkota mereka
2a) Kau mengatakan juga hal ini kepada Tuan Bahtiar?

B.  Bunyi yang Seharusnya Luluh Tidak Diluluhkan
Sering kita jumpai kata dasar yang berfonem awal /k/, /p/, /s/, atau /t/ tidak luluh jika mendapat prefiks meng- atau peng-. Pemakaian yang seperti itu dapat kita perhatikan pada contoh berikut.

Bentuk Tidak Baku
1)      Kita harus ikut serta mensukseskan Pilkada bulan April 2010
2)      Beberapa mahasiswa diberi sanksi karena tidak mentaati peraturan kampus
Sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, kata yang bercetak miring pada keempat kalimat di atas, seharusnya fonem awalnya luluh menjadi bunyi nasal atau bunyi sengau. Yaitu /s/ menjadi /ny/, /t/ menjadi /n/, /k/ menjadi /ng/, dan /p/ menjadi /m/. Kita lihat perbaikannya berikut ini:
Bentuk Baku
1b) Kita harus ikut serta menyukseskan Pilkada bulan April 2010
2b) beberapa mahasiswa diberi sanksi karena tidak menaati peraturan kampus.

C.  Peluluhan Bunyi yang Seharusnya Tidak Luluh
·      Peluluhan Bunyi /c/ yang Tidak Tepat
Kata dasar yang berfonem awal bunyi /c/ sering kita lihat menjadi luluh jika prefiks meng- . perhatikan kalimat berikut:

Bentuk Tidak Baku
11). Rama sudah lama menyintai Shinta

Berdasarkan kaidah pembentukan kata, jika prefiks meng- melekat pada kata dasar yang berfonem awal /c/, maka alomorf prefiks meng- adalah prefiks ­men- bukan meny-. Pululuhan bunyi /c/ itu kemungkinan disebabkan adanya pengaruh dari bahasa daerah. Karena yang benar adalah (11a). Rama sudah lama mencintai Shinta.

 Penggantian Morf
·         Morf menge- Tergantikan Morf Lain
            Perhatikan bentuk-bentuk yang salah sebagai berikut ini.
Bentuk Tidak Baku
(20) Tukang-tukang itu sudah hampir dua minggu mencat rumahku, tetapi sampai sekarang belum selesai juga.
           
            Kata yang bercetak miring pada kalimat di atas berasal dari kata dasar bersuku satu atau eka suku. Prefiks meng- akan beralomorf menjadi menge- jika prefiks tersebut melekat pada kata dasar bersuku satu. Kalimat yang benarnya adalah: (20a) tukang-tukang itu sudah hampir dua minggu mengecat rumahku, tetapi sampai sekarang belum selesai juga.

·         Morf be- Tergantikan Morf lain
Kesalahan berbahasa dalam pembentukan kata dapat kita amati pula pada pemakaian morf be- yang tergantikan morf ber- berikut ini.

Bentuk Tidak Baku
(23) Bintang-bintang yang berkelip di langit membuat malam semakin indah.
 Pemakaian kata berkelip pada kalimat (23) di atas termasuk bentukan yang salah. Berturut-turut proses pembentukan kata-kata itu adalah ber+ kerlip. Sesuai kaidah pembentukan kata, prefiks ber- jika melekat pada kata dasar berfonem awal /r/ dan melekat pada kata dasar yang suku kata pertamanya berakhir dengan atau mengandung unsur (er) akan beralomorf menjadi be-. Jadi bentukan yang benar adalah bekerlip.

Penyingkatan Morf mem-, men-, meng-, meny-, dan menge-
            Prefiks meng- adalah salah satu morfem terikat pembentuk verba yang produktif dalam bahasa Indonesia. Alomorf prefiks ­meng- adalah me-, mem-, men-, meng-, meny-, dan menge-. karena pengaruh bahasa daerah, pemakai bahasa sering menyingkat morf mem-, men-, meng-, meny-, menjadi m-, n-, ng-, ny-, dan nge-. Penyingkatan tersebut sebenarnya adalah ragam lisan yang dipakai dalam ragam tulis. Pencampuradukan ragam lisan dan ragam tulis menghasilkan pemakaian bentuk kata yang salah.

4.2 Sumber dan Penyebab Kesalahan
            Sumber dan penyebab kesalahan banyak, tetapi yang terpenting datangnya dari bahasa ibu, lingkungan, kebiasaan, interlingual, interferensi. Pendapat populer menyebutkan kesalahan bersumber pada ketidak hati-hatian si terdidik dan yang lain karena pengetahuan mereka terhadap bahasa yang dipelajari, dan interferensi. Norrish (Pateda, 1989:67) berpendapat bahwa kesalahan bersumber pada:
a.       Pemilihan bahasa
b.      Pengajaran
c.       Contoh bahasa yang digunakan sebagai bahan
d.      Si terdidik

4.3 Kalimat Variasi
Keefektifan kalimat, selain dilihat dari segi gramatikal, keselarasan, kepaduan, dan kehematan juga dilihat dari kevariasiaan. Kevariasian memang tidak langsung berdampak pada kesalahan, tetapi lebih berdampak pada ketepatan, gaya, atau keindahan. Soedjito (Markhamah, 2009: 67-68), membedakan variasi berdasarkan urutan dan jenis kalimat. Yang dimaksud variasi urutan adalah urutan unsur-unsur fungsi yang berbeda urutan yang dimaksud adalah urutan biasa dan urutan inversi. Adapun variasi berdasarkan jenis kalimat dibedakan menjadi dua, pertama variasi antaraktif dan pasif disebut variasi aktif-pasif. Kedua variasi antara kalimat berita dengan kalimat perintah dan kalimat tanya.

4.4 Antara Bahasa atau Interlanguage
Istilah antarbahasa bersinonim dengan dialek idiosinkronik dan sistem aproksimatif tetapi antarbahasa lebih mapam dan lebih luas terpakai karena istilah itu:
a.       Lebih netral
b.      Mencakup status yang tidak menentukan dari sistem sang pembelajar (antara bahasa aslinya dan bahasa sasaran)
c.       Menggambarkan kecepatan yang tidak normal yang dapat bertindak sebagai sarana pengubah bahasa pembelajar
d.      Secara eksplisit mengakui dan menghargai hakikat performansi pembelajar yang sistematis
Istilah antarbahasa mengacu pada kepada:
a)         Seperangkat sistem yang saling berpautan yang memberi ciri kepada pemerolehan
b)        Sistem yang dapat diawasi/dapat diobservasi pada perkembangan
c)         Kombinasi bahasa ibu/bahasa sasaran tertentu.
Telaah antar bahasa bertujuan untuk :
a)         Memberikan informasi perilaku pembelajar bagi perencanaan strategi pedagogik
b)        Bertindak sebagai prasyarat bagi validasi tuntutan keras dan tuntutan lemah terhadap pendekatan kontrastif
c)         Mencari hubungan antara pembelajaran masa kini, dulu dan nanti
d)        Memberi sumbangan bagi teori linguistik umum.

BAB V
5.1 Kesalahan Struktur
            Pada bagian V dalam bukunya (Markhamah, dkk, 2009) akan dibahas mengenai kesalahan yang berhubungan dengan ketaksaan yang berhubungan dengan struktur. Kesalahan struktur tersebut diantaranya dipicu oleh kesalahan struktur karena kerancuan aktif-pasif, kesalahan struktur karena subjek dan keterangan, kesalahan struktur karena pengantar kalimat, kesalahan struktur karena penghubung terbagi yang kurang tepat, dan kesalahan struktur karena ketiadaan induk kalimat.
a.    Kesalahan Struktur karena Kerancuan Aktif-Pasif
Kalimat aktif adalah kalimat yang predikatnya verba berimbuhan meN- dengan segala kombinasinya dan subjek tidak diawali kata depan. Sedangkan kalimat pasif adalah kalimat yang predikatnya verba berimbuhan di- atau ter- atau verba pasif pelaku orang I/II+pokok kata kerja. Yang dimaksud kalimat rancu adalah kalimat yang sebagian unsurnya milik kalimat aktif, sementara unsur lainnya milik kalimat pasif. Kalimat seperti di bawah ini menimbulkan kataksaan/kemenduaan makna.

(1)   Saya telah informasikan bahwa hari ini kita akan mengunjungi para korban bencana.

Kalimat (1) strukturnya rancu yang mengakibatkan maknanya ganda. Makna unsur yang merupakan subjek, bahwa hari ini kita akan mengunjungi para korban bencana ataukah saya.jika bahwa hari ini kita akan mengunjungi para korban bencana sebagai pengisi fungsi S, predikatnya seharusnya verba pasif telah saya informasikan (perhatikan kalimat (1a). Sebaliknya, jika S-nya saya, predikatnya verba aktif menginformasikan. Dengan begitu, bahwa hari ini kita akan mengunjungi para korban bencana mengisi fungsi objek (O).

b.    Kesalahan Struktur karena Subjek dan Keterangan
Sering terjadi seorang pemakai bahasa tidak menyadari bahwa dirinya telah mencampurkan komponen lain (misalnya keterangan) pada subjek. Misalnya orang yang memulai mengucapkan kalimat dengan keterangan yang panjang. Tidak disadari oleh penutur/penulis bahwa komponen yang dianggapnya subjek ternyata merupakan keterangan. Hal seperti inilah yang terjadi dalam pemakaian bahasa yang kurang cermat.
(11) Dalam seminar pengajaran bahasa sebulan yang lalu tidak memutuskan tempat penyelenggaraan seminar pada tahun yang akan datang
Kalimat (11) termasuk kalimat yang tidak benar karena subjeknya berketerangan. Dimaksud subjek berketerangan di sini di dalam subjek terdapat komponen keterangan. Tentu saja komponen keterangan ini mengaburkan subjek. Ada dua cara untuk memperbaiki kalimat yang demikian. Pertama, komponen keterangan dihilangkan sehingga muncul subjek. Kedua, komponen keterangan tetap dipertahankan, namun predikat verba aktif diganti dengan predikat verba pasif. Perhatikan kalimat (11a) sebagai hasil dari penerapan cara yang pertama. Komponen keterangan, yakni dalam, dari dan di dilesapkan sehingga subjek tampak jelas.
(11a) Seminar pengajaran bahasa sebulan yang lalu tidak memutuskan tempat penyelenggaraan seminar pada tahun yang akan datang.
c.    Kesalahan Struktur karena Pengantar Kalimat
Seringkali kita membaca kalimat yang diawali oleh kata menurut, berdasarkan, sebagaimana, kita ketahui, seperti disebutkan di muka, seperti telah kami sampaikan sebelumnya, dan sejenisnya. Jika bagian kalimat itu kemudian diikuti oleh nomina pelaku orang pertama sering menimbulkan kataksaan antara ungkapan pengantar kalimat dengan predikat kalimat (Sugono, 2002). Misalnya, menurut petugas mitigasi bencana menyatakan... Penulis/penutur seringkali lupa bahwa subjek kalimat itu ada. Adanya kata menurut mengaburkan subjek.
d.   Kesalahan Struktur karena Penghubung Terbagi yang Kurang Tepat
Dalam kalimat sering ditemukan kalimat yang menggunakan penghubung yang berupa pasangan atau dua penghubung. Dua penghubung yang dimaksud, misalnya:

Meskipun...,tetapi...
Walaupun...,namun...
Biarpun...,akan tetapi...
Betapapun...,tapi...
(30) Meskipun kalian tidak ada pekerjaan rumah, tetapi kalian harus tetap belajar.

Dua informasi yang terdapat pada (30) itu tidak jelas hubungan maknanya. Apakah keduanya merupakan dua informasi yang setara kedudukannya, ataukah keduanya tidak sederajat. Hal ini disebabkan oleh hubungan antara dua klausa yang ada pada kalimat itu tidak jelas. Kalimat majemukkah kalimat (30) itu? Penggunaan penghubung meskipun dan tetapi menyebabkan hubungan antara kedua klausa itu tidak jelas. Jika hubungan kedua klausa itu setara, kata penghubung yang digunakan mestinya kata tetapi saja. Sebaliknya, jika kata penghubung meskipun yang digunakan, berarti hubungan kedua klausa dalam kalimat itu bertingkat. Jika kalimatnya bertingkat, kata penghubung tetapi tidak perlu digunakan.

e.         Kesalahan Struktur Karena Ketiadaan Induk Kalimat
Kalimat yang efektif (baik dan benar) strukturnya harus tepat. Ketepatan struktur berhubungan dengan ketepatan letak unsur-unsur kalimat yang berupa S, P, O, (Pel), K dan kelengkapannya. Dalam pemakaian bahasa sering ditemui kalimat yang panjang, tetapi unsur-unsurnya tidak lengkap. Misalnya, S kalimat tidak ada, atau P-nya tidak ada. Hal seperti itu terjadi apabila anak kalimat dan induk kalimat sama-sama didahului oleh kata penghubung atau konjungsi. Konjungsi yang sering mengaburkan mana anak kalimat cdan mana induk kalimat adalah konjung yang berupa pasangan, seperti:

karena ... maka ...
berhubung ..., maka ...
karena ..., sehingga ...
jika..., maka ...
(34) Karena nilai yang didapatkan lebih besar daripada yang diharapkan, maka Fitri terkejut.

            Kata karena pada kalimat (34) menyebabkan klausa pertama merupakan anak kalimat. Demikian juga kata maka. Kata maka pada klausa kedua pada kalimat (34) menempatkan klausa kedua juga sebagai anak kalimat. Jika kedua klausanya sebagai anak kalimat, berarti tidak ada induk kalimat pada kalimat (34). Supaya ada induk kalimat, salah satu kata penghubung ditanggalkan.

5.2 Kesalahan Berbahasa Tataran Sintaksis
            Pada bagian V di dalam bukunya (Nanik Setyawati, 2010) akan dibahasa mengenai kesalahan berbahasa pada tataran sintaksis. Kesalahan dalam tataran yang dijelaskan oleh di dalam bukunya Nanik Setyawati ini antara lain: kesalahan dalam frasa dan kesalahan dalam bidang kalimat. Kita ketahui bahwa klausa dapat berpotensi menjadi sebuah kalimat jika intonasinya final. Kesalahan dalam bidang klausa tidak dibicarakan tersendiri, tetapi sekaligus sudah melekat dalam kesalahan di bidang kalimat. Kesalahan berbahasa pada bidang frasa sering dijumpai dalam bahasa lisan maupun bahasa tertulis. Artinya kesalahan berbahasa dalam bidang frasa ini sering terjadi dalam kegiatan berbicara maupun kegiatan menulis. Kesalahan dalam bidang frasa dapat disebabkan oleh berbagai hal diantaranya: (a) adanya pengaruh bahasa daerah, (b) pengunaan preposisi yang tidak tepat, (c) kesalahan susunan kata, (d) penggunaan unsur yang berlebihan, (e) penggunaan bentuk superlatif yang berlebihan , (f) penjamakan yang ganda, dan (g) penggunaan bentuk resiprokal yang tidak tepat.
Sedangkan kesalahan pada kalimat antara lain; (a) kalimat tidak bersubjek, (b) kalimat tidak berpredikat, (c) kalimat tidak bersubjek dan tidak berpredikat (kalimat buntung) (d) Antara predikat dan objek yang tersisipi, (e) kalimat tidak logis), (f) kalimat yang ambiguitas, (g) penghilangan konjungsi, (h) penggunaan konjungsi yang berlebihan, (i) urutan yang tidak pararel, (j) penggunaan istilah asing, dan (k) penggunaan kata tanya yang tidak perlu.

5.3 Kesalahan Menyimak dan Berbicara
            Pada bagian V dalam bukunya Mansoer Pateda (1989) akan membahas mengenai kesalahan dalam menyimak dan berbicara. Yang pertama dibahas pada bagian ini ialah, peranan menyimak, pengertian menyimak, jenis menyimak, faktor yang mempengaruhi proses menyimak, keberhasilan menyimak dan kesalahan menyimak. Menyimak adalah proses mendengar dengan pemahaman dan pengertian, sedangkan mendengar adalah proses memperoleh rangsangan bunyi-bunyi bahasa yang belum tentu diikuti oleh proses pemahaman dan pengertian. Agar proses menyimak berhasil baik, perlu diperhatikan faktor-faktor yang turut mempengaruhi proses menyimak, yakni; (1) kejelasan pesan yang berasal dari pembicara, (2) bahasa yang digunakan, (3) alat yang didengar, (4) suasana kejiwaan pembicara dan penyimak dan (5) gangguan dari luar, misalnya kebisingan atau keributan.
            Kesalahan dalam menyimak harus dilihat dari proses kognitif, karena telah dijelaskan sebelumnya bahwa menyimak adalah proses kognitif. Kesalahan menyimak berkisar pada:
a.       Kesalahan mengidentifikasi bunyi-bunyi bahasa
Apabila si terdidik mendengar bunyi-bunyi bahasa asing baginya, si terdidik cenderung membuat kesalahan atau ia akan menyamakan bunyi-bunyi yang didengarnya itu dengan bunyi-bunyi yang agak mirip dalam bahasa ibunya. Kesalahan ini disebut kesalahan menyamakan.
Seperti juga menyimak, setiap hari manusia berbicara. Berbicara termasuk kedalam keterampilan berbahasa setelah menyimak. Berbicara berarti menggunakan bahasa lisan secara aktif. Penggunaan bahasa lisan secara aktif ini boleh saja berwujud perintah, pertanyaan, dorongan, harapan, permintaan, pengakuan, penjelasan, pidato, berbicara pada sidang-sidang, misalnya, konferensi pers, rapat, diskusi, seminar, panel, lokakarya, dan lain sebagainya. Berbicara adalah aktivitas manusia yang menggunakan bahasa secara lisan. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan berwujud bahasa lisan, maka yang penting adalah pelafalan dan kata-kata atau kalimat yang digunakan. Berdasarkan hal tersebut, kesalahan yang di dapat kalau si terdidik berbicara adalah (a) kesalahan melafalkan bunyi-bunyi bahasa, (b) kesalahan memilih kata-kata atau diksi, (c) penggunaan kalimat yang samar-samar, (d) pengungkapan pikiran yang tidak jelas (kacau) (e) struktur kalimat yang diucapkan dan (f) penggunaan kata-kata yang mubadzir (pemborosan kata).

5.4 Analisis Kesalahan Berbahasa
            Pada bagian V dalam Bukunya Henry Guntur Tarigan (1995) membahas mengenai persoalan dalam kesalahan berbahasa. Kesalahan merupakan sisi yang mempunyai cacat pada ujaran atau tulisan sang pelajar. Kesalahan tersebut merupakan bagian-bagian konversi atau komposisi yang menyimpang dari norma baku atau norma terpilih dari performasi bahasa orang dewasa. Istilah kesalahan yang dipergunakan dalam buku ini adalah padanan dari kata errors dalam bahasa Inggris. Kesalahan berbahasa atau language errors memang beranekaragam jenisnya. Ada pakar yang membedakan atas dua jenis, yaitu:
a.    Kesalahan yang disebabkan oleh faktor-faktor kelelahan, keletihan, dan kurangnya perhatian, yang oleh Chomsky (1965) disebut faktor performansi, kesalahan performansi ini merupakan kesalahan penampilan dalam beberapa kepustakaan disebut mistakes.
b.    Kesalahan yang diakibatkan kurangnya pengetahuan mengenai kaidah-kaidah bahasa, yang disebut oleh Chomsky (1965) sebagai faktor kompetensi, merupakan penyimpangan-penyimpangan sistematis yang disebabkan oleh pengetahuan pelajar yang sedang berkembang mengenai sistem B2 disebut errors.
 Ada pula pakar yang membuat kategorisasi kesalahan berbahasa, seperti berikut:
1.    Interference-like Goofs: kesalahan yang mencerminkan atau merefleksikan struktur bahasa ibu atau bahasa asli (native language) dan yang tidak terdapat pada kata data pemerolehan bahasa pertama (PB1) yang berasal dari bahasa sasaran.
2.    L1 Developmental Goofs: kesalahan yang tidak mencerminkan atau mereflesikan struktur bahasa ibu, tetapi terdapat pada data PB1 bahasa sasaran.
3.    Ambiguitas Goofs: kesalahan yang dapat dikategorikan sebagai interference-like goofs maupun sebagai L1 developmental goofs.
4.    Unique Goofs: kesalahan yang tidak merefleksikan bahasa pertama (B1) dan juga tidak terdapat pada data PB1 bahasa sasaran.
Ada beberapa taksonomi kesalahan berbahasa yang telah didasarkan pada butir linguistik yang dipengaruhi oleh kesalahan. Taksonomi-taksonomi kategori linguistik tersebutr diklasifikasikan kesalahan-kesalahan berbahasa berdasarkan komponen linguistik atau unsur linguistik tertentu yang dipengaruhi oleh kesalahan, ataupun berdasarkan kedua-duanya. Komponen-komponen dalam bahasa mencakup fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, leksikon, dan wacana. Pengklasifikasian atau taksonomi bagi kesalahan-kesalahan berbahasa ada empat yang penting dan perlu kita ketahui mengenai kesalahan berbahasa, yaitu: (i) taksonomi kategori linguistik, (ii) taksonomi siasat permukaan, (iii) taksonomi komparatif, dan (iiii) taksonomi efek komunikatif.

BAB VI

6.1 Kesalahan Berbahasa Tataran Semantik
            Pada bagian VI di dalam bukunya Nanik Setyawati (2010) dijelaskan bahwa kesalahan berbahasa dalam tataran semantik dapat berkaitan dengan bahasa tulis maupun bahasa lisan. Kesalahan berbahasa dalam tataran semantik ini penekanannya pada penyimpangan makna, baik yang berkaitan dengan fonologi, morfologi, maupun sintaksis. Jadi, jika sebuah bunyi, bentuk kata, ataupun kalimat yang maknanya menyimpang dari makna yang seharusnya, maka tergolong ke dalam kesalahan berbahasa ini. Banyak penyimpangan terjadi dalam penggunaan bahasa sehari-hari yang berkaitan dengan makna yang tidak tepat. Makna yang tidak tepat tersebut dapat berupa;
a)      Kesalahan penggunaan kata-kata mirip
Kata-kata yang betmiripan tersebut dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok, yakni (i) pasangan yang seasal, contoh: kurban dan korban; (ii) pasangan yang bersaing, contoh: kualitatif dan kwalitatif; dan (iii) pasangan yang terancukan, contoh; sah dan syah (Alwi, 1991: 21-22).
b)      Kesalahan pilihan kata atau diksi.
Penggunaan kata-kata yang saling menggantikan yang dipaksakan akan menimbulkan perubahan makna kalimat bahkan merusak struktur kalimat, jika tidak disesuiakan dengan makna atau maksud kalimat yang sebenarnya. Pilihan kata yang tidak tepat sering menggunakannya divariasikan secara bebas, sehingga menimbulkan kesalahan. Kalimat seperti tidak bermasala, jika hanya dicermati sekilas saja. Contoh: mantan dan bekas, busana dan baju, jam dan pukul, dan lain-lain. Kesalahan berbahasa dalam tataran semantik tersebut akan dibicarakan satu persatu berikut ini.

1.    Kesalahan karena Pasangan yang Sesuai
            Pasangan yang seasal adalah pasanfan kata yang memiliki bentuk asal yang sama dan maknanya pun berdekatan (Alwi, 1991:21). Dalam hal ini kita tidak menentukan bentuk mana yang benar, tetapi bentuk mana yang maknanya tepat untuk menyatakan gagasan kita. Dengan kata lain, masing-masing adalah bentuk yang benar. Kita dapat mengamati contoh berikut ini.
·      Penggunaan Kata Kurban dan Korban
Kata kurban dan korban sebenarnya berasal dari kata yang sama dari bahasa Arab, yaitu qurban. Kedua kata itu merupakan kata baku di dalam bahasa Indonesia. Dalam perkembangannya, qurban diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan penyesuaian ejaan dan dengan perkembangan makna yang berbeda. Akibat ketidakhati-hatiab pemakai bahasa, kedua kata tersebut sering dipertukarkan pemakaiannya. Contoh;

       Bentuk Tidak Baku
(1)   Danging korban itu akan dibagikan kepada yang berhak menerimanya.
(2)   Jumlah kurban tanah longsor yang tewas sudah bisa dipastikan

Pengertian pertama kata qurban adalah persembahan kepada Tuhan (seperti kambing, sapi, dan unta yang disembelih pada hari Lebaran haji) atau ‘pemberian untuk menyatakan kesetian atau kebaktian’; yang kemudian dieja menjadi kurban. Makna yang kedua adalah ‘orang atau binatang yang menderita atau mati yang dieja menjadi korban. Berdasarkan perbedaan makna tersebut, maka kita dapat memperbaiki kalimat (1) dan (2) menjadi kalimat berikut;

Bentuk Baku
(1a) Daging kurban itu akan dibagikan kepada yang berhak menerimanya.
(2a) Jumlah korban tanah longsor yang tewas sudah bisa dipastikan.

2.    Kesalahan karena Pasangan yang Terancukan
            Jenis lain kesalahan karena kemiripan adalah pasangan yang terancukan. Pasangan yang terancukan terjadi jika orang yang  tidak mengetahui secara pasti bentuk kata yang benar lalu terkacaukan oleh bentuk yang dianggapnya benar. Dalam hal ini kedua anggota pasangan itu memang bentuk yang benar, tetapi harus diperhatikan perbedaan maknanya. Akibatnya, kadang-kadang ditemukan penggunaan bentuk yang salah  marilah kita cermati contoh kesalahan pemakaian jenis ini;
·      Penggunaan Kata Sah dan Syah
Kata sah dan syah merupakan dua kata yang berbeda dari segi makna. Kemiripan bentuk dan lafal memang dimiliki kedua kata tersebut. tidak mengherankan jika pemakai bahasa yang tidak cermat, sering mengacaukan pemakainya. Perhatikan pamakaian berikut.

Bentuk Tidak Baku
(11) Sah Iran sudah pernah berkunjung ke Indonesia
(12) Dia sekarang sudah Syah menjadi suami saya.

Kata sah dan syah merupakan contoh pasangan yang terancukan. Makna kedua kata itu jelas berbeda. Sah berarti ‘sudah sesuai hukum’; sedangkan syah berarti ‘raja’. Kesalahan pada kedua kalimat di atas dapat diperbaiki menjadi:

Bentuk Baku
(11a) Syah Iran sudah pernah berkunjung ke Indonesia
(12a) Dia sekarang telah sah menjadi suami saya



3.    Kesalahan karena Pilihan Kata yang Tidak Tepat
            Ada dua istilah yang berkaitan dengan masalah subjudul ini, yaitu pemilihan kata dan pilihan kata. Pemilihan kata adalah proses atau tindakan memilih kata yang dapat mengungkapkan gagasan secara tepat, sedangkan pilihan kata adalah hasil proses atau tindakan tersebut. ketepatan makna dan kelaziman pemakaian kata perlu diperhatikan ketika memilih kata. Dalam kegiatan berbahasa, pilihan kata merupakan aspek yang sangat penting karena pilihan kata yang tidak tepat selain menyebabkan ketidakefektifan bahasa yang digunakan, juga dapat mengganggu kejelsan informasi yang disampaikan. Kesalahpahaman informasi dan rusaknya situasi komunikasi juga tidak jarang disebabkan oleh penggunaan pilihan kata yang tidak tepat.
            Seorang pembicara atau penulis akan memilih kata yang “terbaik” untuk mengungkapkan pesan yang akan disampaikannya. Pilihan kata yang “terbaik” adalah yang memenuhi syarat antara lain: (1) ketepatan, (2) kebenaran, dan (3) kelaziman. Kata yang tepat adalah kata yang mempunyai makna yang dapat mengungkapkan atau sesuai dengan gagasan pemakai bahasa. kata yang benar adalah kata yang diucapkan atau ditulis sesuai dengan bentuk yang benar (baik bentuk dasar maupun bentuk jadian). Kata yang lazim adalah kata yang biasa digunakan untuk mengungkapkan gagasan tertentu.

6.2 Kesantunan Sosiolinguistik dalam Teks Keagamaan
Pada bagian VI di dalam bukunya Markhamah (2009) membahas mengenai kesantunan sosiolinguistik dalam teks keagamaan. Kata santun berarti: 1) halus dan baik, 2) pwnuh rasa belas kasihan, suka menolong (Tim Penyusun KBBI, 2002:997). Sopan adalah: 1) hormat dan takzim (akan, kepada) tertib menurut adat yang baik, 2) beradab tentang tingkah laku, tutur kata, pakaian, dsb. 3) baik kelakuannya (tidak lacur, tidak cabul’(Tim Penyusun, KBBI, 2002:1084). Dalam Islam santun adalah bagian dari akhlak\. Akhlak adalah suatu keadaan yang melekat pada jiwa manusia yang dari keadaan lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa melalui pemikiran, pertimbangan, atau penelitian.
Berdasarkan analisis yang dilakukan peneliti, dalam teks keagamaan, khusunya terjemahan Quran yang mengandung etika berbahasa terdapat bermacam-macam kesantunan sosiolinguistik. Kesantunan yang dimaksud adalah merendahkan diri sendiri, menanyakan secara lebih rinci pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan sebagai bentuk penolakan terhadap perintah, menggunakan sindiran untuk meminang secara halus, menucapkan salam dan menjawab salam, menggunakan eufimisme, mengucapkan ‘hiththah’ sambil, membungkukan badan, menggunakan panggilan kehormatan, dan mengucapkan kata-kata baik. selain itu, kesantunan berbicara juga ditempuh dengan cara berbicara dengan sabar dan berbicara dengan suara lunak, kesantunan lainnya adalah mengucapkan kalimat doa, menyelamatkan muka mitra bicara, memberi keputusan dengan adil, mematuhi perintah dan panggilan.

6.3 Kesalahan Membaca dan Menulis
            Pada bagian VI di dalam bukunya Mansoer Pateda membahas mengenai kesalahan membaca dan menulis dikehidupan sehari-hari yang dilakukan oleh pengguna bahasa terutama oleh guru dan murid dalam melaksanakan proses pembelajaran. Pembahasan pertama dimulai dari pengertian membaca, proses membaca, motivasi membaca, model membaca dan kesalahan membaca. Selanjutnya pembahasan mengenai menulis dimulai dari pengertian menulis, motivasi menulis, tahap menulis, tipe tulisan, unsur-unsur tulisan, dan kesalahan menulis.

A.  Membaca
Secara umum orang mengatakan bahwa membaca adalah suatu interpretasi simbol-simbol tertulis atau membaca adalah menangkap makna rangkaian huruf tertentu. ini menunjukkan bahwa membaca adalah pekerjaan mengidentifikasi simbol-simbol dan mengasosiasikannya dengan makna, atau dengan kata lain membaca adalah proses mengidentifikasi dan komprehensi. Yap (1978: 110) menggambarkan proses membaca untuk tingkat dasar sebagai berikut:
·         Graphic input + aural input –recordingà oral reading – decodingà meaning

Pada tingkat selanjutnya, proses terlihat sebagai berikut:

·         Graphic input –decodingà meaning

Dechant dan Henry P. Smith (1977) berpendapat, ada tiga faktor utama yang mendorong orang untuk membaca, yakni fisiologis, psikologis, dan kebiasaan. Faktor fisiologis mengacu kepada kebutuhan, membaca adalah suatu kebutuhan, sudah seperti kebutuhan untuk makan atau berpakaian. Faktor psikologis mengacu kepada keinginan untuk mengetahui, mengembangkan pengetahuan atau mencari informasi. Faktor psikologis yang mendorong manusia mengayakan kebutuhan mentalnya. Ia terdorong untuk membaca bukan karena dorongan dari luar, tetapi sudah merupakan dorongan batin agar ia beroleh kemajuan. Akhirnya faktor kebiasaan mengacu kepada dorongan untuk bersantai-santai saja, menghabiskan waktu atau untuk rekreasi. Terdapat beberapa model membaca yang perlu kita ketahui, yakni model taksonomik, psikokometrik, psikologi, model proses informasi, dan model linguistik. Untuk memperoleh hasil ketika kita membaca, perlu menerapkan metode membaca yang efektif. Robinson (Yap, 1978:114) mengusulkan metode SQ3R, yakni Survey, Question, Read, Recall, dan Review. Dan ahli lainnya mengusulkan metode GPID, yakni; Goals, Plans, Implementation dan Development.
Wahidji dkk (1985) mengatakan bahwa kesalahan membaca murid kelas VI SD di daerah Gorontalo, Sulawesi Utara adalah:
a.       Lafal yang sangat dipengaruhi oleh lafal dalam bahasa ibu
b.      Salah membaca kelompok kata
c.       Penggunaan unsur suprasegmental yang tidak tepat, dan
d.      Pungtuasi belum dikuasai.

Langan (1985) mengatakan di dalam tulisan, setiap ide yang dikemukakan harus didikung oleh alasan yang cukup. Dengan kata lain menulis adalah pengalihan bahasa lisan ke dalam bentuk tulisan. Orang menulis didorong oleh beberapa faktor, yakni; keharusan, promosi, kemanusiaan, mengharapkan sesuatu, pengembangan ilmu, kesusastraan, mengadu-domba dan pemberitahuan. Tahap-tahap dalam menulis diantaranya; mencontoh, reproduksi, rekomendasi/transformasi, menulis terpimpin, dan menulis bebas. Billows (1961) menyebutkan tipe-tipe tulisan, diantaranya; laporan, timbangan, iklan dan publikasi, artikel, surat dan tulisan kreatif. Kesalahan yang sering ditemukan dalam menulis yakni, ejaan, bentuk kata, tata kalimat dan paragraf.

BAB VII

7.1 Kesalahan Berbahasa Tataran Wacana
Menurut Tarigan dalam (Setyawati, 2010: 145) mengemukakan bahwa wacana merupakan satuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan kogerensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir nyata disampaikan secara lisan dan tertulis. Ruang lingkup kesalahan dalam tataran wacana dapat meliputi:
a)      Kesalahan dalam Kohesi
1.      Kesalahan Penggunaan Pengacuan
Wacana Tidak Baku
(1)   Rombongan darmawisata itu mula-mula mendatangi Pulau Madura. Setelah itu dia melanjutkan perjalanan ke Pulau Bali

Wacana di atas salah dalam menggunakan pengacuan. Penggunaan pengacuan yang tepat dalam wacana (1) bukan dia tapi mereka.

2.       Kesalahan Penggunaan Penyulihan
Wacana Tidak Baku
(2)   Ibrahim sekarang sudah berhasil mendapat gelar Sarjana Pendidikan. Derajat kesarjanaannya itu akan digunakan untuk mengabdi kepada nusa dan bangsa.

Penggunaan kata-kata penyulihan yang tercetak miring dalam wacana di atas tidak tepat. Penyulihan wacana yang tepat untuk wacana (3) adalah titel;

3.      Kekurangefektifan Wacana karena Tidak Ada Pelesapan

Wacana Kurang Efektif
(3)   Sudah seminggu ini Rohmah sering ke rumahku. Rohmah kadang-kadang mengantar jajanan dan berbincang denganku. Dia belum pernah berbincang denganku tentang cinta. Entah mengapa, aku pun enggan mengiring perbincangan kami ke arah sana.

Kata yang tercetak miring dalam wacana di atas merupakan penggunaan yang kurang efektif. Untuk keefektivitasan kalimat, ekonomis dalam penggunaan bahasa, dan mencapai aspek kepaduan wacana, maka sebaiknya kata-kata yang bercetak miring tersebut dilesapkan.


4.      Keasalahan Penggunaan Konjungsi
Wacana Tidak Baku
(4)   Badannya terasa kurang enak, dan dia masuk ke kantor juga meskipun banyak tugas yang harus diselesaikan dengan segera. Masuk dan tidak masuk kantor, pekerjaan harus selesai untuk bulan depan akan diadakan serah terima jabatan. Karena yang digantikan dan pengganti harus dipertemukan pada saat itu.

Jika kita cermati dengan seksama, akan kita temukan kesalahan dalam penggunaan konjungsi dalam wacana tersebut. tepatnya pada kata-kata yang dicetak miring. Akan lebih tepat jika kongjungsi-konjungsi dalam kedua wacana di atas diganti seperti dalam wacana di bawah ini;

(4a) Badannya terasa kurang enak, tetapi dia masuk kantor juga karena banyak tugas yang harus diselesaikan dengan segera. Masuk atau tidak masuk kantor, pekerjaan harus selesai sebab bulan depan akan diadakan serah terima jabatan. Baik yang digantikan maupun pengganti harus dipertemukan pada saat itu.

b)      Kesalahan dalam Koherensi
Perhatikan contoh berikut.
Wacana Tidak Koherens
(1)   Aku diam.

7.2 Kesantunan Linguistik Dalam Terjemahan Al-Quran
Kesantunan berbahasa sebenarnya merupakan cara yang ditempuh oleh penutur di dalam berkomunikasi agar petutur tidak merasa tertekan, tersudut, atau tersinggung. Menurut Brown dan Levinson (1987), kesantunan berbahasa ini dimaknai sebagai usaha penutur untuk menjaga harga diri, atau wajah, pembicara maupun pendengar. Secara linguistik kesantunan berbahasa diketahui dari hal-hal berikut: pilihan kata, pemakaian jenis kalimat. Pertama, dalam bahasa Indonesia terdapat kata-kata yang menunjukkan adanya kesantunan tinggi, sedang dan rendah. Untuk menunjukkan kesantunan tinggi penutur sebaiknya memilih kata-kata yang memiliki makna kesantunan tinggi. Demikian juga sebaliknya, untuk menunjukkan kesantunan sedang atau rendah penutur bisa memilih kata-kata yang menunjukkan kesantunan sesuai. Kedua, jenis kalimat pada umumnya memang menunjukkan referensi atau makna yang sesuai. Namun demikian, tidak selamanya seperti itu. Ketiga, pemakaian kalimat pasif untuk menghindari perintah secara langsung. Selanjutnya, kesantunan berbahasa dalam penelitian ini juga mengacu pada kesantunan linguistik tuturan imperatif dan kesantunan pragmatik imperatif. Menurut Rahardi dalam (Markhamah, 2009: 156), ada empat faktor penentu kesantunan linguistik tuturan imperatif bahasa Indonesia, yaitu (1) panjang-pendek tuturan, (2) urutan tutur, (3) intonasi tuturan dan isyarat-isyarat kinesik, dan (4) pemakaian ungkapan penanda kesantunan.
·         Kesantunan Linguistik dalam Terjemahan Al-Quran
Kesantunan linguistik yang terdapat pada teks terjemahan Al-Quran berupa; konstruksi deklaratif, konstruksi imperatif, konstruksi interogatif, konstruksi pengandaian, dan kontruksi langsung. Terdapat tiga kontruksi yang dominan dalam terjemahan Al-Quran, yaitu konstruksi deklaratif, konstruksi imperatif, konstruksi interogatif. Dari ketiga jenis jenis konstruksi itu sebagian besar konstruktif imperatif (29 data). Disusul berikutnya konstruksi deklaratif (20 data) dan interogatif (8 data). Dari ketiga kontruksi itu sebagian besar bermakna perintah dan larangan. Dengan memperhatikan banyaknya perintah dan larangan ini dapat dipahami karena Al-Quran adalah petunjuk dari Allah SWT. (sebagai pemberi perintah) kepada manusia (sebagai pihak yang diperintah/dilarang/ diajak).
1.      Konstruksi Deklaratif
Konstruksi deklaratif yang mengandung kesantunan linguistik adalah konstruksi deklaratif yang sebenarnya bermakna perintah, larangan, peringatan,. Ajakan, atau sindiran.
Contoh:
Kontruksi dengan kata penegas sesungguhnya, sebagaimana terdapat pada surat Al-Hujurat (49): 4-5, An-Nuur (24): 11, dan ayat-ayat lainnya dengan konstruksi serupa, seringkali mengandung makna perintah, ajakan atau larangan. Kata sesungguhnya, bersinonim dengan sebenarnya, sebetulnya, bahwasanya, atau memang begitu (Poerwadarminta, 1982: 977).
2.      Konstruksi Imperatif
Secara umum, konstruksi imperatif merupakan konstruksi yang bermakna perintah dan larangan. Namun demikian, terdapat konstruksi-konstruksi imperatif tertentu yang mengandung kesantunan linguistik lebih tinggi. Konstruksi imperatif yang mengandung kesantunan linguistik dalam Al-Quran ditandai dnegan ciri-ciri sebagai berikut: (1) penonjolan pelaku, (2) bermakna antonim, (3) bermakna periingatan, (4) penonjolan penderita.

3.      Konstruksi Interogatif
Konstruksi linguistik dalam konstruksi interogatif ditemukan dalam konstruksi interogatif yang bermakna perintah dan peringatan dengan karakteristik sebagai berikuta: (1) berpemarkah kata tanya, (2) mengandung perbandingan, dan (3) digabung dengan deklaratif.

7.3 Penerapan Analisis Kesalahan
Pada bab ini dalam bukunya Mansoer Pateda (1989) menguraikan mengenai, (i) teknik analisis, (ii) implikasi pedagogis analisis kesalahan, (iii) dukungan terhadap analisis kesalahan, (iv) prosedur analisis kesalahan, (v) format analisis kesalahan, (vi) kesulitan menerapakan analisis kesalahan, dan (vii) analisis.
·         Teknik Analisis
Norrish dalam Pateda (1989) mengemukakan dua mekanisme menganalisis kesalahan. Mekanisme yang diusulkan yakni membuat kategori kesalahan dan mengelompokkan jenis kesalahan itu berdasarkan daerahnya. Secara teknis mekanisme ini dilakukan dengan cara (i) melaksanakan kategori seleksi awal, (ii) menentukan kategori kesalahan, dan (iii) mencek cepat.
·         Aplikais Pedagogis Analisis Kesalahan
Ada tiga cara memperbaiki kesalahan si terdidik:
1.      Mengoreksi kesalahan di kelas
2.      Mengjelaskan bentuk gramatikal yang benar
3.      Memolakan bahan yang dikaitkan dengan kurikulum
4.      Berdasarkan kenyataan, guru biasanya menghadapi kesulitan kalau mengoreksi kesalahan si terdidik.
·         Dukungan Terhadap Analisis Kesalahan
Agar analisis kesalahan dapat diterapkan, kita harus membentengi diri dengan pengetahuan fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pengetahuan bahasa yang diperlukan. Dalam kaitan fonologi, harus dikuasai:
-          Pelafalan atau penulisan kata yang tepat
-          Silabisasi yang betul
-          Ejaan yang benar
-          Penggunaan pungtuasi yang benar
Dalam kaitannya dengan bidang morfologi, sekurang-kurangnya dikuasai:
-          Penurunan kata yang tepat
-          Pemilihan kata (diksi)
-          Pemakaian kata yang sesuai dengan makna
Dalam kaitannya dengan bidang sintaksis, harus dikuasai:
-          Urutan kata yang tepat
-          Logika kalimat
-          Koherensi
-          Pemilihan kata, padat, singkat, jelas, efektif, konsisten, relevan.
-          Pemakaian kata sambung yang tepat
-          Tidak ambigu
-          Sesuai dengan latar belakang sosiolinguistik
-          Pungtuasi
Dalam hubungannya dengan semantik, harus dikuasai;
-          Semua jenis makna yang terdapat dalam kata
-          Pemakaian kata sesuai dengan makna
-          Makna ganda
-          Sinonim
-          Natonimi
-          Homonimi
-          Kiasan
-          Makna lugas
-          Bentuk rancu (kata dan kalimat).
·         Prosedur Analisis Kesalahan
Corner dalam (Pateda, 1989: 114-115) mengemukakan tiga tahap menganalisis kesalahan, yakni (i) pengenalan, (ii) pemerian deskripsi, (iii) penjelasan. Pada tahap pengenalan, guru berusaha jangan sampai salah tafsir terhadap data yang ada. Secara praktis, tahap pengenalan dan tahap pemerian berjalan serentak. Pada tahap pemerian, dilaksanakan proses perbandingan. Perbandingan antara data yang salah dengan data yang seharusnya atau data yang benar. Proses ini mirip dengan analisis kontrastif. Hanya bedanya ada dua data bahasa yang dibandingkan, sedangkan pada tahap pemerian dalam analisis kesalahan data yang dibandingkan adalah data yang salah dan data yang tidak mengandung kesalahan.
·         Format Analsis
No
Nama
Daerah Kesalahan
Fonologi
f
Morfologi
f
Sintaksis
f
ket










·         Kesulitan Menerapkan Analsis Kesalahan
Banyak kesulitan yang dialami, apabila kita aan menganalisis kesalahan. Kesulitan itu terutama berpangkal dari penganalisis, yakni kemampuan menentukan bentuk yang benar dan salah. Penganalisis kadang-kadang ragu-ragu menentukan bentuk yang benar dan yang benar. Keragu-raguan muncul, karena terdapat perbedaan pendapat antara para ahli mengenai persoalan yang sama.
Kesulitan berikut yang dialami, yakni kesulitan menentukan daerah, sifat, sumber dan jenis kesalahan. Misalnya, kesalahan menulis kata, apakah digolongkan pada daerah fonologi atau morfologi? Kesulitan lain juga perlu diperhatikan, yakni kecepatan berbicara atau membaca dan ketidakjelasan tulisan. Baradja (Pateda, 1989: 122) berpendapat bahwa memang ada kesulitan menerapkan analisis kesalahan yang menyangkut (i) kesalahan dalam hal memberikan makna terhadap tuturan si terdidik, (ii) kesulitan untuk menciptakan instrumen yang dapat menggali informasi yang kita inginkan, (iii) kesulitan dalam melaksanakan pengelompokkan.
·         Analisis
Di bawah ini diberikan sebuah contoh tulisan yang di analisis. Contoh ini lebih banyak berhubungan dengan kemampuan menulis.

1.      “Di samping itu perlu disadari bahwa populasi seorang pengarang mungkin karena tumbuh sendiri tetapi mungkin juga ditumbuhkan orang lain. Dalam hal ini sejalan dengan banyaknya GB pada buku Kemarau tidak jeleknya kalau mereka ini dipopulasikan.

Analisis
a.       Kesalahan: kata populasi harus diganti dengan popularitas. Kata ditumbuhkan sebaiknya diganti dengan kata dipopulerkan.
b.      Daerah kesalahan: fonologi : tanda baca yakni penggunaan tanda baca koma, morfologi: diksi, dan sintaksis: penghilangan urutan kata.

c.       Pembetulan
“Di samping itu perlu disadari bahwa popularitas seorang pengarang mungkin karena mereka tumbuh sendiri, tetapi mungkin juga dipopulerkan orang lain. Sejalan dengan banyaknya GB pada buku Kemarau, tidak ada jeleknya kalau mereka ini dipopulerkan”.

BAB VIII : Kesalahan Berbahasa dalam Penerapan Kaidah Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan

8.1    Ejaan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ejaan didefinisikan sebagai kaidah-kaidah cara menggambarkan bunyi-bunyi (kata, kalimat, dan sebagainya) dalam bentuk tulisan (huruf-huruf) serta penggunaan tanda baca. Jelaslah bahwa ejaan tidak hanya berkaitan dengan cara mengeja suatu kata, tetapi yang lebih utama berkaitan dengan cara mengatur penulisan huruf menjadi satuan yang lebih besar, misalnya kata, kelompok kata, kalimat.
Kesalahan dalam penerapan kaidah Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD), di antaranya meliputi: (a) kesalahan penulisan huruf besar atau huruf kapital, (b) kesalahan penulisan huruf miring, (c) kesalahan penulisan kata, (d) kesalahan memenggal kata, (e) kesalahan penulisan lambang bilangan, (f) kesalahan penulisan unsur serapan, dan (g) kesalahan penulisan tanda baca.

(a)          Kesalahan Penulisan Huruf Besar atau Huruf Kapital
Penulisan huruf kapital yang kita jumpai dalam tulisan-tulisan resmi kadang-kadang menyimpang dari kaidah-kaidah yang berlaku. Perhatikan contoh berikut.
1.    Kesalahan penulisan huruf pertama petikan langsung.
Contoh:
Bentuk Tidak Baku
(1)          Ibu mengingatkan, “jangan lupa dompetmu, Tik!”
(2)          Karolina menjawab, “ bukan aku yang mengambil baju itu, Bu.”
(3)          “tadi pagi saya berangkat tergesa-gesa karena bangun kesiangan, “kata Bekti.
Sesuai dengan kaidah tata bahasa yang benar adalah bahwa huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama petikan langsung. Jadi, ketiga kalimat di atas dapat diperbaiki menjadi kalimat-kalimat berikut ini.

Bentuk Baku
(1a) Ibu mengatakan, “jangan lupa dompetmu, Tik?”
(2a) Karolina menjawab, “ Bukan aku yang mengambil baju itu, Bu.”
(3a) “Tadi pagi saya berangkat tergesa-gesa karena bangun kesiangan,” kata Bekti.

2.    Kesalahan penulisan huruf pertama dalam ungkapan yang berhubungan dengan hal-hal keagamaan (terbatas pada nama diri), kitab suci, dan nama Tuhan (termasuk kata ganti untuk Tuhan).
Contoh:
Bentuk Tidak Baku
(4)          Ya allah, semoga engkau menerima arwah ayah saya.
(5)          Limpahkanlah rahmatmu kepada kami ya Allah.

Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama dalam ungkapan yang berhubungan dengan hal-hal keagamaan (terbatas pada nama diri), kitab suci, dan nama Tuhan (termasuk kata ganti untuk Tuhan). Huruf pertama pada kata ganti –ku, -mu, dan –nya, sebagai kata ganti Tuhan harus dituliskan dengan huruf kapital yang dirangkaikan oleh tanda hubung (-) dengan kata sebelumnya. Dengan berpedoman pada kaidah tersebut, kita dapat memperbaiki kalimat-kalimat di atas menjadi:

Bentuk Baku
(4a) Ya Allah, semoga Engkau menerima arwah ayah saya.
(5a) Limpahkanlah rahmat-Mu kepada kami ya Allah.

c)    Kesalahan penulisan huruf pertama nama gelar (kehormatan, keturunan, keagamaan), jabatan, dan pangkat yang diikuti nama orang.
Contoh:

Bentuk Tidak Baku
(6)          Pemerintah baru saja memberikan anugerah kepada mahaputa Yamin.
(7)          Nabi Ismail adalah anak nabi Ibrahim alaihisalam.

Berdasarkan pada kaidah tata bahasa Indonesia bahwa huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama gelar (keheormatan, keturunan, keagamaan), jabatan dan pangkat yang diikuti nama diri ditulis dengan huruf kecil. Jadi, kalimat di atas dapat diperbaiki menjadi bentuk baku:

Bentuk Baku
(7a) Pemerintah baru saja memberikan anugerah kepada Mahaputra Yamin.
(8a) Nabi Ismail adalah anak Nabi Ibrahim alaihisalam.

d)   Kesalahan penulisan kata-kata van, den, der, da, de, di, bin dan ibnu yang digunakan sebagai nama orang ditulis dengan huruf besar, padahal kata-kata itu tidak terletak pada awal kalimat.
Contoh;

Bentuk Baku                                     Bentuk Tidak Baku
-                 Van den Bosch                          - Van Den Bosch
-                 Mursid bin Hasan                      - Mursid Bin Hasan

e)    Kesalahan penulisan huruf pertama nama bangsa, suku, dan bahasa yang tidak terletak pada awal kalimat.
f)    Kesalahan penulisan huruf pertama nama tahun, bulan, hari raya, dan peristiwa sejarah
g)   Kesalahan penulisan pada huruf pertama nama khas geografi.
h)   Kesalahan penulisan huruf pertama nama resmi badan, lembaga pemerintahan dan ketatanegaraan, serta nama dokumen resmi.
i)     Kesalahan penulisan huruf pertama pada kata tugas seperti: di, ke, untuk, yang, dan, dalam pada judul buku, majalah, surat kabar, dan karangan yang tidak terletak pada posisi awal.
j)     Kesalahan penulisan singkatan nama gelar dan sapaan
k)   Kesalahan penulisan huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan, seperti: bapak, ibu, saudara, anda, kakak, adik, dan paman yang dipakai sebagai kata ganti atau sapaan.

(b)   Kesalahan Penulisan Huruf Miring
a)    Kesalahan penulisan nama buku, majalah, dan surat kabar yang dikutip dalam karangan.
b)   Kesalahan penulisan yang digunakan untuk menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata, atau kelompok kata.
c)    Kesalahan penulisan kata nama-nama ilmiah atau ungkapan bahasa asing atau daerah 9yang tidak disesuaikan ejaan).

(c)    Kesalahan Penulisan Kata
a)      Kesalahan penulisan kata dasar dan kata bentukan
b)      Kesalahan penulisan –ku, -kau, -mu dan –nya
c)      Kesalahan penulisan preposisi di, ke, dan dari
d)     Kesalahan penulisan partikel pun
e)      Kesalahan penulisan per-

(d)   Kesalahan Memenggal Kata
1)      Kesalahan pemenggalan dua vokal yang berurutan di tengah kata
2)      Kesalahan pemenggalan dua vokal mengapit konsonan di tengah kata
3)      Kesalahan pemenggalan dua konsonan berurutan di tengah kata
4)      Kesalahan pemenggalan tiga konsonan atau lebih di tengah kata
5)      Kesalahan pemenggalan kata berimbuhan
6)      Kesalahan pemenggalan nama diri

(e)    Kesalahan Penulisan Lambang Bilangan
1)   Kesalahan penulisan lambang bilangan dengan huruf
2)   Kesalahan penulisan kata bilangan tingkat
3)   Kesalahan penulisan kata bilangan yang mendapat akhiran –an
4)   Kesalahan penulisan lambang bilangan yang dapat menyatakan satu atau dua kata yang ditulis dengan angka dan keslaahan lambang bilangan yang menyatakan beberapa perincian atau pemaparan ditulis dengan huruf.
5)   Kesalahan penulisan lambang bilangan pada awal kalimat dengan angka dan kesalahan penulisan lambang bilangan pada awal kalimat dengan huruf
6)   Kesalahan penulisan angka yang menunjukkan jumlah antara ratusan, ribuan, dan seterusnya.
7)   Kesalahan penulisan jumlah uang
8)   Kesalahan penulisan angka NIP, NIM/NPM, dan nomor telepon

(f)  Kesalahan Penulisan Unsur Serapan
Berdasarkan taraf integrasinya, unsur serapan dalam bahasa Indonesia dapat dibedakan atas: (i) unsur yang belum sepenuhnyaterserap ke dalam bahasa Indonesia (unsur-unsur ini dipakai dalam konteks bahasa Indonesia, tetapi pelafalannya masih mengikuti cara asing) dan (ii) unsur asing yang pelafalannya dan penulisannya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia.

(g)   Kesalahan Penulisan Tanda Baca
1)   Kesalahan penulisan tanda titik (.)
2)   Kesalahan penulisan tanda koma (,)
3)   Kesalahan pemakaian tanda titik koma (;)
4)   Kesalahan pemakaian tanda titik dua ( ; )
5)   Kesalahan penulisan tanda hubung (-)

Sumber Pustaka       
Setyawati, Nanik. 2010. Analisis Kesalahan Berbahasa Indonesia. Muhammad Rohmadi (Ed). Surakarta: Yuma Pressindo.
Markhamah, dkk. 2009. Analisis Kesalahan dan Kesantunan Berbahasa. Surakarta: Muhammadiyah Press 2009.
Pateda, Mansoer. 1989. Analisis Kesalahan. Flores: Nusa Indah.
Tarigan, Henry Guntur. 1995. Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa. Bandung: Angkasa Bandung.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar