Sabtu, 26 Desember 2015

PEMBAHASAN BAB III-BAB VIII ANAKES SITI MEGA AGUSTIANI 7A

Nama   : Siti Mega Agustiani
NIM    : 2222120159
Kelas   : 7A Pendidikan Bahasa Indonesia
MK      : Analisis Kesalahan Bahasa Indonesia

PEMBAHASAN BAB III
            Buku Pateda (1989) pada bab iii membahas mengenai daerah dan sifat kesalahan. Buku Tarigan dan Tarigan (1995) pada bab iii membahas mengenai teori analisis kesalahan. Buku Markhamah (2009) pada bab iii membahas mengenai kepaduan dan ketepatan makna. Buku Setyawati (2010) pada bab iii membahas mengenai kesalahan berbahasa pada tataran fonologi.
            Berdasarkan garis besar pembahasan yang dituliskan masing-masing bab iii pada buku-buku tersebut dapat ditemukan persamaan dan perbedaannya. Pada buku Pateda (1989) membahas mengenai daerah dan sifat kesalahan yang menjelaskan bahwa daerah kesalahan terdiri atas kesalahan fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Pembahasan daerah kesalahan fonologi pada buku tersebut memiliki persamaan pembahasan dengan buku Setyawati (2010) yang membahas mengenai kesalahan berbahasa pada tataran fonologi. Dalam pembahasannya, Setyawati (2010) memfokuskan bab iii ini pada kesalahan berbahasa pada tataran fonologi. Sedangkan Pateda (1989) sudah mencakup keempat aspek dalam tataran lingusitik. Persamaan pembahasan pada tataran fonologi pada kedua buku tersebut yaitu, pada buku Pateda (1989) dijelaskan bahwa kesalahan fonologi berhubungan dengan pelafalan dan penulisan bunyi bahasa. Contohnya, fonem / z / dilafalkan / j /, misalnya kata zat, dilafalkan jat. Kemudian, pada buku Setyawati (2010) juga dijelaskan bahwa kesalahan berbahasa Indonesia dalam tataran fonologi berkaitan dengan pelafalan yang meliputi perubahan fonem, penghilangan fonem, dan penambahan fonem. Kesalahan pelafalan karena perubahan fonem contohnya, fonem / a / dilafalkan menjadi / i /. Lafal baku seharusnya mayat diubah menjadi lafal tidak baku mayit.  
            Selain itu, pada buku Pateda (1989) juga terdapat persamaan pembahasan dengan buku Markhamah (2009). Pembahasan pada daerah kesalahan morfologi dijelaskan bahwa kesalahan berbahasa berhubungan pula dengan kecermatan berbahasa. Kecermatan berbahasa antara lain berhubungan dengan pemilihan kata dan penggunaan kata. Kadang-kadang pembicara atau penulis telah banyak menggunakan kata yang sebenarnya tidak perlu. Kata-kata yang digunakan mubazir. Misalnya, “Ia adalah seorang anggota polisi”. Kata-kata adalah, seorang, anggota dalam kalimat tersebut tidak bersifat wajib. Itu sebabnya dapat dihilangkan, sehingga kata yang digunakan seharusnya, “Ia polisi”. Kemudian, pada buku Markhamah (2009) dijelaskan mengenai ketepatan makna kalimat efektif pada bagian kalimat hemat. Kalimat hemat merupakan kalimat yang tidak menggunakan kata-kata yang mubazir atau kalimat yang tidak mengandung unsur-unsur yang tidak diperlukan. Misalnya, kalimat “Bentuk daripada benda yang ditemukan adalah bulat”. Kata daripada tidak diperlukan dalam kalimat itu, karena tidak membentuk frase depan yang berfungsi sebagai keterangan. Oleh karenanya, kata daripada dihilangkan saja sehingga menjadi kalimat “Bentuk benda yang ditemukan adalah bulat”.
            Selanjutnya, pada buku Tarigan dan Tarigan (1995) tidak ditemukan persamaan pembahasan dengan ketiga buku tersebut. Karena Tarigan dan Tarigan (1995) membahas mengenai teori analisis kesalahan yang mencakup langkah kerja Anakes, tujuan Anakes, metodologi Anakes, penyebab kesalahan intrabahasa, keunggulan Anakes, dan kelemahan Anakes. Materi yang dijelaskan belum pada contoh praktik kesalahan berbahasa seperti yang dijelaskan pada ketiga buku tersebut.
            Berdasarkan pemaparan tersebut dapat dilihat bahwa pada buku Pateda (1989) memiliki persamaan pembahasan dengan buku Setyawati (2010) dan Markhamah (2009). Kemudian, pada buku Tarigan dan Tarigan (1995) tidak ditemukan persamaan pembahasan dengan ketiga buku tersebut.
           

 Nama   : Siti Mega Agustiani
NIM    : 2222120159
Kelas   : 7A Pendidikan Bahasa Indonesia
MK      : Analisis Kesalahan Bahasa Indonesia

PEMBAHASAN BAB IV
            Buku Pateda (1989) pada bab iv membahas mengenai sumber dan penyebab kesalahan. Buku Tarigan dan Tarigan (1995) pada bab iv membahas mengenai antarbahasa atau interlanguage. Buku Markhamah (2009) pada bab iv membahas mengenai kalimat bervariasi. Buku Setyawati (2010) pada bab iv membahas mengenai kesalahan berbahasa pada tataran morfologi.
            Berdasarkan garis besar pembahasan yang dituliskan masing-masing bab iv pada buku-buku tersebut dapat ditemukan persamaan dan perbedaannya.      Pada buku Pateda (1989) membahas mengenai sumber dan penyebab kesalahan berbahasa. Diantaranya adalah karena bahasa ibu, lingkungan, kebiasaan, interlingual, dan interferensi. Sebelumnya dijelaskan terlebih dahulu sumber dan penyebab kesalahan berbahasa menurut pendapat popular yang menyebutkan kesalahan bersumber pada ketidakhati-hatian si terdidik dan yang lain karena pengetahuan mereka terhadap bahasa yang dipelajari, dan interferensi.
Terdapat persamaan pembahasan mengenai penyebab kesalahan karena interlingual pada buku tersebut dengan buku Tarigan dan Tarigan (1995) yang membahas lebih dalam mengenai antarbahasa atau interlanguage. Interlingual atau antarbahasa adalah aktivitas belajar yang menghasilkan pola-pola pada bahasa kedua yang dipengaruhi oleh bahasa pertama. Istilah interlingual pertama kali digunakan oleh Selinker. Persamaan tersebut dapat dilihat pada pembahasan mengenai proses interlingual yang dijelaskan menurut Selinker. Menurut Selinker pada kedua buku tersebut mengatakan bahwa untuk menerangkan gejala interlingual dapat dipelajari melalui 5 proses, yaitu:
a.       transfer bahasa (language transfer)
b.      transef latihan (transfer of training)
c.       siasat atau strategi pembelajaran bahasa kedua (strategies of second language learning)
d.      siasat atau strategi komunikasi bahasa kedua (strategies of second communication)
e.       penyamarataan atau pemukulrataan materi linguistik bahasa yang sedang dipelajari (overgenenarlization of target language linguistic material).
Selain itu, pada buku Tarigan dan Tarigan (1995) juga memiliki persamaan pembahasan dengan buku Setyawati (2010). Persamaan tersebut terlihat pada pembahasan buku Tarigan dan Tarigan (1995) yang menjelaskan mengenai masalah metodologis yang dihadapi oleh antarbahasa. Ada tiga tipe, yaitu: analisis kesalahan, telaah morfem, dan telaah longitudinal. Pada pembahasan telaah morfem inilah yang memiliki persamaan dan keterkaitan dengan pembahasan pada buku Setyawati (2010) yang membahas mengenai kesalahan berbahasa tataran morfologi. Tarigan dan Tarigan (1995) menjelaskan bahwa  telaah morfem berpendapat tidak ada dasar teoretis yang memuaskan bagi anggapan bahwa ketepatan atau akurasi yang dapat dipergunakan oleh para pembelajar untuk memakai morfem-morfem yang berkorespodensi dengan susunan yang mereka peroleh. Studi-studi kasus telah memperlihatkan bahwa para pembelajar dapat mulai menggunakan suatu bentuk gramatikal secara tepat, hanya mundur atau surut pada tahap kemudian, yang membuat suatu tiruan upaya untuk menyamakan akurasi dengan akuisisi, atau menyamakan ketepatan dengan pemerolehan. Keterkaitan pembahasan tersebut dengan pembahasan buku Setyawati (2010) yaitu, pada buku Setyawati (2010) menjelaskan jenis-jenis kesalahan apa saja yang sering terjadi oleh para pembelajar pada tataran morfologi. Setyawati (2010) menjelaskan bahwa baik pada ragam tulis maupun ragam lisan dapat terjadi kesalahan berbahasa dalam pembentukan kata atau tataran morfologi. Contohnya, morf be- tergantikan morf ber-. Bentuk tidak baku pada kalimat “Deden sehari berkerja selama delapan jam, dari pukul 08.00 s.d. pukul 16.00”. Jika kita cermati pemakaian kata berkerja pada kalimat tersebut termasuk bentukan yang salah. Sesuai kaidah pembentukan kata, prefiks ber- jika melekat pada: (i) kata dasar berfonem awal /r/ dan (ii) melekat pada kata dasar yang suku kata pertamanya berakhir dengan atau mengandung unsur [er] akan beralomorf menjadi be-. Jadi bentukan yang benar adalah bekerja. Salah satu contoh kesalahan tataran morfologi ini jelas memiliki keterkaitan dengan pembahasan mengenai interlingual atau antarbahasa karena merupakan salah satu masalah yang dihadapi oleh antarbahasa.
Selanjutnya, pada buku Markhamah (2009) tidak ditemukan persamaan dengan ketiga buku tersebut. Materi yang dibahas mengenai kalimat bervariasi yang terdiri atas kalimat bervariasi urutan, aktif-pasif, berita-perintah-tanya, dan panjang-pendek. Namun, materi tersebut memiliki keterkaitan dengan buku Pateda (1989) yang membahas sumber dan penyebab kesalahan yang bersumber dari kebiasaan. Kebiasaan pembelajar dengan bahasa ibu dan lingkungan menyebabkan pembelajar terbiasa dengan pola-pola bahasa yang didengarnya. Oleh karena pola atau bentuk sudah menjadi kebiasaan, kesalahan sulit dihilangkan. Hal ini memiliki keterkaitan dengan kalimat bervariasi yang biasanya banyak dituliskan salah oleh pembelajar ketika menuliskan sebuah kalimat atau karangan karena faktor kebiasaan tersebut.
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat dilihat bahwa pada buku Pateda (1989) memiliki persamaan pembahasan dengan buku Tarigan dan Tarigan (1995). Selain itu, buku Tarigan dan Tarigan (1995) juga memiliki keterkaitan dengan buku Setyawati (2010). Sedangkan pada buku Markhamah (2009) tidak ditemukan persamaan dengan ketiga buku tersebut, namun ada keterkaitan dengan pembahasan pada buku Pateda (1989) yang membahas mengenai sumber dan penyebab kesalahan karena kebiasaan.           

Nama   : Siti Mega Agustiani
NIM    : 2222120159
Kelas   : 7A Pendidikan Bahasa Indonesia
MK      : Analisis Kesalahan Bahasa Indonesia

PEMBAHASAN BAB V
            Buku Pateda (1989) pada bab v membahas mengenai kesalahan menyimak dan berbicara. Buku Tarigan dan Tarigan (1995) pada bab v membahas mengenai analisis kesalahan berbahasa. Buku Markhamah (2009) pada bab v membahas mengenai kesalahan struktur. Buku Setyawati (2010) pada bab v membahas mengenai kesalahan berbahasa pada tataran sintaksis.
            Berdasarkan garis besar pembahasan yang dituliskan masing-masing bab v pada buku tersebut dapat ditemukan keterkaitan, persamaan dan perbedaannya. Pada buku Pateda (1989) membahas kesalahan menyimak dan berbicara. Kesalahan menyimak pada dasarnya dapat terjadi karena ada faktor yang mengganggunya, antara lain; (a) kejelasan pesan yang berasal dari pembicara, (b) bahasa yang digunakan, (c) alat dengar penyimak, (d) suasana kejiwaan pembicara dan penyimak, dan (e) gangguan dari luar, misalnya kebisingan dan keributan. Hal itu menyebabkan terjadinya kesalahan menyimak. Kesalahan itu diantaranya; (a) susah untuk membedakan fonem, (b) tekanan kata, (c) intonasi, (d) bentuk-bentuk lafal menurun, (e) pelafalan cepat silabi tidak bertekanan, (f) pengungkapan komunikasi yang fungsinya berbeda karena intonasi, (g) menyimpulkan, memahami dan mengantisipasi isi ujaran, (h) keluar dari masaah yang diketengahkan di dalam ujaran, (i) belum lancar menggunakan kata atau kalimat bahasa Inggris dengan kecepatan biasa, (j) penggunaan aksen, dan (k) adanya kata-kata homonim.
            Berbicara adalah aktivitas manusia menggunakan bahasa secara lisan. Kesalahan berbicara dapat disebabkan antara lain; (a) kesalahan melafalkan bunyi-bunyi bahasa, (b) kesalahan memilih kata-kata atau istilah yang tepat, (c) penggunaan kalimat yang samar-samar, tidak jelas atau menimbulkan penafsiran yang berbeda, (d) pengungkapan pikiran yang tidak jelas, (e) kesalahan karena struktur kalimat, dan (f) menggunakan kata-kata mubazir.
Terdapat keterkaitan, persamaan dan perbedaan pembahasan mengenai penyebab kesalahan berbicara pada buku tersebut dengan pembahasan pada buku Tarigan dan Tarigan (1995), Markhamah (2009) dan buku Setyawati (2010).
Tarigan dan Tarigan (1995) pada bab v membahas kesalahan berbahasa menurut beberapa pakar. Ada yang membagi kesalahan berbahasa menjadi dua, yaitu kesalahan yang disebabkan oleh faktor-faktor kelelahan, keletihan, dan kurangnya perhatian, yang disebut faktor performansi. Kesalahan yang kedua disebabkan oleh kurangnya pengetahuan mengenai kaidah-kaidah bahasa, disebut faktor kompetensi. Ada pula pakar yang membagi kesalahan berbahasa menjadi empat, yaitu interference-likegoofs, LIdevelopmentalgoofs, ambiguousgoofs, dan uniquegoofs.
Terdapat pula empat taksonomi dalam kesalahan berbahasa, 1) taksonomi kategori linguistik, yaitu mengklasifikasikan kesalahan-kesalahan berbahasa berdasarkan komponen linguistik atau unsur linguistik tertentu yang dipengaruhi oleh kesalahan, ataupun berdasarkan kedua-duanya yang mencaup tataran fonologi, morfologi, semantik dan leksikon, serta wacana; 2) taksonomi siasat permukaan, yaitu menyoroti bagaimana cara-caranya struktur-struktur permukaan berubah berupa penghilangan, penambahan, salah formasi, dan salah susun; 3) taksonomi komparatif, yaitu kesalahan bersadarkan pada perbandingan-perbndingan antara struktur kesalahan-kesalahan B2 dan tipe-tipe konstruksi tertentu lainnya berupa kesalahan perkembangan, kesalahan antarbahasa, dan kesalahan lainnya; 4) taksonomi efek komunikatif, yaitu memusatkan perhatian kesalahan dari perspektif efeknya terhadap penyimak atau pembaca berupa kesalahan global dan lokal.
Tahapan yang harus dilakukan ketika menganalisis kesalahan berbahasa juga dibahas dalam bab ini. Tahapan tersebut, yaitu memilih korpus bahasa, mengenali kesalahan dalam korpus, mengklasifikasi kesalahan, menjelaskan kesalahan, dan mengevaluasi kesalahan. Ketika terjadi kesalahan berbahasa maka perlu dilakukan pengoreksian baik secara lisan dan secara tertulis.
Markhamah (2009) pada bab v membahas mengenai kesalahan struktur dalam kalimat. Diantaranya adalah kesalahan struktur karena kerancuan aktif-pasif, kesalahan struktur karena subjek dan keterangan, kesalahan struktur karena pengantar kalimat, kesalahan struktur karena penghubung terbagi yang kurang tepat, kesalahan struktur karena ketiadaan induk kalimat. Selanjutnya, Setyawati (2010) pada bab v membahas mengenai kesalahan berbahasa tataran sintaksis yang meliputi kesalahan dalam bidang frasa dan kesalahan dalam bidang kalimat.
Kesalahan dalam bidang frasa dapat disebabkan oleh berbagai hal diantaranya adanya pengaruh bahasa daerah, penggunaan preposisi yang tidak tepat, kesalahan susunan kata, penggunaan unsur yang berlebihan atau mubazir, penggunaan bentuk superlatif yang berlebihan, penjamakan yang ganda, dan penggunaan bentuk resiprokal yang tidak tepat.
Kemudian kesalahan dalam bidang kalimat diantaranya kalimat tidak bersubjek, kalimat tidak berpredikat, kalimat tidak bersubjek dan tidak berpredikat, penggandaan subjek, antara predikat dan objek yang tersisipi, kalimat yang tidak logis, kalimat yang ambiguitas, penghilangan konjungsi, penggunaan konjungsi yang berlebihan, penggunaan istilah asing dan penggunaan kata tanya yang tidak perlu.
Kesalahan berbicara dalam Pateda (1989) yang berhubungan dengan pemilihan kata, yakni menggunakan kata yang berlebih-lebihan, misalnya:
- maju atau ke depan               menjadi           maju ke depan
- guru-guru                              menjadi           para guru-guru
memiliki keterkaitan dengan pembahasan analisis kesalahan berbahasa dalam Tarigan dan Tarigan (1995) yang berhubungan dengan analisis kesalahan bahasa Indonesia tataran sintaksis. Kesalahan sintaksis adalah kesalahan atau penyimpangan struktur frasa, klausa, atau kalimat, serta ketidaktepatan pemakaian partikel. Contoh:
-          Latihan bernyanyi diadakan sekali setiap minggu.
Seharusnya:
-          Latihan bernyanyi diadakan setiap minggu.
Hal tersebut juga memiliki keterkaitan dan persamaan dengan kesalahan berbahasa tataran sintaksis dalam Setyawati (2010) yang berhubungan dengan kesalahan dalam tataran frasa yang disebabkan karena penjamakan yang ganda. Perhatikan contoh bentuk penjamakan ganda dalam bahasa Indonesia berikut ini.
-          Para dosen-dosen sedang mengikuti seminar di ruang auditorium.
Kalimat tersebut tidak baku karena dalam sebuah kalimat untuk penanda jamak sebuah kata cukup menggunakan  satu penanda saja. Sebaiknya kalimat tersebut diungkapkan menjadi kalimat berikut ini.
-          Para dosen sedang mengikuti seminar di ruang auditorium.
Selanjutnya, kesalahan berbicara dalam penggunaan kalimat yang samar-samar, tidak jelas atau menimbulkan penafsiran yang berbeda juga memiliki persamaan dengan pembahasan kesalahan berbahasa tataran sintaksis dalam Setyawati (2010) yang berhubungan dengan kesalahan dalam tataran kalimat yang disebabkan karena ambiguitas. Contohnya:
-          Pintu gerbang istana yang indah terbuat dari emas.
seharusnya:
-          Pintu gerbang yang indah di istana itu terbuat dari emas.
Lalu, kesalahan berbicara dalam menggunakan kata-kata mubazir juga memiliki persamaan dengan kesalahan berbahasa tataran sintaksis dalam Setyawati (2010) yang berhubungan dengan kesalahan dalam tataran frasa yang disebabkan karena penggunaan unsur yang berlebihan atau mubazir. Contohnya:
-          Dilarang tidak boleh merokok di sini!
seharusnya:
-          Dilarang merokok di sini!      
Selain itu, pembahasan mengenai kesalahan berbahasa tataran sintaksis dalam Setyawati (2010) juga memiliki keterkaitan dan persamaan pembahasan dengan Markhamah (2009). Kesalahan berbahasa tataran sintaksis dalam Setyawati (2010) yang berhubungan dengan kesalahan dalam tataran kalimat yang disebabkan karena penggunaan konjungsi yang berlebihan memiliki keterkaitan dengan pembahasan dalam Markhamah (2009) yang membahas mengenai kesalahan struktur karena ketiadaan induk kalimat.
Penggunaan konjungsi yang berlebihan dalam Setyawati (2010) terjadi karena dua kaidah bahasa bersilang dan bergabung dalam sebuah kalimat. Contohnya:
-          Walaupun dia belum istirahat seharian, tetapi dia datang juga di pertemuan RT.
Seharusnya:
-          Walaupun dia belum istirahat seharian, dia datang juga di pertemuan RT.
Sementara itu, kesalahan struktur karena ketiadaan induk kalimat dalam Markhamah (2009) terjadi apabila anak kalimat dan induk kalimat sama-sama didahului oleh kata penghubung atau konjungsi. Contohnya:
-          Karena nilai yang didapatkan lebih besar daripada yang diharapkan, maka Fitri terkejut.
Seharusnya:
-          Karena nilai yang didapatkan lebih besar daripada yang diharapkan, maka Fitri terkejut.

Berdasarkan pemaparan tersebut dapat dilihat bahwa pada buku Pateda (1989) memiliki persamaan dan keterkaitan pembahasan dengan buku Tarigan dan Tarigan (1995) dan Setyawati (2010) dalam beberapa hal. Perbedaannya adalah jika dalam Pateda (1989) membahas bahwa kesalahan tersebut termasuk dalam kesalahan berbicara sedangkan dalam Tarigan dan Tarigan (1995) dan Setyawati (2010) membahas bahwa kesalahan tersebut termasuk dalam tataran sintaksis.  Selain itu, pembahasan bab v dalam Tarigan dan Tarigan (1995) juga memiliki keterkaitan dan persamaan dengan pembahasan dalam Setyawati (2010) dan Markhamah (2010).

Nama   : Siti Mega Agustiani
NIM    : 2222120159
Kelas   : 7A Pendidikan Bahasa Indonesia
MK      : Analisis Kesalahan Bahasa Indonesia

PEMBAHASAN BAB VI
            Buku Pateda (1989) pada bab vi membahas mengenai kesalahan membaca dan menulis. Buku Markhamah (2009) pada bab vi membahas mengenai kesantunan sosiolinguistik dalam teks keagamaan. Buku Setyawati (2010) pada bab vi membahas mengenai kesalahan berbahasa pada tataran semantik.
            Berdasarkan garis besar pembahasan yang dituliskan masing-masing bab vi pada buku tersebut dapat ditemukan keterkaitan, persamaan dan perbedaannya. Pada buku Pateda (1989) membahas kesalahan membaca dan menulis. Membaca adalah pengenalan dan persepsi struktur bahasa sebagai keseluruhan untuk memadukan makna tersurat dan yang tersirat dengan mengomunikasikan struktur-struktur bahasa itu. Kesalahan membaca diantaranya disebabkan karena lafal yang sangat dipengaruhi oleh lafal dalam bahasa ibu, salah membaca kelompok kata, penggunaan unsur suprasegmental yang tidak tepat, dan pungtuasi belum dikuasai.
            Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya kesalahan tafsir yang meliputi; (a) tidak mampu menangkap maksud penulis, (b) sikap kritis terhadap apa yang dibaca kurang, (c) menghubung-hubungkan tafsiran yang tidak tepat, dan (d) tidak ada predisposisi kritis antara pembaca dan evaluasi metode menulis.
            Menulis adalah pengalihan bahasa lisan ke dalam bentuk tertulis. Kesalahan menulis selalu berhubungan dengan:
(a) kesalahan kalimat,
(b) kesalahan kata, meliputi penggunaan kata dan bentuk kata,
(c) kesalahan ejaan dan tanda baca, meliputi (i) penulisan kata, (ii) penulisan kata depan di, (iii) penulisan kata depan ke, (iv) penulisan awalan di-, (v) penulisan partikel pun, (vi) penulisan angka, (vii) penggunaan tanda baca, dan (viii) penggunaan huruf besar, dan
(d) kesalahan dalam alinea. 
Selanjutnya, pada buku Markhamah (2009) membahas mengenai kesantunan sosiolinguistik dalam teks keagamaan. Dalam Islam santun adalah bagian dari akhlak. Akhlak adalah suatu keadaan yang melekat pada jiwa manusia yang dari keadaan itu lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa melalui pemikiran, pertimbangan, atau penelitian. Dalam kaitannya dengan komunikasi, beberapa akhlak Islam dapat disejajaran dengan norma tutur. Norma tutur adalah aturan-aturan bertutur yang mempengaruhi alternatif-alternatif pemilihan bentuk tutur. Dengan demikian, norma tutur bertalian dengan santun bertutur, dan santun itu harus tampak dalam pemilihan bentuk tutur yang diungkapkan oleh penuturnya.
Dengan adanya norma yang harus diterapkan dalam berkomunikasi itu sebenarnya menunjukkan bahwa bahasa itu tidak netral, bahwa bahasa berhubungan dengan hal-hal di luar bahasa. Bahasa sebenarnya bersifat netral. Bahasa menjadi baik atau tidak baik dalam penggunaannya oleh pihak tertentu.
Berdasarkan analisis dalam buku Markhamah (2009), dalam teks keagamaan khususnya terjemahan Quran yang mengandung etika berbahasa terdapat bermacam-macam kesantunan sosiolinguistik. Kesantunan yang dimaksud adalah merendahkan diri sendiri, menanyakan lebih rinci pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan sebagai bentuk penolakan terhadap perintah, menggunakan sindiran untuk meminang secara halus, mengucapkan salam dan menjawab salam, menggunakan eufimisme, mengucapkan ‘hiththah’ sambil meembungkukkan badan, menggunakan panggilan kehormatan, mengucapkan kata-kata baik. Selain itu, keantunan berbahasa juga ditempuh dengan cara: berbicara dengan sabar dan berbicara dengan suara lunak. Kesantunan lainnya adalah mengucapkan kalimat doa, menyelamatkan muka mitra bicara, memberi keputusan dengan adil, dan mematuhi perintah dan panggilan.
Kemudian, pada buku Setyawati (2010) membahas mengenai kesalahan berbahasa tataran semantik, menurut Setyawati (2010) pada bab vi kesalahan itu dapat terjadi pada tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis. Jadi, jika ada sebuah bunyi, bentuk kata, ataupun kalimat yang maknanya menyimpang dari makna yang seharusnya, maka tergolong ke dalam kesalahan berbahasa ini.
Kesalahan semantik dapat disebabkan karena pasangan yang seasal, kesalahan karena pasangan yang terancukan, dan kesalahan karena pilihan kata yang tidak tepat. Contoh kesalahan karena pasangan yang seasal misalnya, pada penggunaan kata kurban dan korban. Contoh kesalahan karena pasangan yang terancukan misalnya, pada penggunaan kata sah dan syah. Contoh kesalahan karena pilihan kata yang tidak tepat, misalnya pada penggunaan kata pukul dan jam.
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat dilihat bahwa pembahasan yang dijelaskan pada masing-masing bab vi buku tersebut tidak ditemukan persamaan, namun ada keterkaitan antara pembahasan dalam buku Pateda (1989) dengan buku Setyawati (2010). Keterkaitannya yaitu, dalam Pateda (1989) disebutkan bahwa salah satu kesalahan menulis berhubungan dengan kesalahan kata, meliputi penggunaan kata dan bentuk kata. Hal itu berkaitan dengan kesalahan dalam tataran semantik dalam Setyawati (2010) yang menjelaskan bahwa kesalahan semantik dapat disebabkan karena pasangan yang seasal, kesalahan karena pasangan yang terancukan, dan kesalahan karena pilihan kata yang tidak tepat.  
   Sedangkan dalam buku Markhamah (2009) tidak ditemukan persamaan dan keterkaitan pembahasan dengan buku Pateda (1989) dan Setyawati (2010). Pembahasan dalam buku Markhamah (2009) berbeda dengan kedua buku itu.

Nama   : Siti Mega Agustiani
NIM    : 2222120159
Kelas   : 7A Pendidikan Bahasa Indonesia
MK      : Analisis Kesalahan Bahasa Indonesia

PEMBAHASAN BAB VII
            Buku Pateda (1989) pada bab vii membahas mengenai penerapan analisis kesalahan. Buku Markhamah (2009) pada bab vii membahas mengenai kesantunan linguistik dalam terjemahan Al Quran. Buku Setyawati (2010) pada bab vii membahas mengenai kesalahan berbahasa pada tataran wacana.
            Berdasarkan garis besar pembahasan yang dituliskan masing-masing bab vii pada buku tersebut dapat ditemukan keterkaitan, persamaan dan perbedaannya.
Pada buku Pateda (1989) membahas penerapan analisis kesalahan. Corder (Pateda, 2009:114) menjelaskan bahwa terdapat tiga tahap dalam menganalisis kesalahan, yakni (i) pengenalan, (ii) pemerian deskripsi, dan (iii) penjelasan.
            Secara praktis, tahap pengenalan dan tahap pemerian berjalan serentak, karena begitu kita mulai menganalisis dalam bentuk pengenalan, sebenarnya tahap pemerian telah dimulai. Pada tahap pemerian, dilaksanakan proses perbandingan. Proses perbandingan antara data yang salah dengan data yang seharusnya atau data yang benar. Apabila tahap pemerian lebih mengacu ke bidang linguistik, maka tahap penjelasan sebenarnya lebih terarah pada bidang psikolinguistik. Pada tahap penjelasan kita sudah dapat menerangkan, (i) daerah kesalahan, (ii) tipe dan jenis kesalahan, dan (iii) sifat kesalahan.
            Contoh analisis kesalahan yang berhubungan dengan kemampuan menulis akan dijelaskan di bawah ini.
-          “Di samping itu perlu disadari bahwa populasi seorang pengarang mungkin karena tumbuh sendiri tetapi mungkin juga ditumbuhkan orang lain. Dalam hal ini sejalan dengan banyaknya GB pada buku Kemarau tidak ada jejaknya kalau mereka ini dipopulasikan”.
Analisis
a.    Kesalahan: Kata populasi harus diganti dengan popularitas. Kata ditumbuhkan sebaiknya diganti dengan kata dipopulerkan. Urutan kata dalam hal ini sebaiknya dihilangkan. Setelah kata Kemarau, sebaiknya ada koma (,), dan kata dipopulasikan diganti dengan kata dipopulerkan.
b.    Daerah kesalahan:  Fonologi: tanda baca yakni penggunaan tanda baca koma.
Morfologi: Diksi
Sintaksis: Penghilangan urutan kata
c.    Pembetulan
“Di samping itu perlu disadari bahwa popularitas seorang pengarang mungkin karena tumbuh sendiri, tetapi mungkin juga dipopulerkan orang lain. Sejalan dengan banyaknya GB pada buku Kemarau, tidak ada jejaknya kalau mereka ini dipopulerkan”.

Selanjutnya, pada buku Markhamah (2009) membahas mengenai kesantunan linguistik dalam terjemahan Al Quran. Kesantunan berbahasa merupakan cara yang ditempuh oleh penutur di dalam berkomunikasi agar petutur tidak merasa tertekan, tersudut, atau tersinggung. Secara linguistik kesantunan berbahasa diketahui dari hal-hal berikut: pilihan kata, pemakaian jenis kalimat. Pertama, dalam bahasa Indonesia terdapat kata-kata yang menunjukkan adanya kesantunan tinggi, sedang dan rendah. Kedua, jenis kalimat pada umumnya memang menunjukkan referensi atau makna yang sesuai. Ketiga, pemakaian kalimat pasif untuk menghindari perintah secara langsung.
Kesantunan lingustik yang terdapat pada teks terjemahan Al Quran berupa: konstruksi deklaratif, konstruksi imperatif, dan konstruksi interogatif, konstruksi pengandaian, dan konstruksi langsung. Dari hasil analisis yang dilakukan Markhamah (2009) dapat disimpulkan bahwa kesantunan linguistik dalam teks terjemahan Quran lebih banyak berupa perintah dan larangan karena ketidaksederajatan antara penutur dan petutur atau pendengar.
Kemudian, pada buku Setyawati (2010) membahas mengenai kesalahan berbahasa tataran wacana. Sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka dalam wacana itu berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang dapat dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan), tanpa keraguan apapun.
Persyaratan gramatikal dalam wacana dapat dipenuhi jika dalam wacana itu sudah terbina kekohesian, yaitu adanya keserasian hubungan antara unsur-unsur yang ada dalam wacana tersebut atau adanya hubungan bentuk. Alat-alat wacana yang dapat membuat kekohesian sebuah wacana antara lain: (a) pengacuan atau referensi, (b) penyulihan atau substitusi, (c) pelesapan atau elipsis, dan (d) perangkaian atau konjungsi.
Jika wacana itu kohesif akan terciptalah kekoherensian, yaitu isi wacana yang apik dan benar atau adanya hubungan makna atau hubungan semantis. Adapun alat wacana yang membentuk kekoherensian antara lain: (a) pengulangan atau repetisi, (b) padan makna atau sinonimi, (c) lawan makna atau antonimi, (d) hubungan atas-bawah atau hiponimi, (e) sanding kata atau kolokasi, dan (f) kesepadanan atau ekuivalensi.
Dengan demikian, dapat dicermati ruang lingkup kesalahan dalam tataran wacana dapat meliputi: (a) kesalahan dalam kohesi dan (b) kesalahan dalam koherensi.
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat dilihat bahwa pembahasan yang dijelaskan pada masing-masing bab vii buku tersebut tidak ditemukan persamaan. Tiap buku membahas materi yang berbeda sehingga tidak terdapat pula keterkaitan materinya.

Nama   : Siti Mega Agustiani
NIM    : 2222120159
Kelas   : 7A Pendidikan Bahasa Indonesia
MK      : Analisis Kesalahan Bahasa Indonesia

PEMBAHASAN BAB VIII
            Buku Setyawati (2010) pada bab viii membahas mengenai kesalahan berbahasa penerapan kaidah ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan, sedangkan ketiga buku lainnya hanya sampai pada bab vii saja pembahasannya.
Ejaan
Dalam KBBI (1996) ejaan didefinisikan sebagai kaidah-kadah cara menggambarkan bunyi-bunyi (kata, kalimat, dan sebagainya) dalam bentuk tulisan (huruf-huruf) serta penggunaan tanda baca.
Berikut ini akan dikemukakan kesalahan dalam penerapan kaidah Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD), diantaranya meliputi: (a) kesalahan penulisan huruf besar atau kapital, (b) kesalahan penulisan huruf miring, (c) kesalahan penulisan kata, (d) kesalahan memenggal kata, (e) kesalahan penulisan lambang bilangan, (f) kesalahan penulisan unsur serapan, dan (g) kesalahan penulisan tanda baca.
a.      Kesalahan penulisan huruf besar atau kapital
Perhatikan contoh di bawah ini:
Bentuk Tidak Baku
-          Ibu mengingatkan, “jangan lupa dompetmu, Tik!”
Bentuk Baku
-          Ibu mengingatkan, “Jangan lupa dompetmu, Tik!”
b.      Kesalahan penulisan huruf miring
Perhatikan contoh di bawah ini:
Bentuk Tidak Baku
-          Wanita muslimah banyak yang menyenangi tabloid Nurani.
Bentuk Baku
-          Wanita muslimah banyak yang menyenangi tabloid Nurani.
c.       Kesalahan penulisan kata
Perhatikan contoh di bawah ini:
Bentuk Baku                                     Bentuk Tidak Baku
diminta                                                di minta
kasihan                                                kasih an
rumah-rumah                                       rumah2
tata bahasa                                          tatabahasa
manakala                                             mana kala
d.      Kesalahan memenggal kata
Perhatikan contoh di bawah ini:
Bentuk Baku                                     Bentuk Tidak Baku
se-ret                                                   ser-et
pa-man                                                            pam-an
mer-de-ka                                            me-rde-ka
cap-lok                                                            ca-plok
swas-ta                                                            swa-sta
e.       Kesalahan penulisan lambang bilangan
Bentuk Baku                                     Bentuk Tidak Baku
enam ratus lima puluh                         enam ratus limapuluh
satu dua persepuluh                            satu dua per sepuluh
abad XX                                             abad ke XX
abad ke-20                                          abad ke 20
lembaran 1000-an                                lembaran 1.000an
f.       Kesalahan penulisan unsur serapan
Kata Asing                 Penyerapan  Baku                Penyerapan Tidak Baku
activity                        aktivitas                                   aktifitas
description                  deskripsi                                  diskripsi
ideal                            ideal                                        idial
quota                           kuota                                       kuta
taxi                              taksi                                         taxi
g.      Kesalahan penulisan tanda baca
Bentuk Baku                                     Bentuk Tidak Baku
M. Ramlan                                          M Ramlan
S.E. (Sarjana Ekonomi)                       S E
a.n. (atas nama)                                   an.
3.497 meter                                         3497 meter
Jalan Sudirman III. 45.                       Jalan Sudirman III. 45           


Daftar Pustaka
Markhamah, dkk. 2009. Analisis Kesalahan & Kesantunan Berbahasa. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Pateda, Mansoer. 1989. Analisis Kesalahan. Flores: Nusa Indah.
Setyawati, Nanik. 2010. Analisis Kesalahan Berbahasa Indonesia. Surakarta: Yuma Pustaka.
Tarigan, Henry Guntur dan Djago Tarigan. 1995. Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
  

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar